Demokrasi pun kerap jadi batu pijak untuk bicara apa saja, melakukan apa saja, mengumpat siapa saja, bahkan melukai siapa saja. Tak pandang bulu. Buku dan diskursus ilmiah yang terbangun dalam kehidupan berkampus seolah hanya label yang sekadar menandai bahwa "orang-orang kampus" bukan lagi "anak-anak SMA". Kendati sulit terukur sejauh mana pembedaan karakter memperlihatkan tingkat kematangan yang tidak lagi cengeng dan kekanak-kanakan dalam menyikapi suatu masalah [apalagi cuma masalah internal].
Wajah kampus-kampus kita belakangan ini sungguh-sungguh menampakkan wajah berang yang melunturkan seluruh karakter akademis yang kerap didengungkan dengan pongah. Penyelesaian masalah yang terjadi di kalangan kita - celakanya, nyaris tak ada sangkut paut dengan pergolakan membangun paradigma berpikir - makin menjauhkan kita dari kemampuan untuk berpikir dan bertindak metodologis sebagaimana pola yang seharusnya menandai gaya hidup berkampus. Lagi-lagi, kita harus menelan pil pahit bahwa kampus-kampus kita berhasil mewarisi suatu tradisi premanisme yang lebih mengandalkan otot ketimbang otak.
Tetapi, benarkah kondisi kampus-kampus kita sudah sedemikian miris? Susah cari jawabnya...
No comments:
Post a Comment