Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, March 24, 2010

Menggereja di dunia: secuil catatan

Aku gereja, kau pun gereja
Kita sama-sama gereja…
Gereja bukanlah gedungnya…
Gereja adalah orangnya…

Demikianlah sekelumit nukilan syair lagu yang – saya rasa – cukup dikenal, mulai dari kalangan anak-anak Sekolah Minggu sampai orang dewasa dari warga jemaat Kristen. Namun demikian, meskipun syair lagu tersebut cukup populer, ternyata kita sulit sekali mengubah pencitraan setiap kali kita menyebut kata “gereja”. Saya sering mendengar bahwa pendeta A sebelum dimutasi ke jemaat lain telah berhasil membangun “gereja” yang cukup megah. Di jemaat yang baru pun program pertama yang dicanangkan adalah membangun “gereja” baru, yang dianggap lebih layak daripada yang lama. Anda tentu paham yang saya maksud, bukan?! “Gereja” yang kerap disebut di sini jelas adalah “gedung ibadah”.

Kalau Anda mengunjungi suatu negeri atau jemaat di Maluku, gedung ibadah merupakan salah satu landmark. Anda tidak akan tersesat karena cukup dengan melihat menara loncengnya yang menjulang, arsitekturnya yang eksotik dan modern, pekarangannya yang luas dan asri… Seolah-olah berdiri anggun dikerumuni rumah-rumah warga jemaat yang setengah miring, beratapkan daun sagu, berdinding pelepah sagu, dan masih berlantai tanah. Bahkan, menurut pengalaman saya, orang-orang yang hidup di sekitar gedung ibadah yang megah itu masih bertelanjang kaki, dengan anak-anak kecil berambut gimbal kemerah-merahan karena tubuhnya tak tersentuh air selama beberapa hari. Bukan karena tidak mau mandi, tetapi karena untuk mandi saja harus mengambil air dengan jarak cukup jauh. Yah, jadinya lebih sering “mandi keringat” ketimbang “mandi air bersih”. Semua pemandangan itu kerap – menurut amatan saya – terlihat justru di sekitar gedung ibadah yang megah itu.

Jadi, apakah “gereja” itu orangnya? Ataukah masih terus dan terus terpahami sebagai “gedungnya”?

Gereja yang Membumi

Menyelisik sejarah gereja, termasuk sejarah Gereja Protestan Maluku (GPM), kita akan menyadari bahwa gereja sebagai institusi bukanlah sebuah produk ilahi yang tiba-tiba jatuh dari surga. Institusi gereja adalah sebuah produk sosiologis, historis, dan kultural bahkan politis. Matra kerohaniannya lebih terletak pada visi teologisnya. Penelusuran sejarah gereja sebagai institusi kerap terartikulasi dalam narasi-narasi besar historis yang menempatkan kelahiran gereja sebagai buah dari pemikiran dan tindakan kaum elite. Di banyak gedung gereja kita lebih mudah menemukan prasasti yang berisi nama-nama para pendeta yang pernah melayani di jemaat itu. Tetapi rasanya jarang – kalaupun tidak ada sama sekali – yang mencatat nama-nama para tuagama atau para majelis jemaatnya. Wah, bisa penuh dong tembok gereja?! Sudah pasti. Tetapi bukankah gereja itu orangnya?! Bukankah tanpa “orang-orang” itu gereja dan pekabaran Injil tidak bisa bertumbuh, bertunas, dan berbuah?!

Tulisan ini tidak berpretensi mempertentangkan antara gereja sebagai “institusi” dan gereja sebagai “manusia”. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Justru, dengan menghadapkan dua persepsi tersebut kita hendak menguji apakah memang aspek “institusi” dan “manusia” sudah diposisikan secara dialektis dan setara sebagai dua dimensi yang menghidupkan makna gereja itu sendiri.

Dengan menyejajarkan secara dialektis kedua dimensi tersebut maka kita secara sadar hendak memahami gereja sebagai suatu entitas yang dinamis dan berakar dalam konteks spasio-temporal (ruang dan waktu). Institusi hanya akan menjadi instrumen mekanik yang beku-kaku dan birokrasi tak bernyawa tanpa dimensi kemanusiaan. Sebaliknya, kemanusiaan hanya akan menjadi dinamika tanpa orientasi misi dan visi yang jelas jika tidak terorganisasi dalam struktur penataan sumber daya yang mumpuni. Dalam arti demikian, gereja dapat dipahami sebagai “organisasi” yang secara implisit memperlihatkan dialektika dan korelasi kreatif antara struktur dan manusia.

Jika demikian, gereja sebagai organisasi mengemban fungsi-fungsi transformasi yang jangkauannya sejauh kejamakan varian situasi problematik manusia yang menggereja. Gereja dalam arti itu tidak lagi menjadi sebuah kata benda, tetapi kata kerja. Gereja adalah tindakan. Dinamika dan intensitas pergumulan kemanusiaan itulah yang menjadi konteks tindakan gereja. Menggereja adalah menyikapi realitas pemiskinan, penindasan politik, penyelewengan hukum, pelecehan HAM, marjinalisasi, kekerasan struktural, kerusakan lingkungan hidup, dan distorsi teologis dari hakikat gereja itu sendiri. Menggereja adalah sikap membumi; bergumul dalam lumpur keringat dan darah rakyat jelata yang menjadi korban ketidakadilan; menjadi benteng advokasi teologis terhadap tendensi despotik kekuasaan politik dan keserakahan ekonomi yang menggusur rakyat dari tanahnya; dan menjadi pelopor bagi suatu gaya hidup alternatif yang ramah terhadap bumi yang makin merana.

Kembali ke Gereja: Apa Artinya?

Belakangan ini saya sering mendengar pernyataan “kembali ke gereja”. Saya senang mendengar pernyataan itu. Ada semacam semangat yang menggema kuat bahwa gereja harus kembali menjadi dirinya lagi. Tapi, dirinya yang mana? Sejarah kekristenan, termasuk di Maluku, memperlihatkan bahwa wacana eklesiologis merupakan salah satu isu yang hangat jika ditempatkan dalam ranah kontekstual. Kita pun kerap kebingungan dalam tarikan gravitasi eklesiologi Barat dan eklesiologi Maluku. Lebih fasih menyebutkan rumusan panjang pengakuan iman Athanasius dan sejenisnya, tapi enggan mengaku iman sendiri dengan kesadaran Malukuisme. Apakah “kembali ke gereja” berarti kita harus “keluar dari dunia”? Saya rasa tidak demikian.

Dalam amatan saya, “kembali ke gereja” sebenarnya merupakan kritik-diri untuk terus-menerus menguji apakah tindakan menggereja kita sudah terarah pada pembebasan kemanusiaan dari segala kecenderungan distorsif dan destruktif, yang menenggelamkan manusia dalam kehancurannya sendiri. Malah lebih jauh, “kembali ke gereja” adalah suatu panggilan untuk mendekonstruksi pemahaman-pemahaman luncas bahwa gereja hanyalah suatu entitas rohani yang jauh dari pertautan intim dengan realitas konteks gumulnya. Gereja pada dirinya tidak mengajarkan jalan masuk Kerajaan Surga, tetapi justru mengajarkan bagaimana matra Kerajaan Surga itu termanifestasi di bumi, kini dan di sini.

Bagi saya, bukan aspek “kembali ke gereja” itu yang penting, melainkan apa implikasi yang seharusnya muncul dari gerakan “kembali ke gereja” itu. Gereja kita sangat kaya dengan pernyataan-pernyataan teologis, tetapi miskin sekali dalam implementasi praksis teologis. Alih-alih memberikan alternatif gaya hidup sebagai cara kritis menguji dirinya dan menanggapi konteks gumulnya, gereja – sebagai institusi dan manusia – kerap malah asyik-masyuk dalam kenikmatan mengagumi pesona diri dengan kemolekan-kemolekan rohani yang artifisial, seolah-olah sedang merayu Allah dengan kegenitan spiritualitasnya yang semu.

Implikasi berteologi adalah terbentuknya suatu gaya hidup alternatif. Risikonya adalah kita akan dipandang “aneh” karena menganut gaya hidup berbeda dengan dunia (oikos). Tapi jangan salah sangka bahwa dengan demikian kita ingin memilih gaya hidup seperti kaum Amish di Amerika Serikat yang menolak segala bentuk teknologi modern. Bukan bentuk yang kita tolak, tetapi ideologi di balik bentuk-bentuk kehidupan modern. Tanpa jarak kritis, ideologi modern secara subtil merasuk ke dalam cara pandang dan sikap menggereja kita, lalu perlahan-lahan membuat kita terlena dalam ekstasi rohani yang hanya sekadar mengagumi bentuk-bentuk simbolik tetapi abai pada transformasi sosial yang memang sudah menjadi panggilan menggereja itu sendiri.

Gereja yang ekumenis pada hakikatnya adalah cara gereja membangun gaya hidup alternatif. Gereja yang membumi (oikos) adalah gereja yang bersahabat dengan bumi; gereja yang membangun persaudaraan dengan semua yang “lain” (others); gereja yang berpolitik untuk melawan penindasan politik, eksploitasi ekonomi, dan pemiskinan; gereja dengan ruang-ruang yang terbuka lebar, bukan hanya untuk membangun kerohanian individual melainkan untuk membangun dialog spiritual secara leluasa; gereja yang bermisi, bukan untuk mengkristenkan tetapi memperkenalkan spiritualitas kristiani yang percaya diri, bersahabat, egaliter, dan non-diskriminatif.

Mungkinkah?

Aku gereja kau pun gereja… (nyanyikan terus…)

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces