Sudah cukup jauh dari rumah baru teringat saya lupa bawa handphone. Mau balik ke rumah sudah tanggung. Kalau pun dipaksakan, bisa terlambat Kanu tiba di sekolahnya. Janganlah. Ini hari terakhir Kanu ikut ulangan tengah semester. Materinya pun berat (bahasa Mandarin) dan perlu konsentrasi serta ketenangan. Jalan terus. Biarlah seharian ini silence alias sama sekali tidak bisa mengirim/menerima panggilan atau SMS.
Menjalani jam-jam sepanjang pagi (sambil tunggu jam mengajar) tanpa HP ternyata memberi nuansa ketenangan tersendiri. Pikiran tenang, hati senang. Bisa lebih konsentrasi nimbrung di facebook atau nge-blog. Aktivitas terakhir ini jarang sekali dilakukan karena ada saja kesibukan sepanjang hari, yang menuntut saya harus “berlompatan” kesana kemari.
Tersadar pula betapa sulit zaman sekarang hidup tanpa HP. Bolehlah lupa yang lain, tapi HP haram dilupakan. Kata seorang teman: “Zaman sekarang jalan tanpa HP, bisa sesak napas.” Wah, sebegitu pentingnya. Produk teknologi yang satu ini memang sudah menjadi semacam idol dalam kehidupan setiap orang. Mulai dari tukang sapu jalan yang gajinya hanya berbunyi “tus” sampai eksekutif berdasi dengan gaji berbunyi “yar”. Semua perlu HP. Apalagi dengan fitur-fitur yang makin canggih. Semua kebutuhan bisa terpenuhi. Dari chatting sampai baca kitab suci. Semua dengan mudah ditenteng dalam HP yang mungil dan superringan. Dalam banyak kesempatan saya juga sering mendapati orang-orang Kristen beribadah tanpa perlu lagi bawa Alkitab (versi printed) tapi sudah dalam format program di HP. Bahkan ada pendeta yang sebelum mulai berkhotbah membaca Alkitab dari HP. Praktis, katanya. Asal jangan lowbat pak… bisa berabe tuh.
Sehari tanpa HP menyadarkan saya bahwa benda kecil ini telah menjadi suatu ideologi dan gaya hidup. Kalau mau ekstrem bisa dikatakan hidup bisa berhenti tanpa pegang HP. Seluruh pikiran dan jiwa kita sudah dikuasai oleh HP. Barang ini seolah-olah makin bernyawa dan kita dihipnotis oleh auranya. Jiwa kita pun tak berdaya tanpa “roh” HP. Bisa ditebak, bahwa relasi-relasi sosial pun makin ditentukan dan ditaklukkan oleh HP. Anda tidak harus menerima panggilan seseorang. Atau Anda harus menerima panggilan seseorang kendati Anda sedang rapat atau beribadah (karena HP Anda terus ON). Bisa juga, Anda merasa tidak perlu berkata jujur tentang di mana Anda berada, apa yang Anda sedang lakukan, atau Anda sedang berada dengan siapa. Jawaban yang kerap terdengar adalah “OTW” (on the way alias sedang di jalan), padahal Anda masih baru bangun tidur dan belum mandi. Atau kalau tidak mau diganggu, dengan enteng kita bisa bilang: “sorry nih, saya lagi rapat. Nanti saya telepon.” Kenyataannya kita tidak pernah menelepon balik. Banyaklah contohnya.
Lupa HP sehari membuat saya teringat cerita dalam Alkitab tentang seorang pengusaha muda yang kaya. Ia datang kepada Yesus dan menanyakan apakah yang harus diperbuatnya supaya memperoleh hidup kekal. Yesus menjawab dengan sejumlah pernyataan normatif sebagaimana tercantum dalam hukum Taurat. Pengusaha muda nan kaya itupun menyahut bahwa semua hukum agama itu telah dilakukannya. Maka Yesus meminta dia menjual seluruh hartanya, membagikannya kepada orang-orang miskin, dan ikut Yesus. Sang pengusaha muda nan kaya itu lalu tertunduk dan membisu, terus tanpa cingcong ngeloyor pergi. Injil mencatat: … karena banyak hartanya.
Kesalehan pengusaha muda itu tidak diragukan. Hukum-hukum agama ditaati dan dijalani dengan setia. Tetapi sebenarnya hati dan hidupnya tidak dirembesi oleh makna hukum-hukum itu. Hukum-hukum agama hanya sebuah tampilan normatif tetapi tidak menggugah dan menggelisahkan hidupnya sendiri dalam relasi sosialnya. Ia hanya gelisah dengan keselamatan dirinya dan tidak pusing dengan realitas sosial di sekitarnya. Bahkan kemanusiaan orang lain tidak lebih berharga dari barang (harta) yang dimilikinya. Hidup kekal hanya menjadi pesona ekstasi masa depan yang sangat individualistik. Hidupnya terbelenggu oleh rantai-rantai ideologis yang membutakan dan mendangkalkan kedalaman hidup hanya pada benda. Ia tidak menjadi dirinya sendiri. Ia hanyalah label yang baru bermakna ketika melekat pada barang yang dimiliki atau dibawanya.
Sehari tanpa HP sontak menyadarkan saya tentang apa yang sebenarnya menjadi prioritas dan orientasi hidup kita. Kendati masih kabur, tapi sudah mulai tersingkap: apakah kita masih menjadi diri sendiri ataukah kita hanya dikenal karena apa yang kita pegang dan kita punya? Sebuah reifikasi yang menyeret kita menjadi “nothing without the thing you have”. HP memang penting; tapi tentu bukan prioritas sampai-sampai kita harus membudak padanya. HP membantu kita membangun relasi dengan orang yang jauh; tapi tidak bisa menaklukkan kita hanya menjadi manusia-manusia yang kesepian di tengah hiruk-pikuk kerumunan orang-orang di sekitar kita – yang nyaris tak kita sapa karena kita lebih asyik-masyuk dengan facebook, chatting, mp3, dan sejenisnya. Lalu, kita tertawa sendiri, bergumam sendiri, bicara sendiri. Bukan tak mungkin kita akhirnya sibuk dengan pikiran sendiri dan buta terhadap kehadiran orang lain di sekitar kita – itu tanda bahwa kita sedang menjadi tak waras…
No comments:
Post a Comment