Aku menulis maka aku belajar

Saturday, March 13, 2010

The Hero


Entah sudah berapa kasus kecelakaan lalu-lintas yang terjadi di kota Ambon sejak pertengahan tahun 2009 hingga awal tahun 2010. Konon, hampir seluruh kasus kecelakaan tersebut memakan korban jiwa alias tewas di tempat, dan hanya sebagian kecil yang selamat dengan cacat tubuh. Angka yang pasti belum diperoleh. Tetapi apalah arti angka-angka itu jika kecelakaan demi kecelakaan terjadi di depan mata atau bahkan kita alami sendiri. Yang cukup memprihatinkan ialah kebanyakan korban kecelakaan tersebut adalah kalangan siswa dan/atau remaja.

Jika ditanya mengapa tingkat kecelakaan lalu-lintas di kalangan remaja atau siswa begitu tinggi, kalangan publik akan mengatakan pernyataan yang nyaris seragam: “Dorang kapanasang baru tau bawa motor. La su seng inga kata ini jalan umum. Dong kira kata ini sirkuit balap kapa.” Pendapat publik tersebut tentu tidak bisa disalahkan, karena mereka melihat sendiri bagaimana aksi ugal-ugalan kalangan remaja Ambon di jalan raya. Aturan-aturan dasar berkendaraan motor dilanggar. Rambu-rambu lalu-lintas nyaris hanya dianggap hiasan belaka, tanpa makna. Keselamatan diri sendiri dan bahkan orang lain diabaikan, yang penting bisa tampil mooi berlenggak-lenggok di atas motor bak penari jaipong; menyusup, menyalip, menikung, meniru gaya Valentino “the doctor” Rossi, Casey Stoner, dan para pembalap moto-gp lainnya.

Tingkah meniru (imitasi) yang dilakukan oleh para remaja dan siswa tersebut juga tidak bisa disalahkan karena memang begitulah proses perkembangan psikologis remaja yang sedang mencari bentuk-bentuk ekspresif untuk menemukan identitasnya. Maka ketika media dengan setia menayangkan adu cepat moto-gp, itulah yang menjadi titik bagi identifikasi “the hero” yang ingin diimitasi oleh para remaja. Risiko kecelakaan tentu bukan tidak diperhitungkan, tetapi itu dianggap sebagai bagian dari pilihan menjadi “the hero” tersebut. Apa yang tidak atau sengaja tidak dipertimbangkan ialah ketersediaan ruang untuk proses identifikasi “the hero” tersebut.

Kompetisi racing memang sempat diselenggarakan beberapa waktu lalu. Sayangnya, kompetisi racing tersebut lebih terkesan “kampanye politik” ketimbang suatu upaya menyalurkan energi para kaum muda Ambon. Kesan itu tentu tidak berlebihan jika mencermati bahwa ajang racing diselenggarakan pada masa-masa kampanye pemilu legislatif. Lantas, setelah itu? Nihil. Jadi dapat dipastikan bahwa dalam hal ini ajang-ajang racing (atau lainnya) yang berkaitan dengan menyalurkan energi kaum muda belum dilakukan dengan pertimbangan kebutuhan dan secara programatis. Pertimbangan tren anak muda masih menjadi rujukan utama, yang dalam hal ini sangat kuat dipengaruhi oleh pesona media televisi yang gencar memperkuat konstruksi imajinatif “the hero” bagi kalangan muda.

Imitasi “the hero” tersebut sangat kuat dalam tayangan-tayangan media saat ini. Lihat saja bagaimana media melakukan rekonstruksi realitas untuk mencari “pahlawan”. Anak-anak sekolah beradu pengetahuan umum dengan para artis, yang kemudian kalau kalah harus mengakui bahwa dirinya tidak lebih pandai dari siswa kelas 5 SD. Para waria digembleng melalui ujian-ujian fisik ala militer agar mereka kembali pada hakikat dirinya sebagai “laki-laki sejati”. Para remaja dan anak-anak disuguhi mimpi-mimpi menjadi idola, kendati kemudian tetap harus takluk pada hukum kapitalisme bahwa “sms”-lah yang menentukan statusnya sebagai idol, bukan prestasi atau kepiawaian olah vokalnya. Masih banyak contoh yang bisa dideret lebih panjang lagi.

Tidak hanya itu. Publik pun tidak punya pilihan selain menelan mentah-mentah seluruh pemberitaan yang dianggap boom bagi pengelola media. Bukan hanya Rossi dan Stoner yang adu cepat di sirkuit balap moto-gp, kalangan media pun adu cepat dalam menyajikan hot-news. Tidak ada pilihan selain harus melahap berita-berita heboh tentang “cinta segitiga”, “kawin siri”, “pembunuhan berencana”, “korupsi”, dan “perselingkuhan”. Seolah-olah semua itu sudah menjadi platform berita di negeri ini. Ketika media gencar menembak publik dengan mesiu-mesiu pemberitaan semacam itu, publik pun terkonstruksi untuk memahami bahwa itulah “realitas”; maka yang di luar itu tidak dianggap sebagai realitas. Kompleksitas realitas pun direduksi menjadi ruang-ruang sempit di mana semua orang dipaksa berjejalan di dalamnya. “Realitas” adalah apa yang dilihat melalui layar kaca atau kertas-kertas berita. Jika tidak ditayangkan atau diberitakan maka itu bukan realitas. Realitas menjadi mitos yang hanya bisa diakui kesahihannya jika telah dikonstruksi oleh media. Publik hanya bisa mengucapkan “pengakuan iman” akan kebenaran mitos media. Polemik terjadi hanya karena setiap orang membaca dan/atau mendengar sumber berita yang berbeda, tetapi tidak tergerak untuk berpartisipasi dalam pengalaman ilmiah (menalar, mengkaji, meneliti).

Dalam konteks semacam itu, publik pun digiring untuk masuk dalam arena balap. Bukan balap motor, melainkan balap informasi. Semua orang menjadi haus informasi tentang kemana raibnya Rhani Juliani yang - menurut media - terjebak dalam cinta segitiga Antasari dan Nasrudin; semua orang haus informasi siapa yang akan muncul sebagai Dream Girls; semua orang haus informasi siapa yang bakal muncul sebagai tandem capres-cawapres dalam format gado-gado politik alias koalisi; semua orang haus informasi bagaimana akhir dari cerita yang membuat orang termehek-mehek; dan sebagainya. Lantas, ketika seluruh perhatian digiring ke soal-soal semacam itu, tidak ada lagi yang merasa butuh dengan informasi tentang betapa mengenaskan kondisi fisik gedung-gedung sekolah di hampir seluruh provinsi Indonesia - yang tidak lebih baik dari kandang binatang; nyaris makin minim yang peduli dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang karena para incumbent kini sedang sibuk menggalang dukungan kursi panas pilpres 2009; makin sedikit pula perhatian orang untuk menyoroti ketimpangan-ketimpangan proses pembangunan dalam kerajaan “otonomi” yang makin merenggangkan solidaritas sosial antarwilayah; dan sebagainya.

Adu cepat atau balap informasi rasanya kini sudah menjadi keniscayaan. Tulisan ini pun lahir dari geliat menggali informasi sebanyak mungkin dan seakurat mungkin. Namun, rasanya dalam “balapan” bukan hanya faktor kendaraan yang penting, tetapi siapa yang memegang kendali atas kendaraan itu. Tim Fiat Yamaha bisa unggul hanya ketika Valentino Rossi piawai mengendalikan motor tunggangannya; secanggih-canggihnya sepeda motor Rossi, itu tetap barang mati yang hanya bisa melejit dalam kendali seorang Rossi. Bukankah paradigma itu pula yang bisa kita kenakan kepada media? Persoalannya, apakah kita hanya akan mengimitasi “the hero” bentukan media? Ataukah kita serius untuk menjadi diri sendiri dan berani melahirkan karakter-karakter “the hero” sebagai hasil dari proses pencarian jati diri kita sendiri?

Menjadi “the hero” bukanlah menjadi orang dengan sederet gelar “ter-” (tercepat, terbaik, tercantik, dsb), melainkan suatu kapasitas individual yang memiliki karakter melahirkan inovasi dan kreasi karena menyadari kompetensinya sendiri. Prestasi dan kesuksesan yang dihasilkannya lahir dari suatu proses pengalaman belajar dan belajar dari pengalaman. Pengetahuannya adalah suatu dialektika antara yang teoretis (kognitif) dan yang praksis (afektif); yang tidak haus informasi tetapi jeli dan cermat menerima informasi bagi pengembangan karakter diri.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces