Aku menulis maka aku belajar

Friday, February 8, 2008

Neolib dan Neolip


Panjang dan melelahkan.[1] Mungkin itu dua kata yang tepat untuk menggambarkan seluruh proses study meeting hari kedua KONAS GMKI 2006 ini. Hampir seharian para peserta KONAS dibombardir dengan berbagai konsep, paradigma, pendefinisian, dan metodologi dari berbagai sudut pandang. Kalau boleh meminjam istilah yang sedikit seksis, “neoliberalisme” (yang gemar disingkat “neolib”) ibarat seorang gadis yang sudah dibongkar habis virginitasnya. Kita (maksudnya: peserta KONAS) sudah menelusuri seluruh lekak-lekuk tubuh sang “gadis” neolib sampai pada titik-titik rawan. Mungkin pula seluruh energi kita sudah terkuras dalam orgasme intelektual yang melelahkan, sehingga membuat kita terengah-engah. Namun, seluruh proses itu pada akhirnya membuat kita sadar betapa kita ternyata tidak mampu melepaskan diri dari jerat-jerat cinta dan birahi neolib.

Tulisan ini hendak mencoba mengabstraksikan seluruh proses diskursus panjang yang dirangkai dalam tiga sesi kajian neolib: (1) dalam perspektif keindonesiaan; (2) kekristenan; dan (3) pemuda. Kita memang harus menyadari bahwa postur neolib ini tidak dapat kita candrai secara tepat dan eksak, atau clara et distincta, demikian kata eyang Rene Descartes. Ada peserta yang bicara soal epistemologi. Ada panelis yang bicara soal fondasi ontologis. Panelis lainnya menggagas soal dekonstruksi teologi dan perlunya kontekstualisasi teologi. Saya kira, semua “pisau bedah” itu pada satu sisi menunjukkan kealotan neolib dan, pada sisi yang lain, merelatifkan seluruh pendekatan tersebut. Dalam konteks ini, elaborasi konseptual neolib memang sudah semestinya diposisikan dalam sebuah evaluasi yang lebih kualitatif sifatnya. Memahami neolib hanya sebatas sebuah geliat ekonomi global akan menyesatkan kita dalam rimba belantara perdebatan tak berujung. Karena memang neolib itu sendiri tidak lagi mampu dikarantina pada sebuah sekat sempit “ekonomi”. Maka bandul pendulum evaluasi dan kritik kita semestinya berayun pada erklaren (pengukuran-pengukuran eksakta, misalnya: fokus pada data kuantitatif mengenai dampak kebijakan neolib yang mewujud dalam angka-angka kemiskinan) dan juga verstehen (pengandaian-pengandaian yang lebih kualitatif dalam menyikapi suatu fenomena sehingga terbentuk sebuah pemahaman yang menukik). Keterjebakan pada determinasi parsial pada salah satu bandul pendulum hanya akan bermuara pada keluncaspahaman (misunderstanding).

Nampaknya, dua tendensi itu muncul dalam intensitas yang bervariasi jika melihat kembali seluruh rekaman proses panel diskusi kemarin. Pada satu pihak, jarum sejarah neolib tidak bisa diputarbalik. Neolib harus dihadapi sebagai suatu fakta sosial. Di lain pihak, neolib bisa juga dilihat sebagai utopia yang menciptakan mitos-mitos baru seperti “kebebasan tanpa batas” atau cosmopolitical democracy. Dalam kajian antropologi budaya, setiap masyarakat mempunyai dan membutuhkan mitos. Mitos memberikan sebuah pengharapan akan keberlangsungan hidup dan bertahannya masyarakat itu dalam konteksnya. Dalam masyarakat modern pun dibutuhkan formula-formula mitologis yang memberi ruang bagi konstruksi identitasnya dalam arus perubahan-perubahan sosial dan/atau dalam naik-turunnya peradaban-peradaban manusia.

KONAS GMKI 2006 dicurigai mengangkat tema neoliberalisme sebagai suatu proses diskursus yang mencoba menyelingkuhi grand-narrative neoliberalisme, dengan suatu kemungkinan untuk menentukan praksis. Sebuah praksis (bukan praktis!) adalah sebuah pendaratan empirik dari impuls-impuls kognitif mengenai gagasan-gagasan abstrak atau filosofis. Di situ yang dibutuhkan adalah “kecerdasan”, dalam arti tingginya tingkat kematangan seseorang dalam merespons realitas. Tanpa tingkat kematangan itu maka dikhawatirkan kita akan terperangkap dalam apa yang disebut Gaston Bachelard sebagai “keretakan epistemologis”. Bukan tidak mungkin, di situlah letak soal kita dalam ber-GMKI.

Mungkin saja (ini sebuah kecurigaan) kita lebih banyak memberikan apresiasi yang luar biasa pada sebuah gaya hidup elitis yang hanya membangun karakter organisasi pada penghamburan sperma-sperma kognitif dalam wicara (bukan wacana). Sehingga seluruh pergerakan kita tidak melahirkan embrio-embrio pembaruan karena memang kita tidak berhasil membuahi rahim masyarakat dengan gagasan-gagasan baru dan bernas. Aksentuasi kita lebih pada bagaimana menampilkan “bibir-bibir baru” atau neolips ketimbang bereksplorasi secara programatik dalam membedah tema-tema kontemporer yang lebih populis. Dengan perkataan lain, masalah utama kita justru adalah ketika kita berani mengajukan sebuah wacana argumentatif tetapi kemudian menjadi linglung dalam metodologi penyelesaian masalahnya. Lalu, kita lebih banyak terjebak dalam imperatif “kita harus” tetapi kelimpungan dalam proses class action. KONAS GMKI memang baru saja dimulai, tetapi perlu diingatkan jangan sampai kita terbingung-bingung dalam lingkaran mempersoalkan praksis dan wacana. Mana yang mau kita pilih: NEOLIB atau NEOLIP? Tak tahulah...



[1] Tulisan ringkas ini mulanya refleksi proses yang dimuat pada “Parrhesia” No. 03/Tahun I/5 April 2006 (hlm. 5 & 7), media komunikasi dan informasi KONAS GMKI di Ambon 3-8 April 2006.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces