Serangan fajar dari prajurit TNI Yonif 731/Kabaressi pada 2 Februari 2008 terhadap sejumlah fasilitas Polres Maluku Tengah di kota Masohi merupakan sebuah peristiwa yang sungguh memalukan dan memilukan. Memalukan, karena kesatuan TNI yang sejatinya dipersiapkan sebagai alat pertahanan negara untuk menghalau musuh dari luar ternyata justru menjadi pasukan penebar teror kepada rakyat, yang telah membayar pajak bagi negara dan dari situ TNI memperoleh fasilitas militernya. Memilukan, karena peristiwa itu terjadi antara dua institusi pertahanan dan keamanan dengan menggunakan senjata tempur dan strategi perang layaknya sedang menghadapi musuh. Apalagi dalam peristiwa tersebut jatuh korban jiwa dan rusaknya hampir sebagian besar fasilitas Polres Maluku Tengah.
Ada apa dengan TNI dan Polri? Peristiwa penyerbuan prajurit TNI Yonif 731/Kabaressi tersebut tentu tidak bisa hanya dilihat sebatas masalah lokal saja. Menurut sejumlah sumber, kejadian serupa pernah terjadi sebelumnya pada tahun 1985. Bahkan kejadian serupa juga terjadi di daerah-daerah lain. Artinya, ada sesuatu yang tidak beres antara kedua institusi negara ini. Ketidakberesan hubungan keduanya tentu tidak dapat dianggap sepele mengingat keduanya adalah institusi-institusi yang diberikan legitimasi oleh negara untuk memegang senjata dan mempraktikkan kekerasan formal kepada para pelaku kejahatan yang mengancam kehidupan masyarakat sipil dan eksistensi negara.
Sejak Reformasi 1998 TNI dan Polri terpisah menjadi dua institusi yang independen. Pemisahan tersebut merupakan langkah awal melakukan reformasi institusional dari dua lembaga tersebut. Namun, pada kenyataannya sejumlah kasus bentrokan tentara dan polisi mengindikasikan bahwa reformasi yang digaungkan itu belum menyata dalam wujud yang kasat mata. Rakyat mengharapkan bahwa melalui pemisahan tersebut akan terbentuk mentalitas prajurit dan polisi yang profesional. Sehingga postur tentara dan polisi tidak lagi angker seperti yang pernah terjadi selama masa pemerintahan represif Orde Baru, melainkan benar-benar menjadi representasi fungsi negara yang memberikan rasa aman dan menciptakan ketertiban sosial dalam kehidupan masyarakat.
Toh, semua harapan rakyat itu menguap seperti asap yang dihembuskan angin. Rakyat bukannya merasa aman, tetapi malah hidup dalam "teror" terselubung yang tak mampu diduga. Hanya karena urusan sepele yang sebenarnya bisa dikomunikasikan tentara dan polisi dengan "ringan tangan" saling dor-doran ala cowboy tanpa hirau pada asas sapta marga dan sumpah prajurit. Malah, mereka menganggap negara ini seperti milik mereka sendiri, lalu rakyat hanya obyek dari keliaran mereka menggunakan senjata. Rakyat hidup dalam teror karena ulah tentara dan polisi yang seharusnya melawan para teroris. Kalau begitu, sebenarnya teroris itu yang mana? Kenapa mereka dengan mudah meluapkan kemarahan dalam bentuk anarkis semacam itu? Apakah mereka memang kurang diberikan kesempatan untuk "perang tanding"? Nah, kalau memang begitu kenapa tidak angkat senjata saja dengan tentara Malaysia yang - katanya - sudah mengambil banyak wilayah Indonesia?
Namun, jauh di balik pertanyaan-pertanyaan dan gugatan tersebut, kita perlu terus mencermati secara serius relasi institusional antara TNI dan Polri. Agar kedua lembaga ini tidak bertumbuh makin arogan dan menganggap sepele hak hidup dan hak untuk memperoleh keamanan dalam sebuah negara yang berdaulat. Apapun soalnya, nasib rakyat tidak boleh dianggap remeh, jika kita ingin menjadi sebuah bangsa yang besar. Peristiwa bentrokan prajurit TNI dan Polri tidak bisa diselesaikan hanya sebatas mempertemukan kedua belah pihak lalu saling berpelukan dan menangis. Ada masalah yang lebih esensial dan mungkin pula historis, yang perlu diluruskan dan dikomunikasikan secara terbuka, kemudian diperlukan suatu kesepakatan bersama untuk membangun sistem pendidikan militer dan polisi yang komprehensif dengan satu ideologi fundamental: "menjaga hidup rakyat".
Prajurit TNI dan Polri tidak cukup hanya dibekali kemampuan teknis militer dan beladiri, tetapi yang tak kalah pentingnya ialah membentuk kemampuan nalar mereka sehingga mereka tidak hanya tercetak sebagai mesin perang, melainkan benar-benar menghadirkan diri mereka sebagai tentara dan polisi yang profesional dan cerdas. Sebagai yang demikian, mereka akan menjadi kekuatan penghancur teror dan menciptakan suatu kehidupan bernegara yang kuat karena rakyatnya percaya akan kemampuan aparatus pertahanan dan keamanan negaranya.
No comments:
Post a Comment