Ketika tulisan sederhana ini disusun, suasana tenang meliputi kota Ambon. Tidak ada bunyi-bunyian senjata (tembakan dan bom) yang biasanya terdengar. Dinamika masyarakat pun berjalan sebagaimana biasanya (seperti yang sudah kita jalani selama 3 tahun). “Ketenangan” itu tercipta sejak beberapa orang yang mewakili komunitas Kristen dan komunitas Islam, dengan mediasi pemerintah, berhasil duduk bersama untuk mengurai kembali benang kusut yang selama ini tampaknya susah diuraikan sehingga menampilkan suasana sosiologis dan psikologis yang berbelit-belit dengan segala problematika yang tak terendus ujung dan pangkal masalahnya. Pertemuan itu terjadi di Malino (Sulawesi Selatan) yang kemudian disebut dengan Perjanjian Maluku di Malino. Dan saat-saat ini hasil-hasil perundingan itu sedang disosialisasikan ke segenap lapisan masyarakat.
Memang ada kelompok-kelompok yang pro dan kontra menyikapinya. Tetapi itu tak masalah, bahkan wajar sebagai suatu residu sosial. Persoalannya, penegasian suatu kontrak sosial tidak boleh secara semena-mena kemudian menyulut kembali konflik sosial. Tetapi syukur alhamdulilah, bahwa pemerintah – katanya – juga terikat dengan kontrak sosial Malino ini sehingga mereka juga turut bertanggung jawab dengan seluruh Piagam Malino (Malino Charter) ini.
Saya rasa kita tidak perlu mempersoalkan lagi seluruh hasil Malino. Tetapi sebagai suatu momentum historis yang signifikan sepanjang 50 tahun lebih pasca-RMS, rasanya sayang kalau kita tidak sedikit mengutak-atik substansi dan implikasi sosio-politis dari Piagam Malino ini bagi kita orang Maluku. Apalagi, mengingat kita semua yang ada di sini juga adalah aktor-aktor sejarah. Tentu dari angle itu kita berkepentingan dengannya. Ini bukan sebuah tulisan diskusi politik yang sophisticated, melainkan hanya upaya penelusuran reflektif terhadap realitas yang sedang kita jalani. Namanya juga refleksi, ia bisa mendalam tetapi juga bisa sebatas kulit, tergantung dari sejauhmana kita memberi makna eksistensial padanya.
Menjadi Orang Maluku: Sebuah Kemutlakan dan Wahyu Ilahi
Kenapa kita harus jadi orang Maluku? Anda mungkin menganggap ini pertanyaan naif. Anda benar. Tapi mungkin juga Anda tidak benar. Ketidakbenaran pemahaman mengenai identitas kita itu terbentuk bukan karena kita adalah bangsa yang bodoh dan tidak beradab, melainkan justru karena kita tidak pernah mempertanyakannya secara serius. Sebab pertanyaan siapa kita adalah pertanyaan eksistensial yang menukik langsung ke inti hakikat kita sebagai manusia yang utuh. Terlalu filsafati? Ya. Karena kita tidak akan pernah bisa menemukan esensi kemanusiaan kita tanpa berfilsafat (baca: bertanya sampai ke inti kebenaran yang tak bisa lagi dipertanyakan). Jika ditelusuri, para leluhur kita sebenarnya telah pula “berfilsafat” dengan cara mereka sendiri. Melalui apa? Mitos, cerita-cerita rakyat (folktales), narasi kosmogonik (terciptanya suatu wilayah tinggal bersama), lagu-lagu rakyat (folksongs), ungkapan-ungkapan populis (mena muria, lawamena haulala), institusi tradisional, sejarah dll. Semuanya itu merupakan manifestasi filosofis yang merefleksikan hakikat kemanusiaan suatu kelompok sosial yang hidup dalam lingkungan hidup tertentu. Dengan cara seperti itu, mereka hendak menyampaikan kepada generasi selanjutnya tentang makna kemanusiaan mereka dalam konstelasi kosmologis dan sosiologis yang utuh.
Dengan medium-medium tersebut, para generasi selanjutnya dapat memaknai eksistensinya sebagai manusia yang berakar dalam ranah historis dan kebudayaan. Di dalam sejarah dan kebudayaan kita semakin terbentuk dalam bingkai identitas diri yang menentukan siapa kita dan bagaimana kita harus hidup.
Refleksi semacam itu, meskipun penting, tetapi juga memiliki keterbatasan sebagai karakter yang melekat dalam setiap kebudayaan. Kebudayaan itu dinamis dan karena itu sekaligus tidak bebas nilai. Kesadaran akan keterbatasan kultural itu dalam wacana kebudayaan mengkristal dalam konsep “Ada Yang Tertinggi” (Supreme Being) yang kemudian kita kenal sebagai “Tuhan”. Konsepsi Tuhan ini bersifat liminal (ambang). Dia melampaui kebudayaan dan secara simultan juga inheren dalam kebudayaan manusia. Dalam kemutlakan-Nya, Ia juga menjadi relatif dalam simbol-simbol universal dari struktur kesadaran manusiawi, sehingga manusia juga bisa menentukan bentuk-bentuk kehadiran-Nya dalam kehidupan manusia. John Cobb menyebutnya sebagai divine absoluteness dan divine relativity. Dalam kemutlakan-Nya, kita menjadi orang Maluku, sekaligus dalam realitivitas-Nya kita berkorelasi secara kreatif. Dari sana kita bisa mengakui bahwa kemanusiaan Maluku mengandung penyataan-penyataan ilahi (divine revelations) yang memungkinkan orang Maluku berdialog dengan Tuhannya. Wahyu hanya terjadi dalam realitas ruang dan waktu. Bukan di luar itu.
Saya kira, pada poin itu, kita diberikan kebebasan untuk bertemu dengan Tuhan dalam konteks kita. Atau dengan perkataan lain, kita dibebaskan dari belenggu dogma-dogma tradisi yang – meski penting – tetapi out of date untuk meneratas jalan berdialog dengan Tuhan secara konkret.
Malino: Perjumpaan Manusia sebagai Manusia
Lantas, apa hubungannya dengan Malino? Hubungannya memang tidak langsung. Bukan substansinya, tetapi makna eksistensialnya. Kalau mau dikatakan secara sederhana, konflik di Maluku ini merupakan salah satu manifestasi dari kekeliruan kita memahami siapa kita sebagai manusia dan bagaimana kita menghubungkan kemanusiaan kita dengan Tuhan. Saya tidak ingin kita berdebat kusir tentang apakah Tuhan itu Allah SWT atau Yahweh atau Allah Bapa/Yesus Kristu/Roh Kudus. Karena – setuju dengan John Hick – itu hanyalah nama-nama kultural yang digunakan oleh manusia sesuai dengan pencerapan kesadarannya yang dibentuk oleh konteks sejarah dan kebudayaan yang bersangkutan. Sementara Tuhan itu sendiri pada hakikatnya adalah realitas transenden yang tak terjangkau nalar.
Bentukan produk kultural yang dikemas dalam kulit “ilahi” ini dapat menjadi sangat ideologis jika konseptualisasi kekuasaan ilahi itu dilekatkan pada subjek manusia dan institusi-institusi sosial. Bila agama sudah menjadi sangat ideologis, maka ia tidak lebih dari moncong senjata yang sewaktu-waktu bisa memuntahkan peluru bagi siapa saja yang dianggap mengancam dirinya. Lihat saja sejarah transmisi ideologi keagamaan di berbagai belahan dunia sepanjang abad kolonialisme dan imperialisme yang penuh pertumpahan darah. Oleh karena itu, perjumpaan di Malino sebenarnya sebuah turning point untuk melakukan critical review terhadap seluruh fundamen kebudayaan kita sebagai orang Maluku yang diaborsi oleh kekuatan-kekuatan politik negara. Sekaligus dengannya kita mesti membangun kembali kesadaran budaya kita sebagai “manusia Maluku”. Tanpa kesadaran tersebut, saya tidak bisa membayangkan betapa terpuruknya proses identifikasi kita terhadap keberakaran budaya dan sejarah kita sendiri.
Dalam amatan saya, perundingan Maluku di Malino bukan hanya sebuah kontrak sosial, tetapi juga sebuah retreat untuk melangkah kembali dalam tatanan hidup yang wajar dan adil. Ketika identifikasi kita sebagai orang Maluku telah mencapai kembali bentuk embrionalnya (suatu tipologi mengenai new-born), baru kita bisa mereposisi genetika kebangsaan kita dalam entitas Indonesia ini secara jernih. Hanya dengan begitu, jarak kritis terhadap tendensi kooptasi kekuatan-kekuatan politik negara bisa dilakukan.
“Malino” adalah momentum sejarah tetapi juga dialektika sosiologis yang sedang berproses mencari bentuk-bentuk kehidupan sosial yang relevan dan bermakna baru. Seperti sebuah mobil yang berhenti di traffic light, kita harus berhenti sejenak pada 0 (nol) kilometer untuk kemudian melanjutkan perjalanan.
Batumeja, Kamis 14 Maret 2002
Slamat jumpa di dunia maya lagi Bung, jang lupa ade punya weblog, http:\\tal4mbur4ng.blogspot.com
ReplyDeleteSemoga katong seng tapisah jarak lai dengan akang sarana satu ni.
Salam usi and Kanu
Nyong manis...danke lai su mangente kaka pung walang ni deng taru kata par akang. Kaka pasti mangente ade pung walang lai. Asal jang lupa sagu gula deng teh panas. Hahaha...
ReplyDelete