Asumsi yang dangkal dan sok tahu itu pun runtuh ketika ternyata baru genap setahun yaitu 1 Februari 2008, Jakarta kembali rontok-merontok karena lagi-lagi diterjang air bah yang bingung mencari jalan keluar. Malah, kali ini boleh dibilang lebih parah. Bayangkan saja, bandara bertaraf internasional “Soekarno-Hatta” tergolek lesu tak berdaya sehingga pemerintah harus mengalihkan segala urusan terbang-menerbang ke bandara Halim Perdana Kusuma. Apa nggak heboh tuh?!
Malas juga sih berteori muluk-muluk tentang banjir. Alasan utama, ya karena saya bukan ahli banjir. Walaupun saya sadar juga bahwa “ahlinya” pun kalang-kabut mengatasi masalah banjir Jakarta. Alasan yang lain, banyak artikel ilmiah dan buku-buku yang sudah ditulis mengenai banjir dari berbagai sudut pandang. Jadi, silakan saja mencari dan membacanya jika ingin mengetahui masalah banjir Jakarta.
Di sebelah lain, agak risih juga jika sebagai salah seorang yang pernah berjuang di rimba-beton Jakarta dan pernah terjebak dalam kepungan banjir bandang, tidak ikut nimbrung – minimal lewat tulisan sederhana ini – mengenai soal itu. Asumsi awal saya sederhana saja: peristiwa banjir ini mesti dipahami sebagai disharmoni manusia dan lingkungannya sekaligus diskoneksi spiritualitas dan materialitas kemanusiaan dalam lingkup interelasi semesta. Dengan asumsi sederhana seperti itu, saya – yang bukan ahli banjir – tidak akan [mampu] membuat prediksi dan kalkulasi matematis mengenai peristiwa banjir. Jadi, paling-paling yang tertuang di sini hanyalah imajinasi liar yang seenak-enaknya saya saja mempertautkan keping-keping imajinatif itu serta merangkainya menjadi mosaik tanpa bentuk epistemik yang sahih. Namanya juga imajinatif. Tetapi, kalau nggak salah, teori ilmu pengetahuan itu kan juga bermula dari suatu imajinasi tanpa bentuk, kemudian ditarik ke dalam wilayah empirik untuk diuji. Jadi nggak salah dong...
Imajinasi Banjir
Entah mengapa, ketika menonton liputan banjir di televisi dan menerima kabar dari istri bahwa rumah kami sudah tercelup air, tiba-tiba terlintas di benak saya: jika dalam kehidupan beragama ada kelompok-kelompok yang menganggap diri paling benar lalu menuding kelompok-kelompok lain tidak benar, tidak lurus, bengkok dan sesat; sampai bisa mengeluarkan fatwa “aliran sesat”; bisa nggak ya dikeluarkan fatwa tentang aliran-aliran air yang “tersesat” masuk ke jalan-jalan dan permukiman penduduk (kampung-kampung) di seantero Jakarta?
Fatwa itu saya kira lebih universal karena keselamatan manusia dan lingkungan hidup yang menjadi dasar teologisnya. Dasar teologis? Ya, bukankah hubungan kita dengan Realitas Ultim yang kita sebut Tuhan itu tidak hanya tampak dalam ritual-ritual keagamaan kita, tetapi juga harus mewujud dalam etika hidup bersama dengan seluruh matra semesta – masyarakat dan lingkungan hidup.
Dengan demikian, bangsa yang religius tidak sekadar pamer kemegahan tempat-tempat ibadah yang menjulang tinggi dan jor-joran membangun rumah ibadah pada setiap jengkal tanah kosong tanpa peduli pada ketentuan “izin mendirikan bangunan”. Bangsa yang religius adalah bangsa yang sadar bahwa ibadah yang sejati adalah penghormatan yang tulus atas relasi-relasi kemanusiaan dengan siapa saja dan juga dengan lingkungan hidup.
Hormat pada yang kelihatan tentu saja akan menentukan ketulusan rasa hormat pada yang tidak kelihatan – Tuhan. Dalam kekristenan, Yesus mengajarkan prinsip-prinsip seperti itu – “barangsiapa menghormati saudaraku yang paling hina, dia menghormati Aku”.
Saya makin berandai-andai dengan tautan pada kontroversi seputar “pemaafan” atas kesalahan Soeharto, presiden ke-2 Republik Indonesia, yang pernah berjaya dengan segala prestasi dan kepongahan kuasa despotiknya selama 32 tahun. Pernyataan tersebut bisa bermakna ganda:
- Soeharto bagi lawan-lawan politiknya dianggap “hina” TETAPI dia mesti dihormati;
- Para korban politik semasa Orde Baru diperlakukan “hina” TETAPI mereka juga harus dihormati.
Jika banjir terjadi karena aliran air yang tersesat, tentu masalahnya bukan pada airnya, tetapi pada saluran-saluran air yang tersumbat oleh beraneka sampah yang tak terurai (non-organik). Bisa jadi, “aliran[-aliran]” keagamaan yang tidak sepaham dengan kelompok keagamaan dominan [lalu dicap “tersesat”], masalahnya tidak pada aliran[-aliran] itu tetapi pada saluran komunikasi antarkomunitas beriman yang mungkin saja tersumbat “sampah-sampah” sejarah, tafsir doktrinal yang dangkal, arogansi spiritual, persekongkolan agama-politik/politik-agama, sehingga aliran-aliran tertentu mencari jalannya sendiri dan menyimpang dari “arus utama”. Penyimpangan itu pun dianggap “bencana” namun tak mampu diatasi secara komprehensif.
Sumbatan komunikasi hanya bisa dibuka jika seluruh agama (khususnya, teistik) memahami bahwa sentrum agama adalah “manusia”, yang dalam sejarah peradabannya mencoba menggapai kebenaran dalam kemahaluasan Realitas Ultim – yang kemudian dibahasakan dalam nama “Tuhan”.
Penggagasan teologis semacam ini mau tidak mau harus melangkah pada titian humanisme yang terus-menerus waspada agar tidak tejerumus pada jurang ekstremitas humanistik di kiri dan teistik di kanan. Beragama tanpa Tuhan (teisme) hanya menarik manusia ke dalam medan magnet keperkasaan manusia yang semu (übber-mensch) yang abai pada dorongan-dorongan kebaikan eksistensial yang inheren pada kemanusiaannya. Sebaliknya, beragama tanpa manusia akan menyedot manusia ke dalam medan magnet utopia tentang “akhirat” atau “surga” yang pada gilirannya menciptakan manusia-manusia asketik ahistoris. Manusia-manusia yang syahwat sosiologisnya impoten dan hanya asyik-masyuk dalam mimpi dengan “tuhan-tuhan”-nya yang manis tanpa pernah mampu merangkul Sang Tuhan itu karena kesulitan menggauli Sang Tuhan dalam wujud kebertubuhan sosial. Iman membutuhkan tubuh sosial agama. Tubuh sosial itu pada gilirannya tak lebih dari “mayat” jika tidak dihidupi oleh iman sebagai “roh”. Iman tanpa agama ibarat “hantu”; agama tanpa iman ibarat “mayat”. Jadi jika kita beriman bahwa keberadaan kita di dunia harus menebar kasih, kebajikan dan menjadi rahmat bagi semesta, maka itu harus nampak dalam cara beragama kita. Jika agama[-agama] kita ternyata bekerja bersama-sama mengupayakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang, maka agama[-agama] kita menjadi “sosok” yang hidup dan bergerak, sehingga beriman dan beragama mendorong orang untuk masuk dalam kegairahan yang saling menghidupkan, bukan mematikan.
Di situlah selalu diperlukan kontemplasi pribadi dan sosial untuk melihat ke dalam diri sendiri dan pemahaman teologis agama sendiri, jangan-jangan saluran-saluran kasih dan kebajikan masih tersumbat aneka “sampah”.
Mengatasi persoalan “banjir” dan “sampah” bukanlah urusan gampang. Teknologi tingkat tinggi tentu terbukti banyak membantu mengurangi kadar masalahnya. Tetapi harus diakui tidak pernah mampu mengatasi tuntas sampai ke akarnya. Dalam imajinasi saya, saya melihat bahwa akar masalahnya tak lain kemampuan manusia untuk menjadikan iman kepada Sang Realitas Ultim, The Ground of our being, sebagai proses untuk melampaui disharmoni dengan semesta. Sehingga bencana kemudian tidak dipahami sebagai “kutukan” dari “Tuhan yang aneh” – aneh karena ternyata dalam kemahabaikannya “dia” penuh dengan kemarahan yang bengis, melainkan bencana dipahami sebagai proses menemukan nur-ilahi dalam diri manusia, yang mewujud dalam cinta sejati kepada sesama dan ciptaan lain. Nur-ilahi ini berfungsi sebagai saringan yang menahan aneka sampah, sehingga tidak ikut bersama aliran air emosionalitas tak terkendali. Nur-ilahi itu sendiri tidak akan pernah mampu bercahaya jika manusia menolak menghargai dirinya sebagai citra ilahi (imago dei) yang diberi tugas untuk bermisi atau syiar mengenai kasih dan kebajikan dari semua kepada semua.
No comments:
Post a Comment