Saturday, September 24, 2011
Provokasi Damai
Semai Damai Maluku
Hanya dengan itu, kita berharap tidak ada lagi korban anak-anak bangsa yang bertumbangan karena kita tidak siap hidup dalam perbedaan sebagai karunia Tuhan bagi Indonesia. Semoga!
Ketenangan Mencekam di Ambon
“Mari katong buka biji mata la lia katong dapa apa dari samua ini. Sampe jua” [Mari kita buka mata untuk melihat apa yang kita dapat dari semua ini. Cukuplah.], demikian ratap EN, seorang ibu muda, yang terpaksa harus meliburkan anaknya dari sekolah dan tidak bisa pergi berjualan. Sementara sepeda motor suaminya turut menjadi korban amuk massa, padahal kreditnya belum lunas.
Carita Orang Basudara
Meski batin remuk mendengar berita situasi tegang di Ambon, tetapi optimisme menjadi Indonesia tetap menyala karena selalu ada celah di mana cahaya harapan tembus di antara retakan-retakan tembok-tembok. Semoga!
Monday, September 12, 2011
Ambon: Akankah Kembali ke Titik Nol?
Sulit dipercaya bahwa kota Ambon kembali terpuruk setelah diguncang bentrokan massal pada Minggu, 12 September 2011. Upaya panjang, berliku, dan melelahkan untuk membangun kepercayaan antarkomunitas yang pernah terlibat perseteruan panjang hingga ke ranah etnisitas dan religiositas beberapa waktu lampau seakan nyaris terpuruk hingga ke titik nol lagi. Itu jika melihat betapa mudahnya situasi meledak dan tak terkendali hanya oleh hembusan isu sepele yang tidak terklarifikasi secara jelas. Siapakah yang berkepentingan [lagi] dengan situasi rusuh Ambon? Bagaimana pengondisian situasi Ambon hingga aparat keamanan tampaknya “kewalahan”? Seberapa jauh fungsi intelijen mencermati dan mengantisipasi berbagai peristiwa prakondisi yang menyuburkan psikologi sosial masyarakat kota untuk dengan cepat tersulut isu tersebut?
Sejumlah pertanyaan bisa ditambahkan lagi. Tetapi peristiwa Ambon 1999 mesti menjadi acuan pembelajaran sejarah kelam yang penting untuk melihat situasi mencekam yang sedang dirasakan oleh masyarakat kota Ambon. Keadaan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena akan menimbulkan ekses yang lebih besar dan luas apalagi jika sudah diboncengi berbagai kepentingan di tengah carut-marut krisis nasional di negeri ini. Tulisan sederhana ini hanyalah upaya untuk berbagi pengalaman dan wawasan agar bersama-sama sebagai anak bangsa kita tidak lagi dengan mudah terpolarisasi ke dalam kubu-kubu ideologis berlabel etnisitas maupun agama untuk kembali saling menghantam. Mari kita lihat beberapa catatan berikut.
Pertama, terdapat kemiripan peristiwa pemicu bentrokan massal. Peristiwa pemicu konflik 1999 adalah isu pemalakan sopir angkot oleh seorang preman pasar, yang - entah bagaimana - tiba-tiba sudah meluas menjadi kerusuhan di seluruh wilayah kota dan bermunculan simbol-simbol yang seragam. Pemicu bentrokan massal 12 September 2011 adalah isu pembunuhan seorang pengemudi ojek. Setelah dicek ulang pihak kepolisian daerah Maluku menyatakan bahwa kematian tukang ojek itu adalah murni kecelakaan lalu lintas. Lantas, bagaimana hal itu bisa diisukan sebagai pembunuhan jika memang tidak ada kepentingan untuk menjadikannya sebagai faktor pemicu konflik? Siapa yang berkepentingan jika Maluku atau Ambon kembali rusuh? Apakah warga kota Ambon berkepentingan dengan kerusuhan yang justru menghancurkan pekerjaan dan kehidupan mereka sendiri? Rasanya sulit membayangkan bahwa itu ada di benak masyarakat kota Ambon.
Kedua, implikasi dari konflik 1999 adalah pembentukan Komando Daerah Militer (KODAM) XVI Pattimura dan penguatan kapasitas kepolisian Daerah Maluku. Sudah tentu alokasi pasukan dan strategi pengamanan harus lebih canggih dibandingkan dengan ketika masih menjadi KOREM. Lantas, kenapa selalu muncul alasan klasik bahwa aparat keamanan kewalahan karena jumlah yang tidak sebanding? Rasanya bukan rahasia lagi bahwa ini bukan soal jumlah tapi strategi pengamanan mulai dari deteksi intelijen hingga ke operasi pengendalian situasi. Apakah bisa dikatakan aparat keamanan kita kecolongan [lagi]? Kecolongan oleh siapa? Jika melihat luas geografis kota Ambon, sulit sekali untuk membayangkan bahwa strategi, teknik, dan pasukan/persenjataan aparat keamanan kita begitu mudahnya kecolongan.
Ketiga, hanya dalam hitungan jam sejak pecahnya pertikaian ada pernyataan dari petinggi POLRI bahwa akan ada pengiriman pasukan dari luar Maluku (200 Brimob dari Makassar) untuk membantu aparat keamanan di Maluku. Dari kacamata awam, apakah situasinya sudah sedemikian tidak terkendali oleh kepolisian daerah Maluku hingga perlu didatangkan pasukan dari luar? Saya sama sekali tidak mengecilkan pentingnya strategi pengamanan yang sedang diupayakan oleh polisi. Tetapi kita juga harus terus bertanya apakah yang menjadi akar masalahnya sehingga satu isu yang tidak jelas bisa merembet dengan cepat menjadi penumpukan dan bentrok kelompok massa. Mana sebab dan mana akibat? Jangan sampai yang dipadamkan hanyalah akibat tapi sebabnya terabaikan.
Keempat, hanya dalam hitungan jam pula pemantauan saya terhadap beberapa media online telah memperlihatkan pemberitaan yang tendensius bahwa “kerusuhan” 2011 ini diasumsikan sama dengan kerusuhan 1999-2004 yang lalu. Hal ini tentu perlu dicermati secara bijaksana mengingat media memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membentuk opini publik mengenai suatu peristiwa. Oleh karena itu, peran media sangat signifikan dalam upaya turut mendinginkan situasi yang telah telanjur panas di kota Ambon.
Keempat catatan ringkas di atas sengaja saya paparkan agar kita mampu mencermati perkembangan situasi di kota Ambon dengan lebih arif. Catatan ini bukan sebuah tulisan teoretik atau upaya provokasi, melainkan sebuah refleksi pengalaman selama bergulat dengan krisis kemanusiaan akibat konflik sosial Maluku beberapa tahun silam. Perseteruan ini bukanlah keinginan rakyat [kecil] Ambon karena hingga saat ini pun banyak yang masih tertatih-tatih memulihkan kondisi perekonomian keluarga yang hancur pada waktu konflik lalu. “Kerusuhan” ini, menurut saya, juga bukan demi kepentingan rakyat [kecil] yang lebih merasakan penderitaan daripada senangnya selama konflik.
Lantas, untuk kepentingan siapa? Mari kita bersama-sama menjawabnya dengan membangun kesadaran bersama bahwa bangsa kita sebenarnya sedang berada pada titik nadir peradaban kemanusiaan karena berbagai krisis yang tak jelas arah penyelesaiannya. Jauh lebih penting daripada mempertanyakan ini kepentingan siapa, kita semua punya hati nurani untuk melihat bahwa membangun kehidupan bersama dalam Indonesia jauh lebih indah dan bermakna ketimbang mengumbar emosi menyingkirkan liyan hanya karena kita berbeda. Indonesia adalah rahmat Tuhan bagi kita dan kita bertanggung jawab menjaga serta mengembangkan rahmat Tuhan ini bagi kebaikan seluruh ciptaan.
Steve Gaspersz, pernah bekerja pada Crisis Center PGI
Thursday, September 8, 2011
Pendeta Laki-laki di antara Impotensi, Potensi, dan Omnipotensi
Refleksi Ibadah Penutup Temu Raya Pendeta Laki-laki GPM 2011
Bacaan: 2 Samuel 11:1-27
Tema: Pendeta Laki-laki di antara impotensi, potensi, dan omnipotensi
Kalau kita mencermati iklan-iklan yang dimuat pada sejumlah suratkabar maka kita akan menemukan iklan yang selalu muncul adalah iklan “obat kuat” untuk laki-laki. Pengertian “kuat” di sini tentu saja berkonotasi “seksual”. Artinya, obat itu dianggap mujarab untuk kaum laki-laki yang merasa “sudah tidak kuat” untuk melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya. Atau istilah yang kerap kita dengar adalah impotensi.
Ternyata, meskipun Pdt. Eta Hendriks menyebutkan tentang laki-laki yang macho (perkasa), kaum laki-laki selalu dihantui rasa takut kehilangan “keperkasaannya” dan karena itu membutuhkan obat kuat untuk membuktikan keperkasaannya (secara seksual). Kalau “keperkasaannya” loyo maka kelaki-lakiannya dianggap tidak ada lagi.
Bacaan Alkitab kita ini tentu bukan bacaan baru atau asing bagi kita. Mungkin sudah ratusan kali kita khotbahkan dalam berbagai acara ibadah kita selama pelayanan kita sebagai pendeta. Saat ini saya hanya ingin kita melihat beberapa pokok refleksi untuk mengantar kita menutup seluruh rangkaian kegiatan temu raya selama empat hari ini. Perikop ini bisa dibagi ke dalam tiga episode.
Episode pertama. Daud sudah menjadi raja dan sementara menikmati masa kejayaannya. Dulu dia dianggap sebagai anak ingusan yang tidak diperhitungkan masuk bursa pemilihan pemimpin Israel. Tapi Daud dipilih oleh Tuhan untuk memimpin Israel sebagai raja. Dari orang yang dianggap “impoten”, dia kemudian menjadi seseorang yang sangat berpotensi (berkuasa dan perkasa) hingga mampu mendirikan kerajaan Israel Raya. Namun dengan kekuasaan yang dimilikinya, Daud lupa diri dan merasa bahwa dia kini adalah seorang yang maha perkasa atau OMNIPOTEN. Dengan begitu dia merasa bisa melakukan apa saja, termasuk menguasai tubuh perempuan bernama Batsyeba dan menjadikan Batsyeba sebagai pelampiasan nafsu syahwatnya.
Episode kedua. Namun demikian, kendati merasa omnipoten (maha perkasa dan berkuasa) Daud terbukti bernyali pengecut. Begitu mengetahui bahwa Batsyeba hamil, dia berusaha menutupi akibat perbuatannya itu dengan berbagai aksi manipulatif. Dia sengaja menjebak Uria, suami Batsyeba dan salah satu komandan pasukan perangnya, dengan cara menyuruh Uria untuk beristirahat, pulang ke rumah dan tidur dengan istrinya. Daud berharap Uria bersetubuh dengan Batsyeba supaya kehamilan Batsyeba bisa ditimpakan kepada Uria. Tetapi Uria ternyata tidak pulang ke rumah. Didorong oleh rasa tanggung jawab, komitmen, dan loyalitasnya kepada raja, dia tidur di depan istana. Rencana Daud gagal.
Episode ketiga. Gagal dengan rencana tadi, Daud merancang skenario penyingkiran Uria dengan lebih kejam lagi. Dia menyuruh pemimpin pasukan tertinggi, Yoab, untuk menempatkan Uria pada garis depan pertempuran melawan musuh yang paling kuat. Rencana jahat ini berhasil dilakukan dan Uria tewas dalam pertempuran sengit tersebut. Tampaknya Daud tampil sebagai “pemenang” karena berhasil melakukan rencana jahat penyingkiran Uria hanya demi menutupi kebejatannya terhadap Batsyeba, istri Uria.
Ketiga episode itu memperlihatkan gambaran figur dua laki-laki yang berbeda. Daud adalah seorang laki-laki yang semula dianggap impoten, namun kemudian setelah bergelimang kekuasaan, dia pun merasa diri omnipoten atau maha perkasa/berkuasa. Dia merasa mampu mendapatkan apa saja yang diinginkannya karena punya kekuasaan. Semuanya dapat diambil atau direbut bagi dirinya sendiri kendati itu bukan haknya. Sedangkan figur Uria menggambarkan sosok laki-laki bertanggung jawab, punya komitmen, loyal dan berdedikasi kepada tuannya (raja). Dia rela mengorbankan perasaan pribadinya, bahkan keluarganya (hubungan dengan istrinya) hanya demi mempertahankan kesetiaan dan dedikasinya kepada raja.
Refleksi kita pada saat ini hanya ingin mengajak kita belajar dari karakter dua laki-laki ini: Daud dan Uria. Kita telah menyelesaikan serangkaian kegiatan selama empat hari temu raya ini. Seluruh proses yang telah kita jalani hendak mengajak kita untuk melihat posisi kita dalam pelayanan di jemaat-jemaat: POTEN, IMPOTEN, atau OMNIPOTEN? Apakah seluruh geliat pelayanan kita masih sangat kuat ditentukan oleh cara kita mencitrakan diri kita sebagai pendeta dan laki-laki? Integritas kita adalah kekuatan utama kita, seperti yang ditunjukkan oleh Uria. Tapi seberapa sering kita merasa harus bersembunyi di balik “kuasa” yang kita miliki.
Kita mesti jujur mengakui bahwa dalam realitas pelayanan jemaat-jemaat GPM, sejak zaman dulu hingga sekarang, kita bisa menemukan ada suatu pendekatan dominan yang tampaknya sudah menjadi ciri kependetaan kita. Sering kita lebih nyaman memakai HOKMAT untuk menundukkan warga jemaat; bukan HORMAT untuk membuka ruang bagi proses mendengarkan keluhan mereka. Tak jarang pula terdengar pengalaman bahwa ada pendeta-pendeta yang lebih “perkasa” memakai TOGA untuk menentukan mati/hidup warga jemaat yang keras kepala dan pembangkang; bukan TOMA untuk mendorong mereka menemukan potensi mereka dan keluar dari masalah mereka sendiri. Kerap juga kita dengar atau bahkan kita alamai bahwa para pendeta menggunakan kuasa DOA untuk mengutuk warga jemaat yang kepala batu dan tidak mau bertobat; bukannya DATA untuk mencari tahu mengapa mereka tidak mau berubah.
Semua itu hanyalah sebagian kecil dari pengalaman dan sejarah yang mesti kita refleksikan bersama untuk membawa kita pada suatu visi dan misi pelayanan yang bernas dan kontekstual. Temu raya ini mau memposisikan kita sebagai para pelayan yang membangun potensi bersama. Oleh karena itu diperlukan semangat TIM. Ini bukan zamannya lagi pendeta McGiver, yang bisa bikin semua hal meskipun mungkin kita bisa melakukannya. Tetapi tentu saja tidak semua orang punya kemampuan unik semacam itu. Dan apakah memang kemampuan semacam itu yang menjadi ideal profil pelayan GPM? Kita tidak ingin menjadi pendeta yang OMNIPOTEN sebab itu merupakan perangkap untuk melemahkan jemaat-jemaat kita membangun dirinya sendiri. Dalam khotbah pembukaan oleh Pdt. (em) Bram Soplantila disebutkan mengenai istilah TTS (Tekun-Tabah-Setia) yang selalu diingatkan kepada para pendeta yang baru ditahbiskan pada masa beliau masih menjabat sebagai ketua sinode GPM. Sekarang pun kita masih tetap diminta untuk TTS. Tetapi istilah itu juga mengingatkan jangan sampai seluruh “kuasa” yang kita miliki malah membuat kita merasa omnipoten lalu menjadi TTS yang lain, yaitu “Tuan-Tuan Senang”.
Steve Gaspersz
Rumah Gereja Maranatha, 5 September 2011