Aku menulis maka aku belajar

Thursday, September 8, 2011

Pendeta Laki-laki di antara Impotensi, Potensi, dan Omnipotensi

Refleksi Ibadah Penutup Temu Raya Pendeta Laki-laki GPM 2011

Bacaan: 2 Samuel 11:1-27

Tema: Pendeta Laki-laki di antara impotensi, potensi, dan omnipotensi


Kalau kita mencermati iklan-iklan yang dimuat pada sejumlah suratkabar maka kita akan menemukan iklan yang selalu muncul adalah iklan “obat kuat” untuk laki-laki. Pengertian “kuat” di sini tentu saja berkonotasi “seksual”. Artinya, obat itu dianggap mujarab untuk kaum laki-laki yang merasa “sudah tidak kuat” untuk melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya. Atau istilah yang kerap kita dengar adalah impotensi.


Ternyata, meskipun Pdt. Eta Hendriks menyebutkan tentang laki-laki yang macho (perkasa), kaum laki-laki selalu dihantui rasa takut kehilangan “keperkasaannya” dan karena itu membutuhkan obat kuat untuk membuktikan keperkasaannya (secara seksual). Kalau “keperkasaannya” loyo maka kelaki-lakiannya dianggap tidak ada lagi.


Bacaan Alkitab kita ini tentu bukan bacaan baru atau asing bagi kita. Mungkin sudah ratusan kali kita khotbahkan dalam berbagai acara ibadah kita selama pelayanan kita sebagai pendeta. Saat ini saya hanya ingin kita melihat beberapa pokok refleksi untuk mengantar kita menutup seluruh rangkaian kegiatan temu raya selama empat hari ini. Perikop ini bisa dibagi ke dalam tiga episode.


Episode pertama. Daud sudah menjadi raja dan sementara menikmati masa kejayaannya. Dulu dia dianggap sebagai anak ingusan yang tidak diperhitungkan masuk bursa pemilihan pemimpin Israel. Tapi Daud dipilih oleh Tuhan untuk memimpin Israel sebagai raja. Dari orang yang dianggap “impoten”, dia kemudian menjadi seseorang yang sangat berpotensi (berkuasa dan perkasa) hingga mampu mendirikan kerajaan Israel Raya. Namun dengan kekuasaan yang dimilikinya, Daud lupa diri dan merasa bahwa dia kini adalah seorang yang maha perkasa atau OMNIPOTEN. Dengan begitu dia merasa bisa melakukan apa saja, termasuk menguasai tubuh perempuan bernama Batsyeba dan menjadikan Batsyeba sebagai pelampiasan nafsu syahwatnya.


Episode kedua. Namun demikian, kendati merasa omnipoten (maha perkasa dan berkuasa) Daud terbukti bernyali pengecut. Begitu mengetahui bahwa Batsyeba hamil, dia berusaha menutupi akibat perbuatannya itu dengan berbagai aksi manipulatif. Dia sengaja menjebak Uria, suami Batsyeba dan salah satu komandan pasukan perangnya, dengan cara menyuruh Uria untuk beristirahat, pulang ke rumah dan tidur dengan istrinya. Daud berharap Uria bersetubuh dengan Batsyeba supaya kehamilan Batsyeba bisa ditimpakan kepada Uria. Tetapi Uria ternyata tidak pulang ke rumah. Didorong oleh rasa tanggung jawab, komitmen, dan loyalitasnya kepada raja, dia tidur di depan istana. Rencana Daud gagal.


Episode ketiga. Gagal dengan rencana tadi, Daud merancang skenario penyingkiran Uria dengan lebih kejam lagi. Dia menyuruh pemimpin pasukan tertinggi, Yoab, untuk menempatkan Uria pada garis depan pertempuran melawan musuh yang paling kuat. Rencana jahat ini berhasil dilakukan dan Uria tewas dalam pertempuran sengit tersebut. Tampaknya Daud tampil sebagai “pemenang” karena berhasil melakukan rencana jahat penyingkiran Uria hanya demi menutupi kebejatannya terhadap Batsyeba, istri Uria.


Ketiga episode itu memperlihatkan gambaran figur dua laki-laki yang berbeda. Daud adalah seorang laki-laki yang semula dianggap impoten, namun kemudian setelah bergelimang kekuasaan, dia pun merasa diri omnipoten atau maha perkasa/berkuasa. Dia merasa mampu mendapatkan apa saja yang diinginkannya karena punya kekuasaan. Semuanya dapat diambil atau direbut bagi dirinya sendiri kendati itu bukan haknya. Sedangkan figur Uria menggambarkan sosok laki-laki bertanggung jawab, punya komitmen, loyal dan berdedikasi kepada tuannya (raja). Dia rela mengorbankan perasaan pribadinya, bahkan keluarganya (hubungan dengan istrinya) hanya demi mempertahankan kesetiaan dan dedikasinya kepada raja.


Refleksi kita pada saat ini hanya ingin mengajak kita belajar dari karakter dua laki-laki ini: Daud dan Uria. Kita telah menyelesaikan serangkaian kegiatan selama empat hari temu raya ini. Seluruh proses yang telah kita jalani hendak mengajak kita untuk melihat posisi kita dalam pelayanan di jemaat-jemaat: POTEN, IMPOTEN, atau OMNIPOTEN? Apakah seluruh geliat pelayanan kita masih sangat kuat ditentukan oleh cara kita mencitrakan diri kita sebagai pendeta dan laki-laki? Integritas kita adalah kekuatan utama kita, seperti yang ditunjukkan oleh Uria. Tapi seberapa sering kita merasa harus bersembunyi di balik “kuasa” yang kita miliki.


Kita mesti jujur mengakui bahwa dalam realitas pelayanan jemaat-jemaat GPM, sejak zaman dulu hingga sekarang, kita bisa menemukan ada suatu pendekatan dominan yang tampaknya sudah menjadi ciri kependetaan kita. Sering kita lebih nyaman memakai HOKMAT untuk menundukkan warga jemaat; bukan HORMAT untuk membuka ruang bagi proses mendengarkan keluhan mereka. Tak jarang pula terdengar pengalaman bahwa ada pendeta-pendeta yang lebih “perkasa” memakai TOGA untuk menentukan mati/hidup warga jemaat yang keras kepala dan pembangkang; bukan TOMA untuk mendorong mereka menemukan potensi mereka dan keluar dari masalah mereka sendiri. Kerap juga kita dengar atau bahkan kita alamai bahwa para pendeta menggunakan kuasa DOA untuk mengutuk warga jemaat yang kepala batu dan tidak mau bertobat; bukannya DATA untuk mencari tahu mengapa mereka tidak mau berubah.


Semua itu hanyalah sebagian kecil dari pengalaman dan sejarah yang mesti kita refleksikan bersama untuk membawa kita pada suatu visi dan misi pelayanan yang bernas dan kontekstual. Temu raya ini mau memposisikan kita sebagai para pelayan yang membangun potensi bersama. Oleh karena itu diperlukan semangat TIM. Ini bukan zamannya lagi pendeta McGiver, yang bisa bikin semua hal meskipun mungkin kita bisa melakukannya. Tetapi tentu saja tidak semua orang punya kemampuan unik semacam itu. Dan apakah memang kemampuan semacam itu yang menjadi ideal profil pelayan GPM? Kita tidak ingin menjadi pendeta yang OMNIPOTEN sebab itu merupakan perangkap untuk melemahkan jemaat-jemaat kita membangun dirinya sendiri. Dalam khotbah pembukaan oleh Pdt. (em) Bram Soplantila disebutkan mengenai istilah TTS (Tekun-Tabah-Setia) yang selalu diingatkan kepada para pendeta yang baru ditahbiskan pada masa beliau masih menjabat sebagai ketua sinode GPM. Sekarang pun kita masih tetap diminta untuk TTS. Tetapi istilah itu juga mengingatkan jangan sampai seluruh “kuasa” yang kita miliki malah membuat kita merasa omnipoten lalu menjadi TTS yang lain, yaitu “Tuan-Tuan Senang”.


Steve Gaspersz

Rumah Gereja Maranatha, 5 September 2011

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces