Sulit dipercaya bahwa kota Ambon kembali terpuruk setelah diguncang bentrokan massal pada Minggu, 12 September 2011. Upaya panjang, berliku, dan melelahkan untuk membangun kepercayaan antarkomunitas yang pernah terlibat perseteruan panjang hingga ke ranah etnisitas dan religiositas beberapa waktu lampau seakan nyaris terpuruk hingga ke titik nol lagi. Itu jika melihat betapa mudahnya situasi meledak dan tak terkendali hanya oleh hembusan isu sepele yang tidak terklarifikasi secara jelas. Siapakah yang berkepentingan [lagi] dengan situasi rusuh Ambon? Bagaimana pengondisian situasi Ambon hingga aparat keamanan tampaknya “kewalahan”? Seberapa jauh fungsi intelijen mencermati dan mengantisipasi berbagai peristiwa prakondisi yang menyuburkan psikologi sosial masyarakat kota untuk dengan cepat tersulut isu tersebut?
Sejumlah pertanyaan bisa ditambahkan lagi. Tetapi peristiwa Ambon 1999 mesti menjadi acuan pembelajaran sejarah kelam yang penting untuk melihat situasi mencekam yang sedang dirasakan oleh masyarakat kota Ambon. Keadaan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena akan menimbulkan ekses yang lebih besar dan luas apalagi jika sudah diboncengi berbagai kepentingan di tengah carut-marut krisis nasional di negeri ini. Tulisan sederhana ini hanyalah upaya untuk berbagi pengalaman dan wawasan agar bersama-sama sebagai anak bangsa kita tidak lagi dengan mudah terpolarisasi ke dalam kubu-kubu ideologis berlabel etnisitas maupun agama untuk kembali saling menghantam. Mari kita lihat beberapa catatan berikut.
Pertama, terdapat kemiripan peristiwa pemicu bentrokan massal. Peristiwa pemicu konflik 1999 adalah isu pemalakan sopir angkot oleh seorang preman pasar, yang - entah bagaimana - tiba-tiba sudah meluas menjadi kerusuhan di seluruh wilayah kota dan bermunculan simbol-simbol yang seragam. Pemicu bentrokan massal 12 September 2011 adalah isu pembunuhan seorang pengemudi ojek. Setelah dicek ulang pihak kepolisian daerah Maluku menyatakan bahwa kematian tukang ojek itu adalah murni kecelakaan lalu lintas. Lantas, bagaimana hal itu bisa diisukan sebagai pembunuhan jika memang tidak ada kepentingan untuk menjadikannya sebagai faktor pemicu konflik? Siapa yang berkepentingan jika Maluku atau Ambon kembali rusuh? Apakah warga kota Ambon berkepentingan dengan kerusuhan yang justru menghancurkan pekerjaan dan kehidupan mereka sendiri? Rasanya sulit membayangkan bahwa itu ada di benak masyarakat kota Ambon.
Kedua, implikasi dari konflik 1999 adalah pembentukan Komando Daerah Militer (KODAM) XVI Pattimura dan penguatan kapasitas kepolisian Daerah Maluku. Sudah tentu alokasi pasukan dan strategi pengamanan harus lebih canggih dibandingkan dengan ketika masih menjadi KOREM. Lantas, kenapa selalu muncul alasan klasik bahwa aparat keamanan kewalahan karena jumlah yang tidak sebanding? Rasanya bukan rahasia lagi bahwa ini bukan soal jumlah tapi strategi pengamanan mulai dari deteksi intelijen hingga ke operasi pengendalian situasi. Apakah bisa dikatakan aparat keamanan kita kecolongan [lagi]? Kecolongan oleh siapa? Jika melihat luas geografis kota Ambon, sulit sekali untuk membayangkan bahwa strategi, teknik, dan pasukan/persenjataan aparat keamanan kita begitu mudahnya kecolongan.
Ketiga, hanya dalam hitungan jam sejak pecahnya pertikaian ada pernyataan dari petinggi POLRI bahwa akan ada pengiriman pasukan dari luar Maluku (200 Brimob dari Makassar) untuk membantu aparat keamanan di Maluku. Dari kacamata awam, apakah situasinya sudah sedemikian tidak terkendali oleh kepolisian daerah Maluku hingga perlu didatangkan pasukan dari luar? Saya sama sekali tidak mengecilkan pentingnya strategi pengamanan yang sedang diupayakan oleh polisi. Tetapi kita juga harus terus bertanya apakah yang menjadi akar masalahnya sehingga satu isu yang tidak jelas bisa merembet dengan cepat menjadi penumpukan dan bentrok kelompok massa. Mana sebab dan mana akibat? Jangan sampai yang dipadamkan hanyalah akibat tapi sebabnya terabaikan.
Keempat, hanya dalam hitungan jam pula pemantauan saya terhadap beberapa media online telah memperlihatkan pemberitaan yang tendensius bahwa “kerusuhan” 2011 ini diasumsikan sama dengan kerusuhan 1999-2004 yang lalu. Hal ini tentu perlu dicermati secara bijaksana mengingat media memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membentuk opini publik mengenai suatu peristiwa. Oleh karena itu, peran media sangat signifikan dalam upaya turut mendinginkan situasi yang telah telanjur panas di kota Ambon.
Keempat catatan ringkas di atas sengaja saya paparkan agar kita mampu mencermati perkembangan situasi di kota Ambon dengan lebih arif. Catatan ini bukan sebuah tulisan teoretik atau upaya provokasi, melainkan sebuah refleksi pengalaman selama bergulat dengan krisis kemanusiaan akibat konflik sosial Maluku beberapa tahun silam. Perseteruan ini bukanlah keinginan rakyat [kecil] Ambon karena hingga saat ini pun banyak yang masih tertatih-tatih memulihkan kondisi perekonomian keluarga yang hancur pada waktu konflik lalu. “Kerusuhan” ini, menurut saya, juga bukan demi kepentingan rakyat [kecil] yang lebih merasakan penderitaan daripada senangnya selama konflik.
Lantas, untuk kepentingan siapa? Mari kita bersama-sama menjawabnya dengan membangun kesadaran bersama bahwa bangsa kita sebenarnya sedang berada pada titik nadir peradaban kemanusiaan karena berbagai krisis yang tak jelas arah penyelesaiannya. Jauh lebih penting daripada mempertanyakan ini kepentingan siapa, kita semua punya hati nurani untuk melihat bahwa membangun kehidupan bersama dalam Indonesia jauh lebih indah dan bermakna ketimbang mengumbar emosi menyingkirkan liyan hanya karena kita berbeda. Indonesia adalah rahmat Tuhan bagi kita dan kita bertanggung jawab menjaga serta mengembangkan rahmat Tuhan ini bagi kebaikan seluruh ciptaan.
Steve Gaspersz, pernah bekerja pada Crisis Center PGI
b menunggu tlisan-tulisan yang lain juga...
ReplyDeletedaripada menunggu, kenapa ale seng mulai menulis juga?
ReplyDelete