Aku menulis maka aku belajar

Saturday, September 24, 2011

Semai Damai Maluku

Liputan media lokal dan nasional biasanya gaduh saat terjadi suatu peristiwa yang tidak biasa atau abnormal, semisal konflik yang terjadi di Ambon pada 11 September 2011 lalu. Kegaduhan media itu pun bisa berangsur-angsur surut ketika situasi mulai membaik. Begitulah. Kata para bijak bestari, “bad news is good news“. Tetapi bagaimanakah narasi-narasi populis yang berkembang pascakonflik itu, mungkin tak terlalu menarik perhatian media. Itu kemungkinan. Padahal dalam amatan saya, narasi-narasi populis atau bahkan praksis-praksis komunitas pencari damai justru berkembang mencari jalannya sendiri untuk memutuskan stigmatisasi negatif dan tendensi pelanggengan konflik, yang tercipta melalui konstruksi kepanikan sosial secara terus-menerus oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau diuntungkan dengan konflik tersebut.

Saya hanya ingin kita bersama-sama melihat kegigihan menegakkan damai di Maluku (kota Ambon) berlangsung dalam semangat persaudaraan. Semangat tersebut melampaui batas-batas identitas keagamaan mereka dan bahkan melampaui ketakutan terhadap berbagai ancaman yang membahayakan nyawa mereka sendiri. Inilah sekelumit narasi di balik realitas konflik yang mendorong sekelompok orang untuk tetap menyemai damai dengan segala upaya yang mereka lakukan. Tulisan ini merupakan adaptasi informasi yang saya terima dari seorang sahabat pecinta damai, yang dengan izinnya saya narasikan kembali. Terima kasih bung JFM.

Segera setelah konflik pecah, pada malamnya berkumpul beberapa orang (Islam dan Kristen) di suatu tempat untuk melakukan koordinasi lintas kawasan dan berbagai simpul komunitas yang bertujuan mempertahankan jejaring perdamaian lokal. Sejumlah reaksi memperlihatkan bahwa bentrokan massa yang terjadi sebenarnya jauh dari perkiraan masyarakat kota Ambon. Mari kita lihat lebih rinci:

1. Segera setelah benturan, warga masyarakat Jazirah Salahutu yang terdiri dari beberapa negeri Muslim (Tulehu, Liang, Tengah-Tengah) dan 1 negeri Kristen (Waai) berinisiatif melakukan pertemuan kawasan pada hari Minggu malam, dan mendeklarasikan Jazirah Salahutu sebagai wilayah aman. “Raja” Negeri Tulehu, John Ohorella, mengeluarkan maklumat bagi masyarakatnya dan meminta tidak terprovokasi dengan perkembangan situasi di pusat kota Ambon.

2. Masih malam yang sama, teman-teman jejaring perdamaian lokal mulai membangun kontak via telepon untuk berbagi informasi, sekalipun jaringan telepon sangat terganggu. Beberapa kelompok pemuda mengupayakan pertemuan lintas iman, tetapi situasi yang berkembang tidak memungkinkan.

3. Pada hari Senin pagi, 12 September 2011, dilakukan pertemuan antara Muspida Maluku dengan tokoh-tokoh agama, adat, dan pemuda di Kantor Gubernur Maluku. Dibuat kesepakatan untuk melokalisir dan meredakan konflik pada titik-titik benturan warga (hanya terdapat 3 titik benturan pada hari Minggu. Sampai Senin pagi bertambah lagi satu titik benturan, namun 2 titik sebelumnya telah reda).

4. Pada Senin siang, dewan Latupati Maluku yang diketuai oleh “Raja” Amahusu bersama sekretaris Dewan Latupati, “Raja” Sirisori Salam (Islam) mengeluarkan seruan penghentian kekerasan dan membangun perdamaian.

5. Senin Sore, “Raja” negeri Kailolo (Islam) mengeluarkan 2 maklumat. Yang pertama berisi seruan untuk masyarakat umum supaya tidak mengembangkan konflik. Yang satunya lagi ditujukan secara khusus untuk warga negeri Kailolo di mana saja supaya tidak terprovokasi untuk terlibat konflik.

6. Masih pada hari Senin, teman-teman muda jaringan perdamaian dari kelompok “Ambon Bergerak” (lintas iman) memutuskan melakukan “perlawanan” media terhadap pemberitaan media-media nasional yang dianggap bias dan memicu ketegangan.

7. Juga di hari Senin itu teman-teman jaringan LAIM (Lembaga Antar Iman Maluku) meningkatkan koordinasi lintas wilayah untuk mengatur sebaran anggota ke berbagai wilayah, serta membangun komunikasi terus-menerus untuk mengklarifikasi perkembangan isu yang menyebar sangat cepat di kalangan masyarakat. Pada beberapa wilayah perbatasan (Muslim-Kristen) teman-teman mencoba menginisiasi pembentukan simpul-simpul koordinasi di antara warga perbatasan.

8. Pada Senin sore, beberapa teman Muslim memberanikan diri berjumpa dengan teman-teman Kristen di kantor Litbang Gereja Protestan Maluku (GPM), dan berbagi cerita serta foto-foto yang diambil di wilayah komunitas Muslim.

9. Pada Senin malam, jam 21.40, pertemuan ditingkatkan dengan melibatkan lebih banyak teman dari kedua komunitas (Islam dan Kristen). Pertemuan dilanjutkan di kawasan jalan A.Y. Patty, berdekatan dengan Masjid Raya Al-fatah. Pertemuan berlangsung penuh keakraban, sekalipun sesekali terdengar bunyi tembakan. Dalam pertemuan itu disepakati beberapa agenda untuk dilakukan bersama. Antara lain, secara terus-menerus memantau perkembangan di wilayah masing-masing dan mengumpulkan semua berita untuk dikompilasi oleh seorang teman. Selain itu dianggap perlu untuk bersama-sama melanjutkan pengawalan dan klarifikasi terhadap berbagai bias pemberitaan yang umumnya dilakukan oleh banyak media nasional, baik cetak maupun elektronik. Pertemuan dengan pendekatan pertemanan itu berakhir dengan kesepakatan untuk melakukan bentuk-bentuk provokasi perdamaian di dalam masyarakat, antara lain mempersiapkan gelar seni bersama di lokasi monumen “Gong Perdamaian.”

10. Melalui telepon dari “Raja” negeri Kailolo di Pulau Haruku, diperoleh informasi bahwa pertemuan negeri-negeri Pulau Haruku dan Nusalaut (Muslim-Kristen) akan dilangsungkan siang nanti di wilayah Waimital, Negeri Pelau (Islam). Pertemuan ditujukan untuk mengatur koordinasi bersama untuk mencegah meluasnya konflik, serta membangun perdamaian.

11. Sejak pecahnya konflik pada hari Minggu, tidak ditemukan adanya kasus pembunuhan warga di luar titik-titik panas (hotspot) yang bergolak. Banyak warga Muslim yang pada saat pecah bentrokan sedang berada di pemukiman Kristen, namun tidak diapa-apakan (bahkan diantar pulang ke wilayah perbatasan). Sebaliknya, banyak sekali warga Kristen di komunitas Muslim yang mengalami perlakuan serupa. Ini menandakan bahwa sejauh ini masyarakat di kedua belah pihak, dengan komitmen tinggi, berupaya melokalisir dan meredusir konflik pada beberapa area benturan, dan tidak mengembangkannya ke wilayah lainnya.

12. Informasi korban sampai saat pemutakhiran ini diterima: 5 korban meninggal pada komunitas Muslim dan 3 korban meninggal pada komunitas Kristen. Hampir semua korban meninggal akibat tertembak aparat keamanan. Sementara itu ratusan korban luka-luka dirawat di berbagai rumah sakit.

Ke-12 poin ini merupakan salinan ulang informasi yang saya terima. Dengan sengaja saya membaginya di sini sebagai bagian dari penyebaran berita alternatif yang mencoba melihat sisi lain dari peristiwa bentrokan massa di kota Ambon beberapa hari lalu. Di balik riuh-rendah berita konflik, terselip upaya-upaya civil society yang gigih berjuang menyemai damai kendati nyawa mereka terancam. Namun, setidaknya dengan informasi ini kita bisa melihat bahwa bukan soal meneriakkan damai semata, bukan soal himbauan-himbauan basi, bukan soal pengerahan pasukan keamanan, tetapi ini soal bagaimana media menjadi kekuatan membangun kapasitas civil society untuk mengatasi masalah mereka dengan pelbagai model kearifan lokal.

Hanya dengan itu, kita berharap tidak ada lagi korban anak-anak bangsa yang bertumbangan karena kita tidak siap hidup dalam perbedaan sebagai karunia Tuhan bagi Indonesia. Semoga!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces