Saya hanya ingin kita bersama-sama melihat kegigihan
menegakkan damai di Maluku (kota Ambon) berlangsung dalam semangat
persaudaraan. Semangat tersebut melampaui batas-batas identitas keagamaan
mereka dan bahkan melampaui ketakutan terhadap berbagai ancaman yang
membahayakan nyawa mereka sendiri. Inilah sekelumit narasi di balik realitas
konflik yang mendorong sekelompok orang untuk tetap menyemai damai dengan
segala upaya yang mereka lakukan. Tulisan ini merupakan adaptasi informasi yang
saya terima dari seorang sahabat pecinta damai, yang dengan izinnya saya
narasikan kembali. Terima kasih bung JFM.
Segera setelah konflik pecah, pada malamnya berkumpul
beberapa orang (Islam dan Kristen) di suatu tempat untuk melakukan koordinasi
lintas kawasan dan berbagai simpul komunitas yang bertujuan mempertahankan
jejaring perdamaian lokal. Sejumlah reaksi memperlihatkan bahwa bentrokan massa
yang terjadi sebenarnya jauh dari perkiraan masyarakat kota Ambon. Mari kita
lihat lebih rinci:
1. Segera setelah benturan, warga masyarakat Jazirah
Salahutu yang terdiri dari beberapa negeri Muslim (Tulehu, Liang,
Tengah-Tengah) dan 1 negeri Kristen (Waai) berinisiatif melakukan pertemuan
kawasan pada hari Minggu malam, dan mendeklarasikan Jazirah Salahutu sebagai
wilayah aman. “Raja” Negeri Tulehu, John Ohorella, mengeluarkan maklumat bagi
masyarakatnya dan meminta tidak terprovokasi dengan perkembangan situasi di
pusat kota Ambon.
2. Masih malam yang sama, teman-teman jejaring perdamaian
lokal mulai membangun kontak via telepon untuk berbagi informasi, sekalipun
jaringan telepon sangat terganggu. Beberapa kelompok pemuda mengupayakan
pertemuan lintas iman, tetapi situasi yang berkembang tidak memungkinkan.
3. Pada hari Senin pagi, 12 September 2011, dilakukan
pertemuan antara Muspida Maluku dengan tokoh-tokoh agama, adat, dan pemuda di
Kantor Gubernur Maluku. Dibuat kesepakatan untuk melokalisir dan meredakan
konflik pada titik-titik benturan warga (hanya terdapat 3 titik benturan pada
hari Minggu. Sampai Senin pagi bertambah lagi satu titik benturan, namun 2
titik sebelumnya telah reda).
4. Pada Senin siang, dewan Latupati Maluku yang diketuai
oleh “Raja” Amahusu bersama sekretaris Dewan Latupati, “Raja” Sirisori Salam
(Islam) mengeluarkan seruan penghentian kekerasan dan membangun perdamaian.
5. Senin Sore, “Raja” negeri Kailolo (Islam) mengeluarkan 2
maklumat. Yang pertama berisi seruan untuk masyarakat umum supaya tidak
mengembangkan konflik. Yang satunya lagi ditujukan secara khusus untuk warga
negeri Kailolo di mana saja supaya tidak terprovokasi untuk terlibat konflik.
6. Masih pada hari Senin, teman-teman muda jaringan
perdamaian dari kelompok “Ambon Bergerak” (lintas iman) memutuskan melakukan
“perlawanan” media terhadap pemberitaan media-media nasional yang dianggap bias
dan memicu ketegangan.
7. Juga di hari Senin itu teman-teman jaringan LAIM
(Lembaga Antar Iman Maluku) meningkatkan koordinasi lintas wilayah untuk
mengatur sebaran anggota ke berbagai wilayah, serta membangun komunikasi
terus-menerus untuk mengklarifikasi perkembangan isu yang menyebar sangat cepat
di kalangan masyarakat. Pada beberapa wilayah perbatasan (Muslim-Kristen)
teman-teman mencoba menginisiasi pembentukan simpul-simpul koordinasi di antara
warga perbatasan.
8. Pada Senin sore, beberapa teman Muslim memberanikan diri
berjumpa dengan teman-teman Kristen di kantor Litbang Gereja Protestan Maluku
(GPM), dan berbagi cerita serta foto-foto yang diambil di wilayah komunitas
Muslim.
9. Pada Senin malam, jam 21.40, pertemuan ditingkatkan
dengan melibatkan lebih banyak teman dari kedua komunitas (Islam dan Kristen).
Pertemuan dilanjutkan di kawasan jalan A.Y. Patty, berdekatan dengan Masjid
Raya Al-fatah. Pertemuan berlangsung penuh keakraban, sekalipun sesekali
terdengar bunyi tembakan. Dalam pertemuan itu disepakati beberapa agenda untuk
dilakukan bersama. Antara lain, secara terus-menerus memantau perkembangan di
wilayah masing-masing dan mengumpulkan semua berita untuk dikompilasi oleh
seorang teman. Selain itu dianggap perlu untuk bersama-sama melanjutkan
pengawalan dan klarifikasi terhadap berbagai bias pemberitaan yang umumnya
dilakukan oleh banyak media nasional, baik cetak maupun elektronik. Pertemuan
dengan pendekatan pertemanan itu berakhir dengan kesepakatan untuk melakukan
bentuk-bentuk provokasi perdamaian di dalam masyarakat, antara lain
mempersiapkan gelar seni bersama di lokasi monumen “Gong Perdamaian.”
10. Melalui telepon dari “Raja” negeri Kailolo di Pulau
Haruku, diperoleh informasi bahwa pertemuan negeri-negeri Pulau Haruku dan
Nusalaut (Muslim-Kristen) akan dilangsungkan siang nanti di wilayah Waimital,
Negeri Pelau (Islam). Pertemuan ditujukan untuk mengatur koordinasi bersama
untuk mencegah meluasnya konflik, serta membangun perdamaian.
11. Sejak pecahnya konflik pada hari Minggu, tidak
ditemukan adanya kasus pembunuhan warga di luar titik-titik panas (hotspot)
yang bergolak. Banyak warga Muslim yang pada saat pecah bentrokan sedang berada
di pemukiman Kristen, namun tidak diapa-apakan (bahkan diantar pulang ke
wilayah perbatasan). Sebaliknya, banyak sekali warga Kristen di komunitas
Muslim yang mengalami perlakuan serupa. Ini menandakan bahwa sejauh ini
masyarakat di kedua belah pihak, dengan komitmen tinggi, berupaya melokalisir
dan meredusir konflik pada beberapa area benturan, dan tidak mengembangkannya
ke wilayah lainnya.
12. Informasi korban sampai saat pemutakhiran ini diterima:
5 korban meninggal pada komunitas Muslim dan 3 korban meninggal pada komunitas
Kristen. Hampir semua korban meninggal akibat tertembak aparat keamanan.
Sementara itu ratusan korban luka-luka dirawat di berbagai rumah sakit.
Ke-12 poin ini merupakan salinan ulang informasi yang saya
terima. Dengan sengaja saya membaginya di sini sebagai bagian dari penyebaran
berita alternatif yang mencoba melihat sisi lain dari peristiwa bentrokan massa
di kota Ambon beberapa hari lalu. Di balik riuh-rendah berita konflik, terselip
upaya-upaya civil society yang gigih berjuang menyemai damai
kendati nyawa mereka terancam. Namun, setidaknya dengan informasi ini kita bisa
melihat bahwa bukan soal meneriakkan damai semata, bukan soal himbauan-himbauan
basi, bukan soal pengerahan pasukan keamanan, tetapi ini soal bagaimana media
menjadi kekuatan membangun kapasitas civil
society untuk mengatasi
masalah mereka dengan pelbagai model kearifan lokal.
Hanya dengan itu, kita berharap tidak ada lagi korban anak-anak bangsa yang bertumbangan karena kita tidak siap hidup dalam perbedaan sebagai karunia Tuhan bagi Indonesia. Semoga!
No comments:
Post a Comment