Nuansa itu sempat pudar saat Maluku digempur oleh konflik
sosial beberapa tahun silam. Banyak sekali carita orang basudara kemudian
terkubur dan digantikan oleh cerita-cerita formal yang sarat nuansa hipokrit
atau bahkan cerita-cerita persaudaraan itu berubah menjadi cerita-cerita heroik
penuh kekerasan dan darah. Setelah kondisi berangsur-angsur pulih - terutama
pasca perjanjian Malino II - narasi-narasi rakyat itu kembali bermunculan yang
kemudian membentuk mozaik perdamaian yang dituturkan kepada generasi berikut
untuk menjadi pelajaran berharga.
Tak disangka saya turut merasakan nuansa carita orang
basudara itu. Bukan di Ambon tapi justru di udara, dalam penerbangan dari Ambon
menuju Jakarta. Saya duduk di tengah. Sebelah jendela duduk seorang Ambon
(Kristen) dan di sebelah gang duduk seorang Ambon (Islam). Sejak pesawat
take-off kami bertiga masih berdiam diri. Kebisuan pun pecah ketika di sebelah
kiri saya hendak pergi ke toilet. Terpaksa saya (tengah) dan teman di sebelah
kanan harus berdiri memberi jalan. Dari situ mulai terbangun percakapan.
Percakapan makin hangat ketika ternyata kami bertiga
mempunyai teman atau kenalan yang juga dikenal bersama-sama. Alur cerita pun
mulai maju-mundur. Bahkan mundur sampai masa-masa pertemanan di bangku SMA.
Terus maju sampai komunikasi pertemanan yang sempat terputus akibat situasi
konflik. Namun ternyata di balik riuh-rendah berita-berita konflik Maluku,
banyak sekali narasi rakyat yang cukup menarik untuk disimak.
Kami bertiga - yang berbeda latar agama - saling bercerita
bagaimana peliknya mengatur “strategi” untuk tetap berkomunikasi, berjumpa, dan
bercerita di tengah-tengah situasi masyarakat yang tersegregasi secara
geografis maupun sosiologis. Selalu saja ada cara sembunyi-sembunyi untuk
saling melakukan kunjungan ke rumah para sahabat yang berbeda agama. AC pesawat
yang semula dingin lambat-laun terasa hangat karena percakapan kami bertiga
menjadi sebuah carita orang basudara. Kami membicarakan konflik dengan jujur
dan transparan, hingga pada akibat yang harus ditelan oleh rakyat kecil.
Serta-merta ada sebuah pesan penuh makna yang mengalir dari percakapan saya,
Ris, dan Rus - yang menjadi disatukan oleh cerita kami bersama. Bukan oleh
ideologi politik. Bukan pula oleh kepentingan ekonomi. Tapi semata-mata kami
merasa identitas budaya kami menjadi lebih bermakna untuk menyatukan perbedaan
yang ada.
“Carita orang basudara” itu terus mengalir hingga pesawat
mendarat mulus di bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Berat mengakhiri percakapan
tersebut tapi toh kami harus berpisah menjalani tujuan kami masing-masing.
Kendati demikian, penerbangan sekitar 3 jam itu telah menjadi sebuah diskursus
yang mahal dan berharga tentang makna hidup dalam keberlainan. Keberlainan
sebagai anugerah, bukan ancaman.
Percakapan 3 jam di atas wilayah angkasa Indonesia
(Ambon-Jakarta) telah membawa kami ke dalam sebuah komitmen batin bahwa
narasi-narasi persaudaraan mesti menjadi spirit perlawanan terhadap dominasi
narasi-narasi formal yang tak berhati nurani; menjadi protes terhadap berbagai
upaya membisukan aspirasi rakyat; menjadi bara yang terus menghangatkan arti
hidup bersama dalam perbedaan. Pada titik itu, narasi-narasi persaudaraan semestinya
terus mendasari hakikat “menjadi Indonesia”. Kita sedang terus “menjadi” dan
karena itu benturan-benturan tak terhindarkan. Namun itu tetap bukanlah tujuan
menjadi Indonesia. Menjadi Indonesia tetap adalah merajut persaudaraan melalui
narasi-narasi kehidupan dan kemanusiaan.
Meski batin remuk mendengar berita situasi tegang di Ambon, tetapi optimisme menjadi Indonesia tetap menyala karena selalu ada celah di mana cahaya harapan tembus di antara retakan-retakan tembok-tembok. Semoga!
No comments:
Post a Comment