Aku menulis maka aku belajar

Monday, March 31, 2008

Hanya Secarik Catatan

Sudah beberapa hari ini aku berangkat kerja dengan sepeda motor. Sepeda motor itu bukan milikku, tetapi milik teman yang sedang melaksanakan tugas penelitian untuk skripsinya di luar Jakarta. Aku lebih menikmati bersemot daripada duduk nyaman di dalam bus transjakarta. Memang harus siap bermandi debu dan asap kendaraan, apalagi saat terkepung di tengah kemacetan hutan Jakarta. Tidak senyaman bus transjakarta yang ber-AC hingga membuatku menggigil. Itu sudah pasti. Namun, aku menikmatinya. Bukan apa-apa, aku hanya lebih menikmati perjalananku dari rumah-kantor dan kantor-rumah. Dengan bersemot kepekaanku serasa terasah, instingku selalu terdesak untuk berinteraksi dengan sekitaranku – entah kendaraan lain ataupun aneka ekspresi manusia yang kutemui di sepanjang jalan.

Ah, Jakarta memang memuakkan dan memabukkan. Aku seolah terjepit dalam adiksi keduanya. Hendak membencinya namun tak kuasa tenggelam dalam birahinya. Kadang aku tertawa geli sendiri saat harus berhenti di perempatan dengan lampu warna-warni merah-kuning-hijau. Bagiku, lampu tiga warna itu tak ubahnya lampu taman yang menghiasi jalan-jalan Jakarta. Lampu-lampu itu hanya menjadi kosmetik bagi wajah modern Jakarta. Semua orang melihatnya, bahkan tahu apa artinya. Tetapi mereka enggan untuk terbelit oleh maknanya. Jakarta memang kota kaum berani. Kalau tidak berani, jangan datang ke Jakarta. Di Jakarta semua orang berlomba mempertahankan hidup dan sekaligus menyia-nyiakan hidup. Aku sendiri tak tahu di mana aku berdiri, karena bagiku di Jakarta batas antara hidup dan bertahan hidup hanyalah sebuah batas yang absurd. Hidup itu sendiri adalah sebuah kegeliatan untuk bertahan agar tidak cepat mati. Namun, toh dalam geliat itu sendiri kematian menampak dalam tarian-tarian lemah-gemulai yang mendayu-dayu menunggu saat klimaksnya.

Bagi Jakarta, kematian tak selalu identik dengan iring-iringan pelayat atau raungan sirine ambulan yang melaju diikuti arak-arakan kendaraan menuju ke pemakaman. Bagi Jakarta, kematian adalah frustrasi, kegelisahan, kemarahan, yang membuat Jakarta seperti pemakaman besar di mana setiap manusianya menangisi dirinya di depan nisannya sendiri tanpa mengusik manusia lain yang juga sedang meratapi kemarahannya. Jakarta [nyaris] kehilangan interaksi. Karena di jalan yang tampak hanya kompetisi – secepat mungkin sampai di rumah atau tempat kerja. Jalanan adalah sirkuit yang memompa adrenalin manusia Jakarta menjadi pembalap-pembalap tanpa aturan.

Tadi aku melihat seorang anak terbalik dengan becak yang dikemudikannya. Becak itu bukan becak penumpang. Yang dibawanya adalah makanan dan tumpukan mangkok yang mungkin hendak dibawanya kepada ibunya atau bapaknya yang sedang menunggu di warung. Mungkin. Karena aku hanya melihat kuah kare ayam dan daging ayam yang tumpah-ruah berhamburan di aspal, mangkok-mangkok yang pecah di bawah becak yang terbalik. Dia hanya lecet, tetapi aku tahu hatinya terluka parah karena hidupnya untuk sehari ini berantakan di aspal Jakarta. Itu nampak jelas di wajahnya. Frustrasi. Gelisah. Aku bukan peramal, tetapi aku yakin pikirannya galau tentang apa yang harus dikatakan untuk ibu atau bapaknya yang sedang menunggunya penuh harap di warung mereka.

Rupanya aku bukan tipe orang yang berani – berani untuk berpikir tentang kelanjutan nasib anak malang itu. Aku hanya berhenti sejenak tetapi tidak beranjak dari jok sepeda motor. Karena aku kalah telak oleh sang waktu yang menaklukkanku menjadi budaknya. Aku hanya menggelepar dalam lecutan cemeti sang waktu yang menghentak adrenalinku tancap gas karena harus bertaruh dengan hidup dan... aku belum mau mati. Aku harus hidup untuk diriku, istriku, anakku, mimpiku... Maafkan aku, kawan.

3 comments:

  1. Heheheeee...., kesetiaan kemudian menjadi topik penting untuk dibicarakan... Kepekaan tentu saja tidak cukup buung.... Bruce Lee bilang... "Seng cukup belajar, Aplikasikan. Seng cukup bermimpi, lakukan".
    Yang pasti, katong masih setia for idealisme yang terbangun terus menerus selama hidup katong too bung?

    ReplyDelete
  2. Hey222...


    Lam kenal yah,,,,

    sorry Nih Ga da ShoutBox JadinYA lewaT cument aja..

    GB

    ReplyDelete
  3. Setuju, bung Jus... Su brapa lama ni beta mangente walang talamburang macang sunyi ka... kabong su barumpu nih... musti pameri la tanang batang kasbi baru.

    Nyong Parker, dangke lai su mangente beta pung walang ni. Ale pung walang akang bagus ale. Beta memang sengaja seng pasang shoutbox karena di walang ini beta berkontemplasi dan menumpahkan imajinasi lewat tulisan. Mungkin gatek juga, tapi dasarnya karena kurang tertarik saja.

    ReplyDelete

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces