Wednesday, November 30, 2011
Mengalah atau Menerima Kekalahan?
Saturday, November 26, 2011
Judulnya Kopi Badati
Saturday, November 12, 2011
11.11.11.plosokuning
Saya juga merasakan sesuatu yang istimewa pada tanggal ini. Bukan karena ada mukjizat. Tidak pula karena tiba-tiba ketiban rezeki nomplok. Tetapi justru dari sebuah undangan untuk mengikuti pengajian Kitab Kuning di Masjid Pathok Negoro Plosokuning, Yogyakarta. Unik 'kan? Seorang pendeta Protestan dari Ambon diundang mengikuti pengajian di sebuah masjid di Yogyakarta. Namun, sebenarnya hal itu tidak terlalu unik karena undangannya disampaikan oleh Rahmadi Agus, teman seangkatan saya di ICRS Yogya, yang tinggal di Plosokuning.
Setiap Jumat malam di Masjid Pathok Negoro Plosokuning diadakan acara pengajian yang diambil dari pembacaan Kitab Kuning. Acara pengajian seperti ini tidak terlalu lazim di masjid-masjid lain sekitarnya. Salah satu keunikannya adalah "panggilan beribadah" dilakukan dengan menyanyikan Shalawat Nabi oleh kelompok musik rebana yang sebagian besar anggotannya adalah anak-anak muda. Ada 6 orang pemain rebana dan beduk kecil, serta 2 orang penyanyi. Selama kurang lebih 1 jam mereka menyanyikan puji-pujian untuk mengundang jamaah datang ke masjid.
Setelah itu, ketua ta'mir (pengurus) masjid mengambil alih acara dengan menyampaikan ucapan selamat datang dan beberapa pengumuman mengenai kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan beberapa hari mendatang. Semuanya disampaikan dengan bahasa Jawa Kromo. Lalu ketua ta'mir mempersilahkan khotib untuk melanjutkan acara pengajian. Kali ini khotibnya adalah sesepuh masyarakat. Selama hampir 2 jam sang khotib menyampaikan pesan-pesan religius dengan bahasa sangat sederhana tetapi mengandung makna mendalam. Dia menyampaikannya dengan tenang, dan pada frase-frase penting ia menekannya berulang-ulang. Saya yang tidak terlalu fasih memahami bahasa Jawa Kromo pun dapat mengikuti alur khotbahnya dan menangkap pesan rohaninya.
Saya mencoba merenungkan salah satu pesannya mengenai "eling" dan "kelingan". Dia mengatakan bahwa banyak orang (Jawa) menyamakan kedua istilah itu, padahal sebenarnya berbeda. "Eling" adalah suatu kesadaran yang terus-menerus menyertai manusia. Kesadaran itu adalah kesadaran akan keterbatasan dirinya dan karena itu mengakui kebesaran Gusti Allah SWT. Kesadaran itu harus terjadi setiap saat dalam aktivitas hidup manusia (bekerja, belajar, berdagang, dll). Sedangkan istilah "kelingan" lebih menunjuk pada sesuatu yang sudah terjadi atau pada masa lampau. Misalnya, "aku ingat pernah melakukan kesalahan". Seseorang yang "kelingan" bisa saja menjadi "eling" (sadar), tetapi bisa juga tidak. Oleh karena itu, manusia harus lebih menghayati "eling" itu dalam kehidupannya. Kalau manusia "eling" terhadap Gusti Allah SWT maka dia juga akan menghargai kehidupan dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Masih ada beberapa pesan rohani yang bermakna. Selain pengajiannya, apa yang saya hayati adalah penerimaan jamaah terhadap "orang asing" di tengah-tengah mereka. Tatapan pertama mereka terhadap saya seakan memancarkan rasa ingin tahu, tetapi serta-merta saya tidak terlalu merasa asing karena hampir setiap jamaah pengajian yang baru datang akan menyalami kami semua yang tiba lebih dulu tanpa pilih-pilih. Itulah yang membuat saya merasa diterima. Bahkan dengan ramah dan terbuka, usai pengajian, bapak Kamal, ketua ta'mir, masih bersedia berbincang-bincang tentang acara pengajian dan keunikan masjid Pathok sebagai salah satu cagar budaya yang dilindungi oleh Sultan Yogyakarta. Masjid ini, katanya, memiliki nilai historis yang panjang dan penting bagi masyarakat Plosokuning dan Yogyakarta umumnya.
Masih banyak hal yang ingin disampaikannya, tapi malam kian larut. Saya harus kembali ke tempat kos. Bapak Kamal mengundang saya untuk mengikuti serangkaian acara yang dilaksanakan oleh ta'mir masjid di waktu-waktu mendatang. Catatan ini mungkin adalah awal dari sebuah dialog praksis saya yang Kristen dengan saudara-saudara Muslimin/Muslimah di Plosokuning.
Wednesday, October 26, 2011
307
Syukur alhamdullilah, bahwa dalam perjalanan menelusuri jalan itu saya ternyata tak sendiri. Ada Murtafi Haris yang setia menemani dengan kopi hitam dan asap-asap putihnya; ada Rahmadi Agus yang kalem-serius tapi tajam terpercaya (kayak iklan berita...); ada Ahmad Salehudin yang supersibuk mondar-mandir UGM-UIN; juga Dede Syarif yang sumringah terus sejak dirahmati Allah SWT dengan seorang bayi; Amanah Nuris yang berkaliber "event organizer" profesional mengurusi Wednesday Forum; Laila Alfirdaus yang rajin dan setia mengirim materi-materi kuliah; Witri Indriani yang tenang dan murah hati membayar makan siang (harap cemas apakah berkelanjutan?); Lidya Tandirerung yang dengan mantap memoderasi percakapan di kelas... Siapa lagi ya? Walah... yang terakhir ya aku...
Mereka telah menjadi teman seperjalanan mencari tanda-tanda "kebenaran" di tengah berbagai persimpangan jalan menelusuri rimba belantara epistemologi, mencoba mengenali akar-akar asumsi dasar dari tiap pohon ilmu yang ditemui, bahkan mencoba membaca tanda-tanda alam melalui persinggungan-persinggungan paradigma yang kerap membingungkan dan cukup melelahkan. Tetapi kami telah menjadi teman seperjalanan. Itu sungguh berarti. Perjumpaan kami pun kerap mengalir dalam tegangan arus debat yang membuat setiap orang mencoba bertahan, sepakat, atau bahkan mendekonstruksi ranah-ranah tabu "agama" ke dalam ketegangan-ketegangan yang mengasyikkan.
Friday, October 14, 2011
Agama untuk Keadilan dan Perdamaian: Catatan 20 Tahun Interfidei
Sikap pesimis mencuat karena setelah berkiprah selama 20 tahun bersama-sama dengan seluruh jejaring yang dibangunnya, kegairahan komunikasi antariman seolah-olah tetap membentur “benteng kokoh” sektarianisme agama-agama. Aksi-aksi kekerasan dengan manipulasi slogan-slogan dan simbol-simbol agama kian mengeras dan seolah tak tersentuh oleh tangan-tangan hukum yang menjadi kewajiban negara (pemerintah) sebagaimana amanat konstitusi republik ini. Wajah negeri ini kian carut-marut dengan apa yang oleh Mark Juergensmeyer dalam Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence disebut sebagai “cosmic war” (hlm. 145-163). Jangankan merayakan, menerima perbedaan saja sudah menjadi sesuatu yang haram.
Nyaris berada di titik kritis “frustrasi” ternyata muncul pendekatan-pendekatan yang lebih membumi. Pendekatan-pendekatan dialog antariman yang dilakukan oleh beberapa sahabat seolah menjungkirbalikkan pakem-pakem dialog antariman yang kerap dicurigai hanya menjadi kegenitan elitis yang terlena dalam diskusi-diskusi “sejuk” di hotel-hotel mewah. Farcha Ciciek, misalnya, menggagas pendekatan dialog antariman yang dimulai dengan menghidupkan kembali dunia bermain anak-anak dalam kemeriahan tradisi-tradisi lokal sebagai salah satu gerakan menancapkan kesadaran akan kekayaan identitas yang mesti dirangkul, bukan dimusuhi atau diberangus demi sebuah “kebenaran” yang pongah.
Saturday, September 24, 2011
Provokasi Damai
Semai Damai Maluku
Hanya dengan itu, kita berharap tidak ada lagi korban anak-anak bangsa yang bertumbangan karena kita tidak siap hidup dalam perbedaan sebagai karunia Tuhan bagi Indonesia. Semoga!
Ketenangan Mencekam di Ambon
“Mari katong buka biji mata la lia katong dapa apa dari samua ini. Sampe jua” [Mari kita buka mata untuk melihat apa yang kita dapat dari semua ini. Cukuplah.], demikian ratap EN, seorang ibu muda, yang terpaksa harus meliburkan anaknya dari sekolah dan tidak bisa pergi berjualan. Sementara sepeda motor suaminya turut menjadi korban amuk massa, padahal kreditnya belum lunas.
Carita Orang Basudara
Meski batin remuk mendengar berita situasi tegang di Ambon, tetapi optimisme menjadi Indonesia tetap menyala karena selalu ada celah di mana cahaya harapan tembus di antara retakan-retakan tembok-tembok. Semoga!
Monday, September 12, 2011
Ambon: Akankah Kembali ke Titik Nol?
Sulit dipercaya bahwa kota Ambon kembali terpuruk setelah diguncang bentrokan massal pada Minggu, 12 September 2011. Upaya panjang, berliku, dan melelahkan untuk membangun kepercayaan antarkomunitas yang pernah terlibat perseteruan panjang hingga ke ranah etnisitas dan religiositas beberapa waktu lampau seakan nyaris terpuruk hingga ke titik nol lagi. Itu jika melihat betapa mudahnya situasi meledak dan tak terkendali hanya oleh hembusan isu sepele yang tidak terklarifikasi secara jelas. Siapakah yang berkepentingan [lagi] dengan situasi rusuh Ambon? Bagaimana pengondisian situasi Ambon hingga aparat keamanan tampaknya “kewalahan”? Seberapa jauh fungsi intelijen mencermati dan mengantisipasi berbagai peristiwa prakondisi yang menyuburkan psikologi sosial masyarakat kota untuk dengan cepat tersulut isu tersebut?
Sejumlah pertanyaan bisa ditambahkan lagi. Tetapi peristiwa Ambon 1999 mesti menjadi acuan pembelajaran sejarah kelam yang penting untuk melihat situasi mencekam yang sedang dirasakan oleh masyarakat kota Ambon. Keadaan ini tentu saja tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena akan menimbulkan ekses yang lebih besar dan luas apalagi jika sudah diboncengi berbagai kepentingan di tengah carut-marut krisis nasional di negeri ini. Tulisan sederhana ini hanyalah upaya untuk berbagi pengalaman dan wawasan agar bersama-sama sebagai anak bangsa kita tidak lagi dengan mudah terpolarisasi ke dalam kubu-kubu ideologis berlabel etnisitas maupun agama untuk kembali saling menghantam. Mari kita lihat beberapa catatan berikut.
Pertama, terdapat kemiripan peristiwa pemicu bentrokan massal. Peristiwa pemicu konflik 1999 adalah isu pemalakan sopir angkot oleh seorang preman pasar, yang - entah bagaimana - tiba-tiba sudah meluas menjadi kerusuhan di seluruh wilayah kota dan bermunculan simbol-simbol yang seragam. Pemicu bentrokan massal 12 September 2011 adalah isu pembunuhan seorang pengemudi ojek. Setelah dicek ulang pihak kepolisian daerah Maluku menyatakan bahwa kematian tukang ojek itu adalah murni kecelakaan lalu lintas. Lantas, bagaimana hal itu bisa diisukan sebagai pembunuhan jika memang tidak ada kepentingan untuk menjadikannya sebagai faktor pemicu konflik? Siapa yang berkepentingan jika Maluku atau Ambon kembali rusuh? Apakah warga kota Ambon berkepentingan dengan kerusuhan yang justru menghancurkan pekerjaan dan kehidupan mereka sendiri? Rasanya sulit membayangkan bahwa itu ada di benak masyarakat kota Ambon.
Kedua, implikasi dari konflik 1999 adalah pembentukan Komando Daerah Militer (KODAM) XVI Pattimura dan penguatan kapasitas kepolisian Daerah Maluku. Sudah tentu alokasi pasukan dan strategi pengamanan harus lebih canggih dibandingkan dengan ketika masih menjadi KOREM. Lantas, kenapa selalu muncul alasan klasik bahwa aparat keamanan kewalahan karena jumlah yang tidak sebanding? Rasanya bukan rahasia lagi bahwa ini bukan soal jumlah tapi strategi pengamanan mulai dari deteksi intelijen hingga ke operasi pengendalian situasi. Apakah bisa dikatakan aparat keamanan kita kecolongan [lagi]? Kecolongan oleh siapa? Jika melihat luas geografis kota Ambon, sulit sekali untuk membayangkan bahwa strategi, teknik, dan pasukan/persenjataan aparat keamanan kita begitu mudahnya kecolongan.
Ketiga, hanya dalam hitungan jam sejak pecahnya pertikaian ada pernyataan dari petinggi POLRI bahwa akan ada pengiriman pasukan dari luar Maluku (200 Brimob dari Makassar) untuk membantu aparat keamanan di Maluku. Dari kacamata awam, apakah situasinya sudah sedemikian tidak terkendali oleh kepolisian daerah Maluku hingga perlu didatangkan pasukan dari luar? Saya sama sekali tidak mengecilkan pentingnya strategi pengamanan yang sedang diupayakan oleh polisi. Tetapi kita juga harus terus bertanya apakah yang menjadi akar masalahnya sehingga satu isu yang tidak jelas bisa merembet dengan cepat menjadi penumpukan dan bentrok kelompok massa. Mana sebab dan mana akibat? Jangan sampai yang dipadamkan hanyalah akibat tapi sebabnya terabaikan.
Keempat, hanya dalam hitungan jam pula pemantauan saya terhadap beberapa media online telah memperlihatkan pemberitaan yang tendensius bahwa “kerusuhan” 2011 ini diasumsikan sama dengan kerusuhan 1999-2004 yang lalu. Hal ini tentu perlu dicermati secara bijaksana mengingat media memiliki kekuatan yang sangat besar untuk membentuk opini publik mengenai suatu peristiwa. Oleh karena itu, peran media sangat signifikan dalam upaya turut mendinginkan situasi yang telah telanjur panas di kota Ambon.
Keempat catatan ringkas di atas sengaja saya paparkan agar kita mampu mencermati perkembangan situasi di kota Ambon dengan lebih arif. Catatan ini bukan sebuah tulisan teoretik atau upaya provokasi, melainkan sebuah refleksi pengalaman selama bergulat dengan krisis kemanusiaan akibat konflik sosial Maluku beberapa tahun silam. Perseteruan ini bukanlah keinginan rakyat [kecil] Ambon karena hingga saat ini pun banyak yang masih tertatih-tatih memulihkan kondisi perekonomian keluarga yang hancur pada waktu konflik lalu. “Kerusuhan” ini, menurut saya, juga bukan demi kepentingan rakyat [kecil] yang lebih merasakan penderitaan daripada senangnya selama konflik.
Lantas, untuk kepentingan siapa? Mari kita bersama-sama menjawabnya dengan membangun kesadaran bersama bahwa bangsa kita sebenarnya sedang berada pada titik nadir peradaban kemanusiaan karena berbagai krisis yang tak jelas arah penyelesaiannya. Jauh lebih penting daripada mempertanyakan ini kepentingan siapa, kita semua punya hati nurani untuk melihat bahwa membangun kehidupan bersama dalam Indonesia jauh lebih indah dan bermakna ketimbang mengumbar emosi menyingkirkan liyan hanya karena kita berbeda. Indonesia adalah rahmat Tuhan bagi kita dan kita bertanggung jawab menjaga serta mengembangkan rahmat Tuhan ini bagi kebaikan seluruh ciptaan.
Steve Gaspersz, pernah bekerja pada Crisis Center PGI
Thursday, September 8, 2011
Pendeta Laki-laki di antara Impotensi, Potensi, dan Omnipotensi
Refleksi Ibadah Penutup Temu Raya Pendeta Laki-laki GPM 2011
Bacaan: 2 Samuel 11:1-27
Tema: Pendeta Laki-laki di antara impotensi, potensi, dan omnipotensi
Kalau kita mencermati iklan-iklan yang dimuat pada sejumlah suratkabar maka kita akan menemukan iklan yang selalu muncul adalah iklan “obat kuat” untuk laki-laki. Pengertian “kuat” di sini tentu saja berkonotasi “seksual”. Artinya, obat itu dianggap mujarab untuk kaum laki-laki yang merasa “sudah tidak kuat” untuk melakukan aktivitas seksual dengan pasangannya. Atau istilah yang kerap kita dengar adalah impotensi.
Ternyata, meskipun Pdt. Eta Hendriks menyebutkan tentang laki-laki yang macho (perkasa), kaum laki-laki selalu dihantui rasa takut kehilangan “keperkasaannya” dan karena itu membutuhkan obat kuat untuk membuktikan keperkasaannya (secara seksual). Kalau “keperkasaannya” loyo maka kelaki-lakiannya dianggap tidak ada lagi.
Bacaan Alkitab kita ini tentu bukan bacaan baru atau asing bagi kita. Mungkin sudah ratusan kali kita khotbahkan dalam berbagai acara ibadah kita selama pelayanan kita sebagai pendeta. Saat ini saya hanya ingin kita melihat beberapa pokok refleksi untuk mengantar kita menutup seluruh rangkaian kegiatan temu raya selama empat hari ini. Perikop ini bisa dibagi ke dalam tiga episode.
Episode pertama. Daud sudah menjadi raja dan sementara menikmati masa kejayaannya. Dulu dia dianggap sebagai anak ingusan yang tidak diperhitungkan masuk bursa pemilihan pemimpin Israel. Tapi Daud dipilih oleh Tuhan untuk memimpin Israel sebagai raja. Dari orang yang dianggap “impoten”, dia kemudian menjadi seseorang yang sangat berpotensi (berkuasa dan perkasa) hingga mampu mendirikan kerajaan Israel Raya. Namun dengan kekuasaan yang dimilikinya, Daud lupa diri dan merasa bahwa dia kini adalah seorang yang maha perkasa atau OMNIPOTEN. Dengan begitu dia merasa bisa melakukan apa saja, termasuk menguasai tubuh perempuan bernama Batsyeba dan menjadikan Batsyeba sebagai pelampiasan nafsu syahwatnya.
Episode kedua. Namun demikian, kendati merasa omnipoten (maha perkasa dan berkuasa) Daud terbukti bernyali pengecut. Begitu mengetahui bahwa Batsyeba hamil, dia berusaha menutupi akibat perbuatannya itu dengan berbagai aksi manipulatif. Dia sengaja menjebak Uria, suami Batsyeba dan salah satu komandan pasukan perangnya, dengan cara menyuruh Uria untuk beristirahat, pulang ke rumah dan tidur dengan istrinya. Daud berharap Uria bersetubuh dengan Batsyeba supaya kehamilan Batsyeba bisa ditimpakan kepada Uria. Tetapi Uria ternyata tidak pulang ke rumah. Didorong oleh rasa tanggung jawab, komitmen, dan loyalitasnya kepada raja, dia tidur di depan istana. Rencana Daud gagal.
Episode ketiga. Gagal dengan rencana tadi, Daud merancang skenario penyingkiran Uria dengan lebih kejam lagi. Dia menyuruh pemimpin pasukan tertinggi, Yoab, untuk menempatkan Uria pada garis depan pertempuran melawan musuh yang paling kuat. Rencana jahat ini berhasil dilakukan dan Uria tewas dalam pertempuran sengit tersebut. Tampaknya Daud tampil sebagai “pemenang” karena berhasil melakukan rencana jahat penyingkiran Uria hanya demi menutupi kebejatannya terhadap Batsyeba, istri Uria.
Ketiga episode itu memperlihatkan gambaran figur dua laki-laki yang berbeda. Daud adalah seorang laki-laki yang semula dianggap impoten, namun kemudian setelah bergelimang kekuasaan, dia pun merasa diri omnipoten atau maha perkasa/berkuasa. Dia merasa mampu mendapatkan apa saja yang diinginkannya karena punya kekuasaan. Semuanya dapat diambil atau direbut bagi dirinya sendiri kendati itu bukan haknya. Sedangkan figur Uria menggambarkan sosok laki-laki bertanggung jawab, punya komitmen, loyal dan berdedikasi kepada tuannya (raja). Dia rela mengorbankan perasaan pribadinya, bahkan keluarganya (hubungan dengan istrinya) hanya demi mempertahankan kesetiaan dan dedikasinya kepada raja.
Refleksi kita pada saat ini hanya ingin mengajak kita belajar dari karakter dua laki-laki ini: Daud dan Uria. Kita telah menyelesaikan serangkaian kegiatan selama empat hari temu raya ini. Seluruh proses yang telah kita jalani hendak mengajak kita untuk melihat posisi kita dalam pelayanan di jemaat-jemaat: POTEN, IMPOTEN, atau OMNIPOTEN? Apakah seluruh geliat pelayanan kita masih sangat kuat ditentukan oleh cara kita mencitrakan diri kita sebagai pendeta dan laki-laki? Integritas kita adalah kekuatan utama kita, seperti yang ditunjukkan oleh Uria. Tapi seberapa sering kita merasa harus bersembunyi di balik “kuasa” yang kita miliki.
Kita mesti jujur mengakui bahwa dalam realitas pelayanan jemaat-jemaat GPM, sejak zaman dulu hingga sekarang, kita bisa menemukan ada suatu pendekatan dominan yang tampaknya sudah menjadi ciri kependetaan kita. Sering kita lebih nyaman memakai HOKMAT untuk menundukkan warga jemaat; bukan HORMAT untuk membuka ruang bagi proses mendengarkan keluhan mereka. Tak jarang pula terdengar pengalaman bahwa ada pendeta-pendeta yang lebih “perkasa” memakai TOGA untuk menentukan mati/hidup warga jemaat yang keras kepala dan pembangkang; bukan TOMA untuk mendorong mereka menemukan potensi mereka dan keluar dari masalah mereka sendiri. Kerap juga kita dengar atau bahkan kita alamai bahwa para pendeta menggunakan kuasa DOA untuk mengutuk warga jemaat yang kepala batu dan tidak mau bertobat; bukannya DATA untuk mencari tahu mengapa mereka tidak mau berubah.
Semua itu hanyalah sebagian kecil dari pengalaman dan sejarah yang mesti kita refleksikan bersama untuk membawa kita pada suatu visi dan misi pelayanan yang bernas dan kontekstual. Temu raya ini mau memposisikan kita sebagai para pelayan yang membangun potensi bersama. Oleh karena itu diperlukan semangat TIM. Ini bukan zamannya lagi pendeta McGiver, yang bisa bikin semua hal meskipun mungkin kita bisa melakukannya. Tetapi tentu saja tidak semua orang punya kemampuan unik semacam itu. Dan apakah memang kemampuan semacam itu yang menjadi ideal profil pelayan GPM? Kita tidak ingin menjadi pendeta yang OMNIPOTEN sebab itu merupakan perangkap untuk melemahkan jemaat-jemaat kita membangun dirinya sendiri. Dalam khotbah pembukaan oleh Pdt. (em) Bram Soplantila disebutkan mengenai istilah TTS (Tekun-Tabah-Setia) yang selalu diingatkan kepada para pendeta yang baru ditahbiskan pada masa beliau masih menjabat sebagai ketua sinode GPM. Sekarang pun kita masih tetap diminta untuk TTS. Tetapi istilah itu juga mengingatkan jangan sampai seluruh “kuasa” yang kita miliki malah membuat kita merasa omnipoten lalu menjadi TTS yang lain, yaitu “Tuan-Tuan Senang”.
Steve Gaspersz
Rumah Gereja Maranatha, 5 September 2011
Thursday, August 11, 2011
Apa-Apa di Antara Kita
Saya bukan pegawai negeri sipil. Saya bukan pegawai pemda Maluku, bukan pula pejabat pada salah satu instansi pemerintahan di daerah ini. Saya bukan perancang pembangunan yang fasih mempresentasikan konsep-konsep pembangunan dan seabreg teori-teori pembangunan. Saya juga bukan anggota parpol yang dipercaya untuk duduk mewakili konstituen di kursi empuk kantor dan ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku. Saya bukan pengamat korupsi (karena saya juga tidak tahu apa definisi korupsi dan tidak tahu apa yang mau dikorupsi). Saya bukan pengamat politik dan hukum yang pandai bersilat lidah menyebut pasal-pasal KUHP dan menafsirnya dengan tepat.
Saya bukan apa-apa. Tapi saya merasa apa-apa. "Apa-apa" saya bukan karena jabatan atau status yang melekat pada diri saya. "Apa-apa" saya hanyalah ditentukan oleh kartu kecil yang disebut KTP (kartu tanda penduduk). Artinya, cuma status saya sebagai warga negaralah yang membuat saya merasa "apa-apa" terhadap apa-apa yang terjadi di negara ini - minimal yang terjadi di daerah tempat saya tinggal.
Tulisan ini juga bukan kajian teoretik ala para profesor kampus-kampus ngetop. Juga bukan bahan presentasi untuk seminar-seminar pembangunan. Sayangnya juga bukan materi kuliah (meskipun kerjaan saya memberi kuliah). Tulisan ini bukan apa-apa. Tapi tulisan ini mengandung "apa-apa". "Apa-apa" tulisan ini tidak terkait dengan jabatan atau status saya. "Apa-apa" tulisan ini lebih terkait dengan identitas saya sebagaimana - minimal - tercantum pada KTP saya. Namun "apa-apa" tulisan ini punya relasi kuat dengan cara saya memaknai identitas saya.
Jadi, apakah "apa-apa" itu dalam tulisan ini? Ini sedikit catatannya.
Ini bermula dari percakapan dengan rekan Pdt. Abraham Beresaby tentang jembatan merah-putih yang akan dibangun menjembatani teluk Ambon antara Poka-Galala. Rekan saya ini adalah ketua klasis GPM di kepulauan Babar. Masyarakat di sana lebih banyak merasakan pahitnya masalah transportasi yang tak kunjung dibenahi hingga menjelang Republik Indonesia merayakan hari kemerdekaannya yang ke-66 (17 Agustus 2011) nanti. Transportasi rakyat yang tersedia hanyalah kapal-kapal perintis, yang kondisinya pun tak bisa dibilang layak. Tapi mau apa lagi? Cuma itu yang tersedia.
Percakapan itu melebar hingga ke kondisi ratusan jembatan di beberapa wilayah pulau-pulau besar (Seram, Buru, Yamdena, dll) yang sebenarnya belum bisa disebut jembatan, karena belum berfungsi untuk menjembatani apa yang harusnya dijembatani. Ada yang setengah jadi. Ada yang masih berupa pilar-pilar. Ada yang sudah jadi tapi rusak parah diterjang luapan air sungai. Saya sendiri mengalami bahwa untuk melintasi kawasan-kawasan yang tak berjembatan itu harus dengan perjuangan keras. Malah, beberapa teman punya pengalaman diseret air sungai. Tapi, lagi-lagi, mau apa lagi? Itulah yang mesti dijalani untuk bisa bertahan hidup dengan seluruh aktivitas rakyat.
Dua cerita itu tentu saja masih bisa disambung-sambung menjadi cerita berseri tentang kondisi kepulauan kita di Maluku, juga cerita bersambung tentang penanganan pembangunan di Maluku. Cerita besar kita kemudian adalah tentang pembangunan jembatan merah-putih. Jembatan yang sebenarnya tidak dibutuhkan karena memang sudah tersedia "jembatan" lain untuk menjembatani Poka-Galala (ada jasa perahu rakyat, ada feri, bisa juga jalan putar). Artinya, kita tak terlalu membutuhkannya dalam konteks pembangunan kawasan kepulauan Maluku.
Tapi soal yang lebih "seksi" di balik cerita itu adalah besaran dana APBN yang akan digelontorkan HANYA untuk pembangunan 1 jembatan ini, yaitu 650 miliar (lihat kompas online). Luar biasa! Sementara yang sempat saya dengar pembangunan jembatan sepanjang 20 m di desa Aboru masyarakat hanya mendapat 7 juta, sisanya masyarakat cari sendiri. Tentu beda ukuran, beda pula nominal dananya. Itu wajar menurut hitung-hitungan ekonomi. Namun, pembangunan tak bisa hanya ditentukan oleh otak-atik angka ekonomis. Ada prinsip pembangunan yang mesti pula diperhatikan dan diperhitungkan, yaitu signifikansi pembangunan itu bagi kesejahteraan masyarakat pengguna hasilnya.
Kalau bicara signifikansi, maka yang mesti dicermati dengan sungguh-sungguh adalah NILAI pembangunan itu bagi perubahan yang menghidupkan aktivitas masyarakat memenuhi kebutuhan dasar mereka. Dan untuk itu aspek-aspek budaya, kesejahteraan sosial, ekualitas, fungsional, dan akseptabilitas masyarakat sangat perlu dijadikan acuan. Itu jika orientasinya adalah penguatan kapasitas sosial yang didukung sarana/prasarana publik yang memadai; bukan sekadar untuk prestise yang jadi kebanggaan semu.
Sudahkah seluruh aspirasi masyarakat pengguna hasil diperhitungkan sebelum merancangnya? Karena saya yang ber-KTP Maluku tidak pernah melihat atau mendengar bahwa sudah pernah dilakukan studi kelayakan mengenai signifikansi jembatan itu. Kalau pun sudah, sudah studi kelayakan itu dilanjutkan dengan alternatif alokasi anggaran untuk akar masalah yang dirumuskan itu? Saya yang ber-KTP Maluku belum pernah (ini subjektif) mendengar apa yang menjadi akar masalah sosial-ekonomi-budaya hingga kita merasa membutuhkan jembatan itu. Kalau pun sudah, apakah memang jembatan itu adalah solusinya? Solusi menurut siapa? Perancang konsepnya atau harapan pengguna hasilnya?
Mungkin sampai di situ dulu "apa-apa" yang bisa saya bagi. Syukurlah, kalau bagi anda itu bukan "apa-apa". Tapi lebih baik di"apa-apa"kan sejak sekarang daripada nanti. Sebab kalau sudah terlambat kita tidak bisa bikin apa-apa lagi.