Kebudayaan manusia terbentuk dan berkembang sebagai buah pemaknaan interaksi manusia dengan lingkungan alamnya dan lingkungan sosialnya. Interaksi itulah yang menciptakan masyarakat. Di dalam konteks bermasyarakat, manusia terus-menerus mencari sekaligus memberi makna pada kedua lingkungan tadi. Keduanya tak terpisahkan melainkan berjalin antara "budi" (nalar/moral) dan "daya" (potensi alamiah) sehingga membentuk "budaya". Padi yang tumbuh tidak hanya menjadi "daya" tetapi sekaligus termaknai sebagai "budi" saat dikelola hingga menjadi "beras" dan "nasi" di atas meja makan kita.
Monday, December 21, 2020
Filosofi atau Pilusopi? ~ Sudut Pandang
Kebudayaan manusia terbentuk dan berkembang sebagai buah pemaknaan interaksi manusia dengan lingkungan alamnya dan lingkungan sosialnya. Interaksi itulah yang menciptakan masyarakat. Di dalam konteks bermasyarakat, manusia terus-menerus mencari sekaligus memberi makna pada kedua lingkungan tadi. Keduanya tak terpisahkan melainkan berjalin antara "budi" (nalar/moral) dan "daya" (potensi alamiah) sehingga membentuk "budaya". Padi yang tumbuh tidak hanya menjadi "daya" tetapi sekaligus termaknai sebagai "budi" saat dikelola hingga menjadi "beras" dan "nasi" di atas meja makan kita.
Monday, November 30, 2020
64
Waktu masih menunjuk sekitar 5.45 WIB ketika bus Surabaya-Semarang menurunkan saya di Jetis Kota Salatiga. Badan cukup lelah. Saya dan Stevy Likumahwa telah menempuh pelayaran dengan KM Rinjani klas ekonomi selama empat hari Ambon-Surabaya. Stevy langsung ke Jakarta dan akan menyusul ke Salatiga. Saya langsung ke Salatiga.
Saturday, November 28, 2020
Indonesia dari Lemba Tongoa
Wednesday, October 7, 2020
"Indonesia" di Ithaca - Catatan Penghormatan 70 Tahun SEAP Cornell University (Bagian III)
Sunday, October 4, 2020
"Indonesia" di Ithaca - Catatan Penghormatan 70 Tahun SEAP Cornell University (Bagian II)
Saturday, October 3, 2020
"Indonesia" di Ithaca: Catatan Penghormatan 70 Tahun SEAP Cornell University (Bagian I)
"Setelah mempertimbangkan hasil ujian komprehensif dan proposal disertasi Saudara, maka kami menganjurkan Saudara untuk mendalami studi Indonesia. Ada 2 pilihan: Universitas Leiden atau Universitas Cornell," demikian pernyataan salah seorang profesor dari dewan penguji ujian komprehensif saya di ICRS (Indonesian Consortium for Religious Studies), yang bermarkas di Gedung Lengkung Sekolah Pascasarjana UGM. Salah satu persyaratan yang harus dijalani oleh mahasiswa program doktor ICRS adalah melakukan studi literatur pada salah satu universitas di luar negeri selama kurang-lebih 5 bulan. Sebagian besar adalah universitas di Amerika Serikat.
Pilihan itu membuat saya gembira sekaligus gundah. Pasalnya, ketika saya memilih Universitas Leiden, beberapa profesor mengusulkan sebaiknya saya ke Cornell. Bersamaan pula promotor saya, Prof. Paschalis M. Laksono, adalah lulusan Cornell. Tapi ada problem. Ternyata dari sekian banyak kerjasama yang sudah diteken oleh ICRS dengan kampus-kampus di Amrik, saat itu ICRS belum terkoneksi dengan Cornell. Adalah Profesor Bernard Adeney-Risakotta yang saat itu mendorong saya untuk memilih Cornell. "Anda sebaiknya ke Cornell. Dengan demikian, Anda sekaligus menjadi duta ICRS untuk selanjutnya kita bekerjasama dengan Cornell. Kami akan mengatur perjalanan ke Cornell selagi Anda visiting scholar di sana," demikian kata Prof. Bernie.
Singkat kata, saya pun bersiap meskipun agak puyeng. Perjalanan dari New York City ke Ithaca sekitar 6 jam dengan bus Greyhound. Memang ada penerbangan lokal tapi karena musim dingin yang ekstrem maka penerbangan NYC-Ithaca tidak bisa dipastikan. Setiba di NYC saya harus tinggal beberapa hari untuk menentukan transportasi ke Ithaca. Saat itu sedang musim dingin. Saya harus tinggal di mana selama di New York City? Syukurlah, melalui bantuan bung Jacky Manuputty, saya diperkenalkan dengan keluarga bung Franklin Wattimena yang berdomisili di kawasan Queen New York. Keluarga Wattimena bersedia menerima saya transit sebelum ke Ithaca. Persinggahan di New York City tertangani.
Masalah lain, bagaimana dengan pemondokan saya selama berada di Ithaca? Karena saya adalah mahasiswa ICRS pertama yang ke Cornell dan belum ada kontrak kerjasama Cornell-ICRS maka Cornell (SEAP) tidak mempersiapkan fasilitas pemondokan atau asrama. Saya harus mencari sendiri. Lagi-lagi saya bersyukur karena melalui Prof. Dieter Bartels, saya diperkenalkan dengan Prof. John Wolff, seorang Indonesianis di Cornell. Hanya dalam hitungan hari, John Wolff membalas email saya dan menyatakan bersedia menampung saya di rumahnya sambil mencari pemondokan di Ithaca.
Hari sudah malam ketika pesawat mendarat di bandara internasional John F. Kennedy New York. Semua tampak putih diselimuti lapisan salju tebal. Bung Franklin Wattimena alias bung Engkin bersama putrinya menjemput saya dan kami menuju rumah keluarga Wattimena. Saya merasa "at-home" selama beberapa hari tinggal bersama mereka sembari, dengan bantuan bung Roy Manuputty, mencari informasi mengenai transportasi ke Ithaca. Selama berada di NYC, John Wolff terus berkomunikasi dengan saya untuk memastikan keadaan saya baik-baik dan mencari tahu waktu tiba di Ithaca karena beliau akan menunggu saya di terminal bus Ithaca.
Musim dingin yang hebat (menurut ukuran saya) cukup membuat saya kewalahan. Untunglah keluarga Wattimena dan bung Roy Manuputty membantu saya dengan memberikan mantel, jaket, syal, sarung tangan, kaos kaki dan sepatu khusus salju. Sepatu sneakers saya basah kuyup ketika saya paksa pakai keluar rumah dalam kondisi hujan salju dan melewati jalan berlapis salju tebal. Hampir seminggu saya tinggal bersama keluarga Wattimena. Pada hari yang kami sepakati, karena bertepatan dengan jam kerja bung Engkin dan usi Onco, maka bung Roy Manuputty bersedia mengantar saya ke terminal bus Greyhound menuju Ithaca.
(lanjut)
Monday, August 17, 2020
75
Sobat saya, Ikhsan Tualeka, kabarnya akan segera meluncurkan buku bertajuk "Maluku Menggugat". Salut! Tajuk yang seolah menahan sejenak detak jantung kebudayaan dari suatu masyarakat yang sejak negeri ini dinyatakan "merdeka" pada 75 tahun silam, seolah hanya menjadi pelengkap penderita. Mengapa menggugat? Apa yang digugat? Kita nantikan saja penerbitan buku Ikhsan Tualeka itu.
Tahun lalu (2019), sobat saya yang lain, Haris Touwely, sumringah dan bergegas pulang ke kampungnya, Riring, yang terletak di pegunungan Pulau Seram, tepatnya Kabupaten Seram Bagian Barat, Kecamatan Taniwel. Apa pasal? Katanya, ada peresmian jalan beraspal yang sudah mencapai kampungnya itu. Bagi kebanyakan orang yang terbiasa hidup di pusat-pusat kota, itu hal biasa. Tapi tidak bagi sobat saya ini dan seluruh warga kampungnya. Baru pertama kali ini sejak Indonesia dinyatakan merdeka 74 tahun silam (1945-2019), jalan beraspal bisa tembus hingga ke kampungnya itu.
Kemarin pagi seorang sobat lain, Samanery Juhri, mengirim tautan klip video kami belum merdeka yang memperlihatkan betapa besar perjuangan dan pengorbanan dari warga Desa Neat dan Desa Liang di Pulau Buru (Selatan) jika mereka hendak pergi ke tempat lain. Rekaman video itu menampilkan usaha warga kedua desa dengan membuat jembatan tali luncur untuk menyeberangkan orang di atas aliran sungai yang deras.
Tiga cerita itu, tentu saja, hanya cerita-cerita yang dianggap kecil dan bisa kita abaikan begitu saja selagi kita tidak merasa berkaitan dengan urusan perut dan duit kita. Cerita-cerita yang dianggap kecil dibandingkan dengan cerita besar korona yang menyedot stamina kebangsaan kita hanya dalam hitungan bulan. Bahkan memaksa pemerintah republik ini menggelontorkan trilyunan rupiah untuk mempersiapkan segala fasilitas dan obat/vaksin. Cerita-cerita itu memang hanyalah cerita orang kecil yang karena segala usaha mandirinya mengatasi segala keterbatasan infrastruktur hidup, mereka berjuang tanpa merasa perlu diberi penghargaan bintang jasa atau gelar kehormatan.
Semua itu hanya cerita-cerita pendek dari perjalanan panjang 75 tahun republik ini. Mungkin saja, akan segera tenggelam di tengah hiruk-pikuk pekik "merdeka" yang akan terdengar seharian ini (17 Agustus 2020).
Sunday, August 16, 2020
JaNus
Sunday, June 21, 2020
Pemberdayaan Gereja melalui Pengolahan Pangan Lokal Jemaat di Era New Normal
Tuesday, June 16, 2020
Lien
Wednesday, May 20, 2020
Refleksi Ibadah Minggu - Gereja Imanuel OSM 26 April 2020
Sunday, April 19, 2020
Melodi Jiwa Tamaela
Siapa tak kenal lagu "Toki Tifa" dan "Toki Gong" yang mendunia itu? Cari saja di Channel YouTube. Orang bisa menemukan banyak versi lagu tersebut yang dinyanyikan oleh bermacam-macam paduan suara dalam dan luar negeri. Pernah dengar atau pernah menyanyikan lagu "Pela" yang telah melegenda dalam khazanah kebudayaan Maluku? Atau bukalah buku lagu Kidung Jemaat atau Pelengkap Kidung Jemaat atau Nyanyian GPM, ada beberapa lagu yang akrab di telinga dan kerap dikidungkan dalam ibadah-ibadah Kristen di Indonesia. Tapi jarang sekali orang melihat siapa penciptanya.
Di antara sekian nama pencipta lagu gerejawi dan budaya (Maluku), terpatri nama Christian Izaac Tamaela. Upu Atiang, demikian beta biasa menyapanya, bukanlah sosok budayawan dan komposer lagu yang gila panggung atau mabuk ketenaran. Gaya hidup dan karakternya sangat rendah hati, santun dan menghormati setiap orang, bahkan yang usianya jauh lebih muda. Dia berkarya menata melodi, notasi dan birama dalam keheningan. Sepi liputan media. Justru di situlah karya-karyanya sangat berjiwa. Sepanjang hayatnya, hampir setiap tahun dia diundang oleh lembaga-lembaga gerejawi tingkat nasional (PGI), regional (CCA), dan internasional (WCC), untuk menjadi pelatih dan juri paduan suara, fasilitator liturgi dan musik gerejawi, serta dirigen choir tingkat internasional. Belum terhitung lembaga-lembaga lainnya. Karya-karyanya meluber di berbagai edisi penerbitan berskala nasional dan internasional.
Dengan seluruh reputasinya itu, Upu Atiang sebenarnya bisa hidup berkelimpahan. Tapi jalan hidup itu tidak menjadi pilihannya. Dia tetap bersahaja. Jalan kaki dan naik angkot atau ojek dari rumah menuju kampus UKIM untuk mengajar. Tak punya sepedamotor, apalagi mobil.
Upu Atiang bukan hanya bermusik dengan instrumen-instrumen modern yang canggih. Dia adalah pencipta instrumen musik dari bahan apa saja yang bisa memproduksi bunyi. Semasa masih kuliah dulu (1990-1996), dia mengumpulkan beberapa mahasiswa dalam bengkel musiknya dan kami ditugaskan mengumpulkan batu, bambu, kayu, pasir, air dan kulibia untuk dibuat menjadi instrumen musik. Sensitivitas musik semacam itu membuat sosoknya unik dan langka.
Dalam setiap lagu karyanya terasa kental roh dan jiwa kemalukuan. Upu Atiang mampu menghidupkan kembali diksi-diksi budaya lokal yang dirajut menjadi untaian nada-nada diatonik dan pentatonik sebagai media yang membentangkan keluasan cakarawala dan variasi warna-warna pluralitas kebudayaan Maluku.
Sebagai apresiasi terhadap seluruh karya dan reputasinya, pada bulan Oktober 2019 kelompok perwalian mahasiswa (tutorship) Gaspersz-Souisa menyajikan liturgi ibadah yang seluruh lagunya diambil dari karya Upu Atiang. Beliau begitu bangga dan tanpa kami minta beliau datang membawa semua buku lagu yang memuat karya-karyanya. Lebih dari 20 buku (sebagian fotonya yang diunggah di sini). "Beta sanang ale dong bikin ini," demikian ucapnya bangga sambil menyalami beta cukup lama dengan tatapan yang berbinar-binar.
Sejak beta menjadi pembantu rektor bidang kemahasiswaan, beliau dengan senang hati membantu mendampingi mahasiswa yang berminat terlibat dalam paduan suara mahasiswa. Dua kali audisi selama 2 tahun langsung ditanganinya sendiri bersama Peter Salenussa dan Bill Saununu. Pada audisi yang kedua, beliau tetap datang meski kondisi kesehatan sedang menurun. "Biar beta yang pilih dong, nanti Peter yang latih. Beta kondisi seng kuat kayak dolo lai," ujarnya.
Horomate Upu Atiang!
Berjalanlah dengan nyanyianmu, toki tifa, toki gong, seiring langkahmu menuju keabadian. Spiritmu tetap hidup dalam setiap nada yang kau torehkan pada jiwa-jiwa generasi Maluku selanjutnya. Melodimu adalah melodi jiwa yang menghidupi dan menghidupkan bunyi semesta Maluku dan dunia.
"Pela e, katong bakumpul rame-rame... lama-lama bar bakudapa sio sungguh manis lawang e. Ayo Pela e, hidop orang basudara, antar gandong, antar suku deng agama e... Pela e, manis lawang e"
Mena Muria!
Thursday, April 9, 2020
RENJANA: Glenn Fredly Latuihamallo 1975-2020
Kekaguman saya pada GF bukan hanya lagu-lagunya yang sarat romansa itu. Banyak karyanya yang membawa penikmat musik ke dunia batinnya sebagai seorang humanis. Tak segarang Iwan Fals dan sesederhana Franky Siahailatua, GF piawai menyusun nada-nada kreatif yang menghentak – seperti karakter R&B-nya – dengan diksi-diksi humanis yang dilandaskan pada roh dan visi bermusiknya yang dirajut bersama kegelisahan identitasnya sebagai seorang manusia Maluku sekaligus Indonesia. Yang menggiringnya pada pencarian akar identitasnya, seperti tiga episode liputan spesial KOMPAS TV dengan tajuk “Musika Foresta”. Liputan itu merekam petualangannya merambah hutan Manusela di Pulau Seram, yang dipercaya oleh rakyat Maluku sebagai sumber jatidiri Maluku (Tengah).
Demikian pula dengan keprihatinannya pada musik Maluku yang mempertemukannya dengan anak-anak muda kreatif “puritan” yang menggawangi Moluccas Hiphop Community (MHC). Perjumpaan yang mendesaknya untuk mengajak MHC berkolaborasi menggelar konser di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dengan gelar sangar “Beta Maluku”. Ini kemudian menjadi slogan populer di kalangan anak-anak muda Maluku generasi selanjutnya. Ada lagi yang lain. Jauh dari hingar-bingar pernyataan-pernyataan bombastis tentang rekonsiliasi konflik Maluku 1999-2005, GF menggaet sejumlah anak muda Maluku untuk membuat film tentang kehidupan seorang legenda sepakbola Maluku dari Negri Tulehu, yang dikenal sebagai “kampung sepakbola”. Ia mencipta lagu OST (Original Sound Track) dengan tajuk "Tinggikan" untuk film “Cahaya dari Timur” yang sarat dengan diksi-diksi kokoh yang seolah menjadi pilar penyangga identitas Maluku yang saat itu porak-poranda oleh perseteruan tampak tak berujung, dan mengajak untuk melihat secercah harapan dari balik keretakan relasi sosial masyarakat Maluku saat itu.
Keprihatinan humanisnya tidak hanya tampak melalui karya-karyanya, tapi juga dalam keseluruhan hidupnya. Ia turut dalam Gerakan “Save Aru” untuk menggalang dukungan terhadap rakyat Aru menghadapi desakan kooptasi perusahaan multinasional atas tanah dan laut Aru. Dalam dunia pendidikan, GF menjadi seorang musisi Maluku yang memelopori pendirian Program Studi Musik Islami pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon. Tak hanya itu, visi dan misinya untuk bermusik telah menjadi suatu inspirasi pendidikan kehidupan yang menghidupi karya-karya generasi musisi muda di Maluku. GF mampu menjelanak di antara tarikan humanisme dan kapitalisme bisnis rekaman di Indonesia sehingga mampu dengan luwes melepas status selebritas muda yang bergelimang ketenaran dan kekayaan. Ia tetap sederhana dengan topi di kepalanya. Semua orang mudah menemuinya dan sebaliknya ia begitu terbuka menerima ajakan untuk bekerja sama dengan siapa pun, demi perkembangan musik itu sendiri.
Saya tidak pernah bertemu dengan GF. Tapi saya belajar banyak melalui karya-karyanya yang merentang jauh merajut simpul-simpul rasa cinta yang pada hakikatnya menggerakkan setiap manusia untuk menjumpai manusia lainnya. Dalam setiap karyanya, saya sulit menemukan “roman picisan” tapi suatu keagungan cinta yang menggugah manusia melihat dirinya sendiri dan menempatkan liyan sebagai spirit menjaga keagungan itu bersama-sama. Bagi saya, di situlah renjana Glenn Fredly! Renjana yang terus menghidupi lagu-lagunya yang mengendapkan kekuatan pada lapisan dasar rasa kemanusiaan: CINTA.
Rest in Love, Glenn Fredly Latuihamallo!
Saturday, April 4, 2020
Belajar
Sistem pembelajaran klas harus diubah menjadi kuliah daring (online). Lebih mudah? Kelihatannya. Tapi bagi sebagian besar mahasiswa perubahan ini menghadapkan mereka pada masalah lain yang cukup berdampak pada pengelolaan keuangan rutin mereka. Kuliah daring membutuhkan jaringan internet (pulsa data dan wifi). Wifi dengan kapasitas besar hanya tersedia di kampus. Sementara kalau sebagian besar memanfaatkan wifi di kampus maka sudah pasti akan terbentuk kelompok-kelompok yang bergerombol pada titik-titik tertentu. Padahal, ada anjuran untuk tidak berkerumun.
Alternatifnya, menambah pulsa data supaya bisa bekerja sendiri-sendiri. Lain lagi masalahnya. Untuk yang masih tinggal dengan ortu, kendala uang pulsa sebagian bisa teratasi. Meskipun tidak semua ortu sudah memahami konsekuensi kuliah daring. Tapi tidak mudah bagi mahasiswa yang tinggal dengan keluarga wali dan indekos. Dana rutin bulanan yang dikirim ortu mereka di negri-negri harus dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pulsa data yang cukup besar. Akibatnya, uang kos tertunggak dan uang makan kian tipis, bahkan nihil. Ortu mereka di kampung tidak [mau] tahu dengan perubahan ke model kuliah daring ini sehingga terutama mahasiswa indekos harus merana kelaparan seiring tuntutan pulsa data yang harus terus diinfus supaya bisa ikut kuliah daring.
Ada sebagian mahasiswa yang disuruh pulang kampung jika tidak ada sesi klas selama masa "kunci", padahal ini bukan libur. Tentu saja, sebagian besar negri (kampung) di pulau-pulau belum terjangkau jaringan internet yang memadai. Jika pun sudah, frekuensinya naik-turun. Belajar jarak jauh? Pakai apa? Zoom, Google Classroom, Google Hangouts Meet, Skype? Semua bagus bagi yang sudah menikmati fasilitas internet yang berdaya kuat. Tapi tidak di wilayah-wilayah yang minus jaringan komunikasi (internet).
Utamanya mahasiswa-mahasiswa indekos mencoba bertahan hidup dan enggan pulang kampung meski keuangan mereka seret karena terhisap pulsa data. Ada teman-teman mereka yang tinggal dengan ortu rela berbagi beras dan sedikit bahan sembako. Kami para dosen juga membantu sebisanya agar mereka bisa terus mengikuti kuliah daring dan membatasi mereka untuk tidak melakukan kerja-kerja kelompok di tempat-tempat yang "rawan" penyebaran virus corona.
Harus diakui bahwa cukup banyak mahasiswa yang "pasrah" karena tidak mampu secara ekonomis mengikuti model kuliah daring. Mereka memilih "alpa" dan mundur dengan segala konsekuensinya bagi kelanjutan studi mereka.
Situasi hidup mahasiswa di Indonesia timur seperti Maluku jelas tidak bisa dibandingkan dengan teman-teman mereka yang berjibaku di kampus-kampus besar di Pulau Jawa. Motivasi belajar yang kuat memang sangat diperlukan untuk meretas berbagai kendala teknis yang timbul karena berbagai perubahan dan adaptasi berhadapan dengan penyebaran virus corona ini.
Ini hanyalah catatan kecil yang mulanya dipicu oleh 2 buku yang ~ akhirnya ~ tuntas terbaca selama masa "kunci" ini: Politik Identitas dan Bumi Manusia. Muara dari aliran refleksi yang terbentuk melalui proses membaca ini adalah pada kepekaan untuk merasai apakah dalam seluruh dinamika perubahan yang terjadi sekarang ini setiap orang merasa diperlakukan dengan adil? Ataukah muncul stigma-stigma baru dalam realitas hidup sosial yang menciptakan model-model diskriminasi terhadap klas-klas sosial yang dianggap lemah dan karenanya dibiarkan tergilas begitu saja? "Physical distancing" makin meneguhkan "social distancing" yang sebenarnya sudah meracuni cara pandang terhadap realitas sosial masyarakat Indonesia ~ seperti pernyataan jubir kepresidenan yang menyebut "orang kaya" dan "orang miskin" dalam konteks penanganan COVID-19. Demikian pula dengan tendensi belakangan ini yang mengganti penyebutan COVID-19 menjadi VICHIN-19 (Virus China), yang tampaknya hendak mengarahkan persoalan penyakit menjadi diskursus politik identitas global.
Jangan-jangan masa "kunci" ini mengonstruksi perspektif dan aksi politik identitas baru. Suatu cara pandang terhadap penyakit dan penanganannya yang membuat kita menjadi tidak adil sejak dalam pikiran (mengutip tokoh Minke dalam Bumi Manusianya Pram). Semoga tidak.