Technology and environment are the two main issues within the dynamic of third world's development processes. An attitude and understanding of these concepts are mainly determined by its practical meaning in social life. However, in the implementation, their relationship become a big since both are only slightly understood. In this article, the problem of technology and environment will be discussed in wider perspective, i.e. in ecosociology framework. Through such a framework both will be analyzed as a cultural problem rather than technical one. In that way, therefore, a contextual cultural strategy is needed to-bring it into critical discourses.
Keywords: cultural strategy, ecosociology, environment awareness
Pengantar
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini telah menjadi suatu fenomena sosial yang nyata. Hampir tidak ada satu pun ruang hidup manusia yang tidak tersentuh olehnya, bahkan mengalami pergeseran secara signifikan. Perubahan yang mencolok terjadi pada alam pemikiran manusia menyangkut eksistensinya dan relasinya dengan lingkungan hidupnya (sosial dan alam). Pada gilirannya, perubahan dalam alam pemikiran manusia mengakibatkan terjadinya perubahan dalam seluruh struktur kebudayaan manusia (gaya hidup, pergaulan sosial, pemahaman praktis mengenai alam dan fungsinya, dan sebagainya).
Kekuatan dan pengaruh kemajuan teknologi pada tataran ideologis dan empiris juga mempercepat runtuhnya tembok pembatas kebudayaan antarkelompok manusia. Hal itu makin menggumpal dalam proses yang disebut globalisasi. Gerakan globalisasi memang sudah terjadi sejak dulu, khususnya pada masa ekspedisi perdagangan dan pembentukan koloni bangsa Barat di Asia dan Afrika. Namun, gerakan itu semakin intens pada abad ke-19 dan abad ke-20 dengan pesatnya berbagai inovasi dan ekstensifikasi jaringan informasi mondial. Konsep global village yang dikemukakan Marshall McLuhan pada dasawarsa 1960an menjadi sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Malah, kalau melihat bagaimana proses globalisasi itu menerjang dan menjungkirbalikkan seluruh pakem relasi antarmanusia dan manusia dengan lingkungannya, dunia itu makin mengecil seperti sebuah “kamar” (global room). Tidak ada lagi sekat sosial yang menghalangi perjumpaan antarmanusia dari berbagai latar belakang kebudayaan. Semua orang saling bersentuhan, bergesekan, dan saling terpengaruh oleh gerakan orang lain. Intensifikasi interaksi manusia juga berjalan dalam sebuah ruang nirwaktu (timeless). Ruang dan waktu tidak lagi menjadi stumbling block karena interaksi tersebut berlangsung dalam dunia maya.
Sebagai realitas yang tak terhindari, umat manusia kini harus menghadapi dan menjalani hidupnya dalam dinamika kemajuan teknologi (dan implikasinya) seperti itu dengan segala risikonya. Tidak ada pilihan lain. Gerakan untuk mengembalikan tatanan dunia (sosial dan alam), seperti abad pra-modernisasi dan pra-industrialiasasi tidak lebih sebuah romantisme historis. Pada pihak lain, mengharapkan bahwa modernisasi dan kemajuan teknologi mampu membuat hidup manusia sejahtera secara paripurna akan menjadi sebuah jebakan utopisme yang memabukkan. Apa yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan dunia seperti saat ini, khususnya berkaitan dengan kualitas kehidupan manusia dan lingkungan hidup, menurut saya, adalah ”etika ekososiologi”. Sebuah etika hidup bersama dalam dunia sosial dan dunia natural yang kesetaraan (equality) menjadi sebuah nilai utama. Hanya di dalam hubungan yang setara, setiap elemen dunia akan diperlakukan secara adil dan tidak ada yang menjadi subordinasi dari yang lain.
Dunia yang Tercabik-cabik
Dunia tempat hidup sekarang ini adalah sebuah dunia yang tercabik-cabik. Fragmentarisasi bidang kehidupan manusia—sebagaimana yang ada kini—merupakan konsekuensi logis dari berkembangnya spesialisasi ilmu pengetahuan. Jika pada suatu masa filsafat sebagai sebuah sistem pengetahuan yang komprehensif dan radikal (radix = akar) menjadi sebuah keniscayaan dalam dialektika epistemologis maka pasca era Cartesian dengan cogito ergo sum-nya rasionalitas menjadi pusat tradisi berpikir yang baru. Dalam tradisi berpikir modern, pengetahuan bukan lagi sebuah kemampuan untuk mengetahui segala sesuatu dalam jejaring realitas secara utuh, melainkan sebuah metodologi berpikir untuk mengenal secara mendalam sebuah subject matter yang terbatas. Atau, dengan perkataan lain, paradigma keilmuan tidak lagi bertumpu pada ”memahami seluruh realitas” tetapi pada ”tahu banyak tentang yang sedikit” atau ”memahami salah satu bagian dari realitas secara mendalam”.
Pergeseran paradigma keilmuan dan tren berpikir dari model filosofis ke model empiris pada gilirannya menjadi sebuah titik awal terspesialisasinya ilmu pengetahuan. Manusia tidak lagi terdorong untuk berpikir dalam sistem yang menyeluruh tentang segala sesuatu, tetapi lebih kepada bagaimana menemukan cara praktis pemecahan suatu masalah konkret sehari-hari dalam hidupnya. Tindakan ”berpikir” tidak lagi ditempatkan sebagai salah satu ”seni hidup” tetapi bergeser secara substantif menjadi upaya solusi praktis. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang berkembang kemudian lebih memberi penekanan kepada masalah empirik. Tumpuan ilmu pengetahuan tidak lagi di atas ”kecintaan pada hikmat” (philosophia) yang melibatkan hampir seluruh dimensi kemanusiaan seorang individu tetapi pada ”wilayah” pengetahuan yang makin tersekat untuk tujuan yang jelas dan segera.
Selanjutnya, pendekatan positivistik yang semula dikenakan pada bidang ilmu pengetahuan exact. pada gilirannya merambah ke dalam wilayah humaniora. Manusia dan masyarakatnya berusaha dibedah dan dipahami menurut kerangka ”ilmu pasti” dan semua hasilnya mesti terukur (measurable). Untuk mencapai hasil yang diinginkan, suatu cabang, ilmu pengetahuan dapat melakukan rekayasa sosial (social engineering). Konsekuensi penerapan rekayasa sosial itu ialah eliminasi signifikan sejumlah gejala sosial tanpa memperhitungkan unsur terkait atau bahkan fundamental dalam diri manusia. ”Manusia” dan ”masyarakat” hanyalah setumpukan data kuantitatif yang dapat dikonstruksi menurut rangkaian formula tertentu.
Kenyataan yang paling mencolok dalam pendekatan positivistik itu telah dirasakan dalam implementasi konsep developmentalism. Istilah seperti ”pertumbuhan ekonomi”, ”investasi”, ”kapital”, ”sumber daya alam”, ”sumber daya manusia”, ”teknologi tepat guna”, dan istilah lain semacamnya, telah menjadi terminologi baku yang memberi isi bagi makna pembangunan. Kendati manusia yang menjadi aktor dalam konsep dan praksis pembangunan, namun pengaplingan ruang hidup sosial – seperti termanifestasi dalam istilah itu – telah menggiring ”pembangunan” menjadi suatu tindakan yang memarjinalisasi keutuhan dimensi kemanusiaan demi suatu tujuan (ekonomi) jangka pendek. Sebagai contoh nyata, dapat disaksikan bagaimana parameter kemajuan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat ibukota Jakarta semata-mata dititikberatkan pada menjamurnya pusat perbelanjaan kelas menengah ke atas hampir di semua wilayah Jabodetabek. Sementara di pihak lain, human development terabaikan karena tidak lagi tersedia ruang publik yang memberi kesempatan masyarakat Jakarta berinteraksi dalam perjumpaan sosial yang alamiah. Kualitas kemanusiaan tereduksi menjadi ”binatang ekonomi” yang hanya berorientasi profit dan menegasi pentingnya relasi humanis dalam sebuah sistem hidup bermasyarakat. Bukan tak mungkin bahwa dalam waktu singkat, gejala itu akan merambah ke wilayah lain Indonesia.
Membahas tentang ”pembangunan” agaknya selalu menempatkan kita dalam posisi dilematis. Ibarat makan buah simalakama. Adakah kemungkinan menghindarinya jika dalam kenyataan seluruh mekanisme hidup telah terperangkap dalam jejaringnya? Atau, mampukah melakukan perubahan paradigm secara revolusioner saat ini di tengah derasnya arus pasar global? Atau, lebih sederhana (tetapi sulit) ialah masihkah tersedia gaya hidup alternatif yang ”pembangunan” menjadi sebuah konsep yang fungsional dan kontekstual, tidak lagi artifisial? Rentetan pertanyaan itu sebenarnya secara implisit dapat dikerucutkan pada masalah yang lebih fundamental, yakni pembangunan sebagai sebuah masalah kebudayaan. Sebagai masalah kebudayaan, hal itu merupakan masalah manusia secara universal karena menyangkut bagaimana masyarakat manusia menciptakan berbagai kemungkinan dalam rangka survive di tengah dinamika zaman. Sebagai contoh, bagaimana pembangunan merupakan masalah kebudayaan dapat dilihat dari pergeseran gaya hidup masyarakat di dua negara supermodern, Jepang dan Amerika Serikat.
Telah lazim diketahui bahwa masyarakat Amerika Serikat (AS) merupakan pengguna energi alam terbesar di dunia. Konsumsi energi di negara itu hampir 100 kali lipat lebih besar dari negara dunia ketiga dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan publik. Dengan perkataan lain, dalam perhitungan kasar, dapat dikatakan bahwa 60% eksplorasi pertambangan bahan penghasil energi di dunia dihabiskan hanya untuk orang Amerika. Tidak mengherankan jika seluruh kebijakan politik pemerintah AS juga disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan nasional mereka. Hal itulah yang sebenarnya mendasari legitimasi invasi kekerasan ke sejumlah negara kaya minyak, seperti Irak.
Jargon globalisasi dengan Amerika Serikat sebagai centrum telah menempatkan masyarakat AS sebagai parameter kebudayaan dunia. Fenomena ”McDonalisasi” dan ”Marlboromania” telah menjadi sebuah gerakan budaya baru yang dengannya masyarakat bukan-Amerika mendapat label ”masyarakat modern”. Hal yang paling mencolok dari gejala derivasi labelisasi tersebut tampak dalam shoping libido atau nafsu berbelanja (konsumerisme) yang berlebihan. Dari tuntutan;untuk hidup, ”belanja” bergeser menjadi hobi. Stimulasi itu makin menguat dengan dukungan sarana telekomunikasi supercanggih internet dan mekanisme negosiasi pasar yang hanya tinggal bergantung pada click and order pada keyboard komputer.
Pada wilayah domestik, konsumsi rumah tangga tetap membutuhkan energi yang besar. Dalam batasan tertentu, ada kelompok pencinta lingkungan yang mencoba untuk merancang-bangun pola pemukiman baru yang ramah lingkungan dan hemat energi. Paolo Soleri, misalnya, mengajukan konsep tata kota yang disebut architectural ecologies atau arcologies. Dia membuat sketsa rencana arkologi dan mencoba membangun sebuah prototip kecil di Arizona tanpa membutuhkan suntikan modal. Konsep arkologi merupakan konsep tata kota di bawah satu atap. Seluruh area ”kota” itu berada di bawah ”atap” gelas yang pada siang hari mampu menyerap sinar matahari untuk pertanian dan menjaga agar suhu tetap stabil. Energi matahari juga dapat digunakan untuk menjalankan mesin pabrik dan kelebihannya diubah menjadi energi listrik untuk kebutuhan lain (Cobb, Jr., 1992:37).
Kendati masih dalam taraf uji-coba, konsep itu bukan tidak mungkin akan menjadi sebuah alternatif kebudayaan baru masyarakat AS. Lahirnya konsep semacam itu tentu bukan hasil mimpi semalam, melainkan sebuah kegelisahan mendalam atas masa depan bumi dan umat manusia.
Jepang
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh AS, masyarakat Jepang juga mengalami krisis kebudayaan sebagai konsekuensi perkembangan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan. Jepang merupakan satu-satunya negara Asia yang mampu tampil sebagai pesaing utama negara Barat dalam hal industri otomotif dan teknologi elektronik digital. Negara kuat lainnya yang sedang bangkit adalah Korea Selatan.
Pada pihak lain, Jepang juga adalah sebuah negara yang masyarakatnya masih sangat kuat bersandar pada nilai tradisi dan kebudayaan mereka. Bangsa itu mampu menerapkan suatu strategi kebudayaan yang cerdik dengan cara menggali inspirasi progresivitas dari dalam kebudayaan dan agama tradisional mereka sendiri. Banyak inovasi kreatif di bidang teknologi modern yang lahir dari pemikiran bangsa Jepang bersumber dari penghayatan primordial mereka terhadap agama dan tradisi. Hampir sebagian besar penemuan dan rekayasa teknologi Jepang telah makin memudahkan manusia melakukan pekerjaannya. Namun, hal yang menarik untuk diperhatikan ialah keseimbangan psikologis antara upaya menjaga tradisi dan kebudayaan Jepang dan pesatnya kemajuan teknologi, kini mulai goyah. Hal itu tampak dalam berubahnya gaya hidup sosial karena pergeseran pemahaman masyarakat Jepang tentang waktu dan etos kerja. •
Orang Jepang dikenal dengan kesetiaannya, termasuk pada pekerjaan. Namun, seiring dengan pertumbuhan ekonominya, pandangan seperti itu berubah. Tidak seperti sebelumnya, kaum muda Jepang kini lebih suka bekerja part-time dan menggeluti pekerjaan yang bervariasi. Mereka yang memilih gaya hidup itu disebut furita. Alasan mereka sederhana: hidup ini terlalu singkat dan karenanya hiduplah untuk kesenangan. Setelah bekerja selama beberapa waktu dan berhasil mengumpulkan uang, mereka akan menghabiskannya untuk bertualang dan berkeliling dunia.
Berlawanan dengan furita adalah NEET – Not in Education, Employment, or Training (tidak sedang sekolah, pengangguran, atau tidak mengikuti pelatihan dan di bawah usia 25 tahun). Pada tahun 1997, hanya ada 80 ribu neet di Jepang. Tahun 2000 angkanya meningkat hingga 400 ribu orang. Fenomena furita dan neet tersebut mencemaskan pemerintah Jepang. Hideaki Omura, seorang anggota legislatif dari Partai Demokrat Liberal (LDP), mengatakan 4 juta furita adalah masalah yang sangat serius. Dia merasa cemas menyaksikan kecenderungan remaja Jepang yang hanya mau bekerja jika ingin.
Gambaran mengenai kemajuan teknologi dan pergeseran gaya hidup yang diambil dan contoh dua masyarakat negara maju di atas harus dicermati secara serius. Fenomena dan tren tersebut – dengan dukungan akselerasi informasi dan komunikasi – akan merambah ke seluruh belahan dunia lainnya. Pertanyaannya, apakah kita sudah siap untuk menghadapinya, jika gelombang kebudayaan baru tersebut menerjang bangsa Indonesia? Sementara pada sisi yang lain, kita masih bergumul dengan masalah pemanfaatan energi dan dampak kerusakan lingkungan yang akut. Di Indonesia, jawaban atas pertanyaan sederhana tersebut tentu akan sangat bergantung pada political will pemerintah untuk secara konsisten dan kritis menyikapi masalah teknologi dan dampaknya terhadap masyarakat dan lingkungan alam. Setidaknya, pada bagian berikut ini ada sebuah tawaran konseptual yang – mungkin – dapat menjadi sebuah alternatif.
Ekososiologi: Masyarakat yang Sadar Lingkungan
Belum selesai bangsa Indonesia menarik nafas lega, setelah menguras hampir seluruh energinya untuk program pembangunan nasional yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dengan target ”tinggal landas”, hantaman krisis multidimensi telah mendera dengan pukulan yang bertubi-tubi. Krisis multidimensi telah membuat Indonesia kelimpungan.
Pasca 1998-2004, Indonesia mengalami empat kali suksesi kepemimpinan nasional (Habibie/Abdurahman Wahid/Megawati/Susilo Bambang Yudhoyono). Mereka semua memberi perhatian yang besar dalam program pemulihan ekonomi, antara lain dengan cara memberi jaminan keamanan bagi para investor asing, menggali sumber alam yang dapat digunakan untuk mendongkrak kegairahan ekonomi nasional, stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan sebagainya. Sektor ekonomi memang masih menjadi primadona. Seolah-olah mati-hidup bangsa ini memang selalu bergantung pada tingkat pertumbuhan ekonominya. Asumsi itu harus diuji kembali. Pada kenyataannya, meski sedikit terhibur dengan tayangan iklan kampanye bahwa salah seorang (kandidat) presiden telah terbukti mampu menyelamatkan Indonesia dari zona degradasi ekonomi, namun krisis sosial tetap berlanjut. Hal itu berarti, masih ada wilayah yang – mungkin – luput dari perhatian, atau dianggap tidak signifikan dibandingkan pamor ”ekonomi”. Manusia adalah makhluk individual sekaligus sosial. Hal itu adalah sebuah realitas empirik yang tak terbantahkan. Prof. Anton Bakker pernah mengatakan bahwa:
Hal itu berarti manusia tidak dapat dipahami dan diperlakukan sebagai makhluk yang berdimensi tunggal (one dimensional man – Herbert Marcuse), tetapi sebagai makhluk kompleks yang tak pernah usai bereksistensi (human being). Pembahasan mengenai seluruh kompleksitas manusia tidak akan dilakukan di sini. Apa yang hendak dilakukan di sini hanyalah elaborasi ringkas mengenai tiga dimensi manusiawi yang menurut penulis tidak dapat diabaikan dalam proses membangun manusia, di Indonesia khususnya. Ketiga dimensi tersebut ialah (1) Dimensi spiritual; (2) Dimensi sosial; dan (3) Dimensi natural.
1. Dimensi Spiritual
Dimensi spiritual lebih tertuju kepada relasi manusia dengan Realitas Ultim (Ultimate Concern – Paul Tillich). Realitas Ultim itu adalah sebuah imajinasi dan konstruksi kesadaran manusia tentang adanya KUASA yang melebihi kapasitas volume otak dan rasionalitasnya untuk memahami misteri ilahi. Dia adalah imajinasi karena apa yang disebut ”Tuhan” (dengan berbagai namanya) hanyalah eksis dalam kekuatan imajinasi manusia. DIA dibayangkan ADA dan dipercaya BERKUASA atas nasib manusia, tetapi sulit untuk dibuktikan ke-ada-annya secara empiris. Pada saat yang sama, dia disebut konstruksi karena apa yang dibayangkan itu dipercaya ADA dan KUASA-Nya diakui nyata dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia mengonstruksi mitos dan simbol untuk menunjukkan eksistensi dan kekuasaan sang Tuhan itu. Mitos dan simbol tidak menggambarkan identitas sang Tuhan secara paripurna, tetapi membuat analogi tentang Tuhan itu dalam perspektif kemanusiaannya (antropomorfis). Dimensi spiritual adalah dimensi subjektif yang berfungsi memandu batin manusia mengenal realitas yang lebih luas dari dirinya, masyarakatnya, maupun dunianya. Sebagai salah satu kualitas karakter manusia, dimensi itu selalu mempersoalkan hakikat kebenaran dan tujuan utama hidup manusia. Tak mengherankan pada tataran dimensi spiritual itulah lahir diskursus mengenai etika hidup: sebuah sistem berpikir dan berperilaku yang pergulatan dan pencarian kebenaran menjadi acuan utama. Manusia tanpa dimensi spiritual atau pengalaman batin yang melahirkan tindakan etis, pada hakikatnya telah kehilangan kualitas utamanya sebagai manusia.
2. Dimensi Sosial
Jika dimensi spiritual (iman) bergerak di wilayah subjektivitas manusia maka dimensi sosial merupakan manifestasi dari objektivitas manusia (agama). Artinya, jika ”iman” adalah masalah personal dalam hubungan dengan sang Tuhan maka ”agama” lebih merupakan perwujudan sosial iman tersebut. Iman hanya dapat tampak dalam wajah agama: ritual, simbol, kitab suci dan etika. Oleh karena itu, agama merupakan sebuah fenomena sosial dan entitas sejarah.
Agama bukan bentukan a priori tetapi sebuah konstruksi sosial; yang menjembatani pengalaman batin manusia dengan realitas sosial empirik dalam hidupnya sehari-hari. Oleh karena itu, agama yang dimaksud di sini tidak terbatasi dalam konsepsi lima agama dunia yang dikenal, melainkan lebih sebagai sebuah ekspresi spiritual yang universal.
Upaya membangun manusia memang tidak mudah. Namun, agama dapat menjadi salah satu tool pembentukan kualitas manusia yang lebih baik. Meskipun demikian, bukan berarti agama menjadi sebuah wacana bebas-nilai. Agama tidak dapat menjadi sebuah media bebas-nilai karena eksistensinya sangat bergantung pada interpretasi manusia. Pada titik itulah agama berada di persimpangan. Agama dapat berperan menopang sistem kehidupan manusia dan sekaligus terdistorsi menjadi sekadar jargon demi vested interests segelintir orang. Dengan perkataan lain, agama dapat menjadi sumber berkat sekaligus konflik sosial. Masalah kelangkaan sumber ekonomi mungkin dapat terselesaikan melalui mekanisme pembagian yang jelas dan transparan namun dapatkah Tuhan dibagi-bagi? Jika demikian, bukankah kebenaran tidak lagi tunggal tetapi banyak. Kalau sudah demikian, siapa yang benar dan siapa yang kurang atau tidak benar? Perdebatan itu dengan mudah akan terkumulasi pada bidang hidup manusia lainnya.
3. Dimensi Natural
Merujuk pada pernyataan Anton Bakker tersebut, dengan segera tampak bahwa manusia mengambil peran sebagai simpul yang menyatukan relasi dengan makhluk lain. Dalam konteks itu, lingkungan hidup manusia memiliki andil besar dalam menopang kehidupannya. Kesadaran akan lingkungan hidup manusia yang seimbang, berkualitas dan berkelanjutan mulai menguat ketika modernisasi dan industrialisasi nyatanya menghancurkan ekosistem bumi. Eksplorasi alam secara massif juga merupakan konsekuensi dari penafsiran agama (Kristen) bahwa manusia diberikan hak oleh Tuhan untuk menguasai dan menaklukkan alam (Kitab Kejadian pasal 1 tentang kisah Penciptaan). Teks itu kemudian secara harfiah diinterpretasi semata-mata sebagai anjuran untuk menguras habis-habisan seluruh perut bumi selagi tersedia karena itulah berkat yang Tuhan sediakan kepada umat manusia. Menurut saya, hal itu adalah sebuah kerancuan teologis yang parah dan harus terus dikritisi.
Dalam perspektif yang lebih holistik, alam harus dilihat sebagai bagian utama dalam denyut nadi bumi. Oleh karena itu, alam tidak dapat dipandang peyoratif atau ditempatkan secara subordinatif di bawah hegemoni manusia. Alam atau lingkungan hidup, adalah mitra sejajar masyarakat manusia untuk melanjutkan hidupnya di dunia. Sebenarnya, istilah ”ekonomi” dan ”ekologi” sangat bertaut erat. Keduanya berkaitan dengan oikos atau ”rumahtangga”; yang satu dengan nomos atau ”aturan rumahtangga”; yang lain logos atau ”struktur rumahtangga”. Sayangnya, meski secara etimologis keduanya memiliki makna yang berhimpitan, berbagai disiplin akademik malah menjauhkannya satu dengan yang lain. Oleh karena itu, kini kedua konsep itu saling teralienasi dan kehilangan tautan makna esensialnya.
Penutup
Ketiga dimensi manusiawi tersebut tidak dapat dipahami secara kronologis, melainkan siklis dan interpenetratif. Pemahaman terhadap dimensi yang satu akan diperkuat oleh pemahaman dimensi yang lain. Sebaliknya, distorsi pada yang satu akan berdampak pada yang lain. Meski tidak menggambarkan kompleksitas manusia secara penuh, ketiga dimensi dapat dilihat sebagai entry point upaya pembangunan manusia dalam era teknologi sekarang ini. Dibutuhkan sebuah etika pembangunan yang kontekstual. Akan tetapi, etika semacam itu mesti disandarkan pada pemahaman dinamika tantangan zaman dan bukan hanya sekadar pilihan hitam-putih, ini boleh/itu tidak boleh.
Setidaknya, ketiga dimensi itu membuka perspektif bersama bahwa sebelum tiba pada cita-cita global ethics (Hans Kung), mungkin perlu dirancang-bangun sebuah model ekososiologi, dan lingkungan hidup menjadi sebuah masalah sosial bersama dan tidak lagi terkapling pada wilayah kajian terbatas (ekonomi, studi pembangunan, teknik industri, dan sebagainya). Dengan perkataan lain, ekososiologi ingin menempatkan masalah ekologi sebagai sebuah masalah kebudayaan dari masyarakat yang merasakan dampaknya. Sebagai yang demikian, pendekatan yang dibutuhkan adalah pendekatan yang holistik, bukan parsial.
Bakker, Anton. 1995. Kosmologi dan Ekologi: Filsafat tentang Kosmos sebagai Rumahtangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Cobb, Jr. and John B. 1992. Sustainability: Economics, Ecology, and Justice. New York: Orbis.
Giddens, Anthony. 2000. The Third Way. Jakarta: Gramedia.
Goldthorpe, J.E. 1992. Sosiologi Dunia Ketiga: Kesenjangan dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Kung, Hans. 1991. Global Responsibility: In Search of a New World Ethic. New York: Crossroad.
Lilburne, Geoffrey R. 1989. A Sense of Place: A Christian Theology of the Land. Nashville: Abingdon.
Marcuse, Herbert. 1970. One Dimensional Man. London: Sphere.
Permata, Alviani et al. (tim penyunting). 2001. ”Menuju Pendidikan yang Berorientasi Teknologi Berwawasan Kemanusiaan.” Bunga Rampai Peringatan Dies Natalis ke-39 Universitas Kristen Duta Wacana. Yogyakarta: Duta Wacana press.
* Tulisan ini dimuat dalam Jurnal "Character Building" Universitas Bina Nusantara.