Kealotan dan keuletan membedah sang panggawa menampilkan sebuah spirit tempur yang oke juga. Tetapi sayang ruang sempit ini tidak ingin saya pakai untuk kata-kata manis puja dan puji basi. De facto justru setelah mengobok-oboknya demam neolib semakin ganas menyerang sekujur tubuh kita (sebagai organisasi). Demam itu makin terasa membuat kita menggigil. Kenapa? Karena dalam dua hari menjelang Konas berakhir kita mesti berbesar hati mengakui bahwa tubuh GMKI ternyata kekurangan sel-sel darah putih yang membentuk antibody GMKI itu sendiri. Wah, apaan tuh? Ya ialah… kata seorang senior, sistem dan pola kaderisasi GMKI ternyata sudah out of date, kadaluwarsa. Atau kalau mau pinjam istilah adik-adik ABG yang manis-manis kecut itu: sistem pengkaderan GMKI udah kagak gaul!
Ini memang soal yang serius, karena justru kelemahan kita sekarang terletak pada sendi-sendi utama organisasi, yaitu “kaderisasi”. Kita memang tidak kekurangan kader. Bahkan mungkin stock kader kita melimpah-ruah. Yang dipersoalkan justru ialah kualifikasi kader-kader GMKI ternyata dicurigai tidak memenuhi tuntutan kebutuhan perubahan zaman. Ada kecurigaan-kecurigaan yang terlontar dalam diskusi-diskusi komisi bahwa GMKI kini semata-mata hanya berfungsi menjadi mesin cetak politisi-politisi Kristen yang sama sekali tidak visioner. Aksentuasi pergerakan GMKI lebih condong pada penguatan karakter yang sangat elitis.
Gelombang tsunami neoliberalisme yang dibahas dalam Konas 2006 ini telah menelanjangi tubuh GMKI. Kita tersadar bahwa ternyata “tubuh” kita ceking dan penuh borok. Borok terbesar ialah itu tadi, “pola kaderisasi yang tidak kontekstual dan visioner”. Di kalangan teman-teman Cabang Ambon ada istilah “jangan-jangan kader hanya jadi kadera”. “kadera” adalah suatu terminologi hybrid dalam kosakata dialek Ambon yang berasal dari bahasa Portugis, artinya “kursi, bangku”. Jadi rupanya sudah lama ada kegelisahan internal bahwa kader-kader GMKI ternyata sudah mengalami disorientasi visi dan misi gerakan, yang pada gilirannya lebih mementingkan “kursi” (kedudukan, jabatan) ketimbang critical apprehension. Karena itu, jejaring kader kita lantas hanya menumpuk pada political storage yang kemudian bermuara pada aksi rebutan “kursi”. Begitu serangan bertubi-tubi neoliberalisme yang melumpuhkan kekuatan ekonomi, kita kedodoran. Bahkan kita jadi “keder” (gentar). Maka jadilah aksioma “organisasi kader yang mencetak kadera yang keder”.
Ini persoalan serius. Karena justru pewacanaan dan praksis kita menghadapi neoliberalisme sedang kita mulai, di cabang masing-masing; dengan karakter ruang dan waktu yang berbeda-beda dan karenanya juga membutuhkan suku cadang kader yang berkualitas “asli” bukan “palsu” (seperti iklan sepeda motor). Kualitas kader yang “palsu” bukan tidak mungkin akan merusak seluruh jaringan visi dan sistem organisasi GMKI itu sendiri. Konas 2006 menyentak kita bahwa untuk menghadapi gempuran neoliberalisme, kita membutuhkan sinergitas logis dalam merumuskan strategi yang lebih komprehensif dan mumpuni. Tentu saja bukan hanya strategi politik untuk berhadapan dengan kekuatan state yang telah terkooptasi gurita ekonomi global; tapi lebih jauh kita membutuhkan sebuah strategi kebudayaan, yang melihat bahwa penguatan organisasi GMKI justru terjadi melalui penguatan karakter hidup bermasyarakat yang jamak seperti Indonesia.
Keberanian kita untuk menanggalkan seluruh classic-mindset dalam ber-GMKI akan menjadi suatu faktor determinan bahwa kita tidak “keder” menghadapi gelombang perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Namun serta-merta kita juga sudah siap dengan seluruh bangunan teori dan aksi empiris yang berani keluar dari pola-pola rasionalitas yang sudah tidak laku. Dalam kesadaran itu, maka kita bisa mendeklarasikan sebuah new-renaissance dalam seluruh rancang-bangun visi dan misi GMKI di abad ke-21 ini. Artinya, jika memang Konas 2006 ini hendak dimaknai sebagai sebuah renaisans baru yang merombak seluruh logika pembangunan masyarakat (nasional dan internasional) maka pilihan untuk mendekonstruksi lambaran (dasar) teologis kita adalah sesuatu yang non-negotiable. Taruhannya cuma satu: harkat dan martabat kemanusiaan rakyat Indonesia yang menjadi subjek dalam seluruh geliat ber-GMKI.
Jika orientasi terhadap kemanusiaan sudah tidak lagi menjadi tarikan nafas ber-GMKI, kita juga harus siap bahwa GMKI perlahan tapi pasti hanya akan menjadi “ornamen” yang menghiasi wajah gerakan mahasiswa Indonesia tapi sama sekali awamakna. Kalau memang ornamen itu sudah tidak cocok dengan ruang interior rumah Indonesia (yang makin minimalis sesuai tuntutan neoliberalisme), bukan tak mungkin GMKI akan makin ditinggalkan karena tidak membawa keuntungan apapun dalam ber-Indonesia. Harkat dan martabat kemanusiaan adalah nafas kita. Karena itulah yang menjadi spirit syaloom yang selalu menjadi pekik kebanggaan kita. Syaloom adalah ruang hidup yang berterima dan nyaman bagi semua umat manusia; seluruh relasi kemanusiaan terbangun dan tertata dalam kesetaraan intersubjektivitas. Syaloom adalah sebuah perjuangan yang mesti terus dilakukan dalam kondisi apapun.
Kita percaya bahwa jika kita kehilangan orientasi teologis syaloom itu maka kita akan terperangkap secara sistematis dalam situasi kacau jahiliyah. Neoliberalisme, disengaja atau tidak, telah menggiring kita menuju pada dominasi tunggal yang terselubung dalam topeng “globalisasi”. Jika ada dominasi tunggal suatu kekuasaan, maka itu berarti ada ketidakberesan dalam relasi-relasi kemanusiaan kita. Itu berarti pula kita sedang menjelang suatu era jahiliyah modern. Saya kira kita sudah terlalu sering mengatakan “kita butuh paradigma baru”, namun pascaKonas 2006 kita makin sadar akan tantangan neoliberalisme dan karena itu saya kira kita juga membutuhkan neo-GMKI. Seperti apa itu? Lagi-lagi, tak tahulah… “Kan itu yang harus kita pikirkan usai Konas 2006 di Ambon manisee.
No comments:
Post a Comment