Pertama, saya berterimakasih kepada Geredja Indjili Maluku (GIM) untuk kesempatan membagi pengalaman dan refleksi tentang pergumulan Gereja Protestan Maluku (GPM) dalam proses berteologi di tengah konteks sosial dan kebudayaan di Maluku. Sebagai sebuah institusi gerejawi, GPM menyadari realitas bahwa dirinya hidup di dalam konteks sosial-politik dan hukum nasional negara Indonesia, dan secara sadar telah membangun perspektif dan sikap teologisnya tersendiri seturut dengan perkembangan zaman. Kelemahan atau kekuatan perspektif dan sikap teologis tersebut akan teruji dalam perjalanan waktu.
Kedua, apa yang menjadi pokok pikiran dan refleksi dalam ceramah ini adalah refleksi pribadi dan bukan representasi formal dari institusi gerejawi. Refleksi pribadi ini terbentuk melalui keterlibatan aktif dalam pelayanan jemaat dan kesempatan bekerja di Lembaga Pembinaan Jemaat (LPJ) GPM selama dua tahun. Pengalaman itu telah memberikan kesempatan yang luas untuk mengenal lebih dalam pergumulan jemaat-jemaat di Maluku.[1]
Ketiga, saya berasumsi bahwa proses berteologi selalu harus berada dalam dialektika yang kreatif antara “teks” (Alkitab) dan “konteks”. Sebagai pendeta/teolog, kita tidak boleh merasa puas dengan jawaban-jawaban klasik dalam menghadapi tantangan-tantangan baru di zaman modern ini. Teologi adalah refleksi spiritualitas manusia dalam usaha mencari dan memahami tindakan Allah dalam arus sejarah dan dinamika kebudayaan manusia. Spiritualitas itu tumbuh dan berkembang dalam proses interpretasi teks Alkitab dan pemetaan realitas sosial (social mapping). Itu sebabnya kita berbicara tentang tindakan berteologi (doing theology) dalam arti yang aktif, bukan pasif. Dengan demikian, teologi harus selalu berubah sesuai dengan panggilan zaman. Teologi yang tidak [mau] berubah dan dipaksakan relevan di segala zaman, bukan lagi teologi tetapi “ideologi” yang berbahaya. Kalau teologi sudah menjadi ideologi maka kita tidak mampu lagi untuk mengerti “teks” secara baru dalam “konteks” yang berubah. Gereja-Teologi-Masyarakat adalah hubungan segitiga yang tidak bisa dipisahkan. Jika masyarakat berubah maka gereja dan teologi juga harus berubah, karena gereja tidak terbang di atas bumi, melainkan berdiri menginjak bumi.
Keempat, konteks hidup manusia sangat kompleks. Oleh karena itu, tindakan berteologi akan selalu muncul dalam bentuk dan ekspresi yang bermacam-macam dan oleh banyak orang. Di dalam kerangka berpikir seperti itu, dalam tulisan ini saya tidak akan memberikan jawaban dan kesimpulan. Malah mungkin akan lebih banyak mengajukan persoalan-persoalan. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, kita melihat dan mengalami bahwa kita lebih banyak menghadapi pertanyaan daripada jawaban. Itu berarti, tindakan berteologi adalah selalu tindakan progresif yang tidak pernah selesai, karena itu harus selalu berpikir dan menjawab berbagai pertanyaan dalam kehidupan ini.
Globalisasi dan Pembangunan: Tantangan terhadap Kebudayaan Lokal
Dalam perjalanan sejarahnya hingga kini, kebudayaan dan struktur sosial masyarakat di Maluku telah mengalami banyak perubahan, dan terus akan berubah. Di antara begitu banyak spektrum historis yang tampak, di sini saya hanya fokus pada salah satu fragmen saja, yaitu sejarah Indonesia kontemporer pada masa Orde Baru dan implikasinya terhadap masyarakat Maluku. Pada masa pasca-Suharto memang terjadi perubahan struktur sosial-politik di Indonesia, tetapi struktur mental dan kerangka berpikir sebagian besar masyarakat dan pemimpin masih terpenjara dalam tembok hegemoni: untuk mengendalikan kekuasaan politik dan ekonomi, semua cara bisa dipakai termasuk memanipulasi agama.
Pada masa Orde Baru, Suharto menerapkan sentralisasi sistem politik dan pendekatan monokultural untuk mempersatukan [atau mempersatekan?] perbedaan-perbedaan ideologi, tendensi sektarianistik keagamaan dan pluralitas kebudayaan di Indonesia. Implementasi konsep “pembangunan nasional” sebagai pilar membangun kekuatan ekonomi ternyata telah menjadi mekanisme uniformitas di segala bidang kehidupan rakyat.[2] Hal itu dilakukan untuk mengatasi protes-protes dan perbedaan pendapat di kalangan masyarakat luas yang dapat mengganggu jalannya program pembangunan ekonomi. Untuk maksud itu, kekuatan militer Indonesia sangat memegang peranan penting.[3]
Dalam proses pembangunan itu terjadi transformasi luar biasa dalam struktur kebudayaan di Maluku (dan daerah-daerah lain). Implikasi sosial berbagai peraturan negara di bidang-bidang hukum, politik, pendidikan dan ekonomi, beroperasinya perusahaan-perusahaan besar multinasional di beberapa pulau, pembuatan jalan-jalan antarwilayah, transportasi laut antarprovinsi dan antarpulau yang disediakan, makin terbukanya akses informasi-komunikasi dan pendidikan, telah membawa perubahan yang besar dalam alam berpikir orang Maluku.[4] Penggunaan bahasa Indonesia secara luas di sekolah-sekolah turut merubah pandangan dunia (worldview) anak-anak Maluku. Dalam konteks itu, tradisi dan adat sebagai ekspresi kebudayaan masyarakat mengalami pergeseran paradigma: dari tradisionalisme ke kapitalisme, dari komunal ke individual, dari partikular ke universal. Ketegangan sering timbul di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat karena terjadi perbedaan interpretasi terhadap makna simbol-simbol kebudayaan di Maluku. Rasa keterikatan dengan “tanah-air” (sense of place) makin menipis karena tuntutan kebutuhan ekonomi atau dorongan hedonistik. Tanah pusaka bisa dijual kapan saja kepada perusahaan-perusahaan nasional atau multinasional yang masuk, dan air (laut) sudah dikuras habis isinya, dengan merusak sebagian besar ekosistemnya, oleh kapal-kapal asing milik perusahaan multinasional.[5]
Jadi, melalui proses pembangunan, pada satu sisi, rakyat Maluku diseret ke dalam pusaran arus ekonomi dan budaya global yang membuka horison berpikir baru tentang dunia; tetapi, pada sisi lain, globalisasi ternyata menciptakan dominasi satu kebudayaan superior terhadap berbagai kebudayaan partikular yang lain. Diversitas kebudayaan direduksi menjadi homogenisasi kebudayaan yang mempercepat hancurnya kesadaran budaya orang Maluku. Jika kesadaran budaya sendiri sudah hancur, maka rakyat Maluku sedang mengalami proses marjinalisasi sosial. Esensi kemanusiaannya tidak lagi dihargai karena ekspresi kebudayaannya telah disingkirkan dalam dinamika masyarakat secara umum. Krisis identitas ini makin bertambah karena institusi dan aparatus gerejawi di Maluku [sebagian besar] bersikap negatif dan a priori terhadap ekspresi kebudayaan Maluku. Banyak sekali dijumpai kenyataan bahwa gereja [pendeta?] turut bertanggung jawab atas punahnya residu simbol-simbol kebudayaan di Maluku karena tidak melihat kebudayaan sebagai media berteologi dan tidak mampu bersikap kritis berhadapan dengan kebijakan politik pemerintah Indonesia. Siapa yang menjadi korban?
Gereja dan Adat
1. Perspektif Sosiohistoris
Dalam sejarah kebudayaan Maluku telah terjadi berbagai proses sosial: migrasi, asimilasi, perang, integrasi, perdagangan, dan lain-lain. Berbagai proses sosial ini telah membentuk karakter kebudayaan masyarakat yang heterogen. Memang pada dasarnya tidak ada satu kebudayaan pun yang “murni” dan “steril”. Kebudayaan selalu merupakan proses sinkretisasi dan interpenetrasi dari dua atau lebih elemen-elemen budaya. Dalam konteks Maluku, pengertian “adat” mencakup keseluruhan arti dari hukum adat, kebiasaan (mores) dan kebiasaan umum (folkway), meski dalam praktik lebih mendekati pengertian “kebiasaan”. Adat juga dipercaya sebagai tradisi warisan leluhur yang menegakkan persekutuan negri (kampung) dan menjadi pola hidup generasi selanjutnya. Jadi pengertian “adat” harus ditempatkan dalam konteks kebudayaan yang lebih besar, bukan parsial.
Dalam sejarah Maluku, “kolonialisasi” dan “neo-kolonialisasi” di kepulauan Maluku (khususnya di Maluku Tengah yang menjadi sentra perdagangan dan politik) menimbulkan banyak konflik kultural dalam kehidupan masyarakat. Demikian pula melalui catatan-catatan sejarah telah diketahui bahwa masuknya lembaga-lembaga misi ke Maluku mengintrojeksi pula berbagai pandangan teologis bentukan budaya Barat. Terutama menyangkut esensi kebudayaan lokal dan posisi teologi Kristen saat itu terhadap adat. Pandangan teologis misi terhadap adat waktu itu bersifat bipolar. Satu kutub, mereka berusaha mengerti adat masyarakat, tapi di kutub yang lain terperangkap pada pra-anggapan yang pejoratif. Bagi mereka, kekristenan dari Barat yang dibawa merupakan sebentuk kebudayaan modern yang lebih “baik”, “benar”, “tinggi” dan “beradab” (civilized) daripada kebudayaan lokal di Maluku. Arogansi dan sikap triumfalistik ini ditunjukkan dengan memandang rendah setiap ekspresi kebudayaan lokal, bahkan menyingkirkan sistem kepercayaan (belief system) masyarakat lokal karena dianggap sebagai manifestasi kekuasaan jahat. Ini merupakan salah satu implikasi dari pandangan teologis positivistik yang sangat kuat dipengaruhi oleh spirit Pencerahan yang mendekonstruksi pandangan dunia masyarakat Eropa saat itu.
Lembaga-lembaga misi ini selanjutnya membidani lahirnya institusi gereja yang secara substantif mewarisi paradigma berteologi dari induknya. Salah satu problem yang menimbulkan polemik adalah sikap dan pandangan teologi Kristen mengenai kebudayaan lokal atau adat. Sejak GPM berdiri secara definitif di Maluku tahun 1935 hingga kini, warisan teologi kolonial ini tidak banyak mengalami perubahan fundamental. Adat masih saja dilihat sebagai subordinasi gereja yang penuh dengan kuasa-kuasa gelap yang menghalangi pemahaman injili jemaat. Paradigma berteologi jemaat masih didominasi secara orientatif oleh teologi pietis era kolonial. Sebagai produk historis, pandangan teologi seperti itu dalam batasan tertentu tetap memiliki nilai-nilai positif. Soalnya sekarang ialah dia tidak lagi valid untuk dikembangkan dalam konteks ruang dan waktu yang telah banyak berubah. Pada titik ini timbul persoalan ganda. Pada satu sisi, jemaat mengalami krisis identitas menyangkut hakikat dan pemahaman diri mereka sebagai orang Maluku, dengan segenap atribut kebudayaan yang melekat pada diri mereka. Di sisi lain, mereka terjerat dalam kebingungan epistemologis untuk mengartikulasikan iman kristiani mereka berhadapan dengan kenyataan sosial budaya yang menjadi bagian inheren dari realitas hidup sehari-hari mereka. Bagaimana menjadi orang Kristen yang Maluku? Apakah ada nilai-nilai kristiani dalam adat Maluku? Kalau ada, bagaimana menjelaskannya? Apakah mungkin menemukan “universalitas” (meski relatif) dalam “partikularitas”? apakah berbicara tentang adat setelah “masuk Kristen” tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan? Sedikit dari begitu banyak pertanyaan yang muncul dari kegelisahan ontologis ini memberikan gambaran bahwa pergulatan teologis untuk memaknai identitas kebudayaan di Maluku masih berlangsung dengan tensi tinggi.
2. Perspektif Teologis
Hampir seluruh perdebatan teologis yang muncul sekitar relasi “injil” dan “adat” dalam sejarah kekristenan di Maluku disebabkan oleh keterbatasan wawasan teologis dan antropologis para penginjil Barat dan para penginjil lokal dalam membangun sebuah perspektif kekristenan yang terbuka. Hal ini juga makin diperkuat oleh eksklusivitas primordial para pemimpin adat yang struktur penalarannya terpola dalam konstruksi identitas sebagai “kelompok elite” yang diciptakan oleh penguasa kolonial dalam rangka menjaga seluruh kepentingan politik dan ekonomi mereka di wilayah-wilayah yang dikuasai.
Ini wajar, karena para penginjil saat itu sangat dipengaruhi oleh teologi pietis era kolonial (dan rupanya masih “suka” dipertahankan sampai sekarang oleh sebagian besar generasi pendeta kontemporer) yang melihat budaya/adat sebagai buah karya manusia berdosa dan karena itu bersifat kedagingan dan “kafir”. Orang-orang “kafir” ini harus ditobatkan dan diperkenalkan kepada Injil Kristus. Sayangnya, inti Injil Kristus disamaratakan dengan “kemasan” budaya Barat yang dibawa masuk, sehingga pesan Injil itu mengalami distorsi makna. Kekristenan yang kita kenal selama ini di Maluku sulit untuk melepaskan “pakaian” kebarat-baratan. Akibatnya, semua yang berhubungan dengan ekspresi budaya lokal selalu diasosiasikan dengan “dunia gelap”. Padahal dalam Alkitab kita menemukan begitu banyak cerita dan refleksi sejarah yang mengindikasikan bagaimana perjumpaan dengan Allah berlangsung dalam tatanan kebudayaan lokal masyarakat waktu itu.
Sikap teologis semacam itu mengakibatkan budaya Maluku tidak pernah menjadi landasan teologis bagi kita untuk memahami kasih Allah yang telah memberi kita kesempatan untuk menyembah Dia sebagai orang Maluku yang berbudaya Maluku. Artinya, kita menyembah Allah dalam keutuhan eksistensi kemanusiaan kita sendiri. Dalam kebudayaan Maluku, banyak aspek yang sebenarnya dapat dipakai sebagai media untuk mengangkat nilai-nilai lokal ke dalam diskursus teologi kontekstual. Sikap teologis inilah yang membuat kita kehilangan pegangan untuk menampilkan identitas sebagai orang Maluku secara utuh. Yang kita tampilkan malah suatu model beragama yang diadopsi dari budaya lain yang, meskipun dirasa cocok, tetapi sudah tidak lagi relevan. Akhirnya, kita menjadi orang-orang yang kebingungan di tengah benturan berbagai kebudayaan global saat ini.
Di dalam proses berbudaya, orang selalu melakukan seleksi nilai-nilai yang kemudian dilembagakan dalam bentuk struktur sosial sebagai media implementasi nilai-nilai itu.[6] Penilaian positif dan negatif dalam kebudayaan selalu tergantung pada sejauh mana kebudayaan itu berfungsi untuk mempertahankan eksistensi masyarakat yang menganutnya. Dalam proses perubahan yang normal, nilai-nilai yang dianggap negatif dengan sendirinya akan ditinggalkan atau ditransformasikan oleh masyarakat itu sendiri. Sedangkan nilai-nilai positif sedapat mungkin akan dipertahankan.
Tindakan seleksi kebudayaan ini jika dilakukan secara serius dapat menjadi entry point bagi gereja untuk menggali makna adat di balik simbol-simbol adat yang masih ada. Di sini bukan hanya dibutuhkan kemampuan untuk “menyanyi dan menari” melainkan untuk “menginterpretasi”, “memikirkan”, “merefleksikan” dan “menuliskannya”. Dengan demikian, kebudayaan Maluku tidak lagi menjadi fosil yang hanya bisa dinikmati sebagai nostalgia, melainkan suatu kebudayaan progresif yang mendorong setiap orang Maluku untuk maju dalam kompetisi global tanpa kehilangan orientasi budaya dan identitasnya.
Budaya Maluku sebagai Sumber dan Media Berteologi
Bisakah kita berteologi dengan menggunakan unsur-unsur kebudayaan Maluku? Pasti bisa. Tetapi dari mana sumberi inspirasinya? Banyak sekali, tergantung kita mau mendekatinya dengan perspektif apa (sosiologi, historis, politik, hukum dan lain-lain). Menurut saya, salah satu sumber inspirasi berteologi dalam adat bisa kita temukan melalui cerita-cerita rakyat atau mitos-mitos kosmogoni (tentang terjadinya suatu komunitas negri). Di dalam cerita-cerita ini terungkap begitu banyak makna menyangkut identitas dan esensi kemanusiaan yang sangat dalam. Kadang-kadang cerita-cerita ini dirahasiakan karena dianggap sebagai cerita sakral. Itu wajar karena memang cuma itu yang masih tersisa dalam memori budaya kita untuk mempertahankan identitas adat dan tetap eksis dalam perubahan zaman.
Dari pengalaman melakukan penelitian di Naku, saya menemukan bahwa konstruksi realitas sosial merupakan penghayatan atas makna mitos leluhur.[7] Relasi sosial sebagai jemaat dan komunitas negri tidak bisa dilepaskan kaitan dan ikatannya dari mitologi tersebut. Melalui cerita-cerita itu, komunitas negri memiliki konsensus simbolik tentang identitas mereka (siapa mereka, darimana asalnya, di mana mereka tinggal).[8]
Di dalam cerita atau mitos yang dituturkan secara hati-hati itu, tete-nene moyang dilihat sebagai supranatural being yang bukan Tuhan.[9] Tetapi mereka juga bukan lagi “orang”, melainkan salah satu substansi kosmos yang otonom dan berkorelasi dengan substansi-substansi kosmos lainnya yang mendiami kosmos.[10] Tete-nene moyang merupakan suatu realitas historis-eksistensial yang menyebabkan generasi sekarang menjadi “ada” (being). Mengabaikan eksistensi tete-nene moyang sama dengan mengabaikan sejarah generasi yang hidup sekarang. Jika demikian maka itu berarti manusia tidak utuh lagi karena sudah kehilangan kesadaran historisnya. Hubungan anak-cucu negri dengan tete-nene moyang didasarkan pada ikatan genealogis sekaligus kultural. Hal itu ditunjukkan dalam sikap penghormatan khusus terhadap eksistensi tete-nene moyang yang menjaga negri dan seluruh anak-cucu. Juga dalam bentuk rasa cinta terhadap negri dan tradisi.[11]
Di dalam narasi Injil Sinoptik, dalam seluruh praksis hidup dan pelayanannya Yesus memberi pemaknaan baru terhadap tradisi. Injil tidak menyingkirkan tradisi tetapi memenuhinya sehingga, melalui tradisi, Allah bisa dikenal dan disapa. Sebagai seorang Yahudi yang dibesarkan dalam tradisi keyahudian, Yesus tetap kritis terhadap tradisi itu. Apalagi ketika tradisi tidak lagi menjadi sarana pembebasan manusia/masyarakat dari struktur ketidakadilan yang menindas rakyat. Tradisi adalah “sisi sejarah” masa lampau umat manusia yang tidak dapat diabaikan, karena di dalam tradisi kita menjadi makhluk sejarah (historical being). Sedangkan Injil adalah “sisi sejarah” masa depan yang memberitakan kabar sukacita tentang harapan baru bagi manusia. Tradisi dipenuhi oleh spirit baru, yaitu Injil, yang mengarahkan orientasi manusia agar melihat hidupnya dalam keutuhan waktu: masa lampau, masa kini dan masa depan. Dalam ketiga dimensi (bukan kronologis!) itulah Allah bertindak.
Dalam Perjanjian Lama, Yahweh selalu “mengingatkan” (shema=dengarlah) Israel agar tidak lupa akan keberadaan mereka dulu sebagai budak di Mesir (Ulangan 6:4, 21). Kesadaran historis (masa lampau) itu penting sebagai bagian dari realitas kemanusiaan. Namun kesadaran kontekstual akan realitas masa kini juga penting. Harapan kelompok elite Yehuda yang dibuang di Babil, bahwa dalam waktu yang tidak lama Yahweh akan membebaskan dan membawa mereka kembali ke tanah air, ternyata tidak terjadi. Malah Yeremia menasihati agar umat berpikir dan bertindak kontekstual (Yeremia 29:5-7). Yehuda harus menghadapi dan menjalani realitas kekinian mereka. Situasi yang sedang mereka hadapi juga menjadi batu pijak untuk memahami rencana Allah sebagai suatu perspektif masa depan (Yeremia 29:11). Inilah kesadaran futuristik bahwa Allah terlibat dan bertindak dalam sejarah manusia dengan tiga dimensi waktuwi.
Penutup
GPM menghadapi tantangan kebudayaan yang berat. Pada satu sisi, dia dibangun dan tumbuh dari penghayatan spiritual umat terhadap karya Kristus yang dikenalnya melalui sejarah pekabaran Injil yang panjang. Namun, pada sisi lain, kebudayaan primordial tempat dia tumbuh dan membangun imannya juga ditantang oleh desakan kebudayaan baru sebagai konsekuensi perubahan zaman. Kedua tantangan ini harus dihadapi pada saat yang bersamaan. Sikap eksklusif vis a vis kebudayaan primordial telah membentuk karakter hidup menggereja yang dikotomik. Adat selalu dilihat sebagai wilayah di luar tanggung jawab gereja dan oleh karena itu setiap kemungkinan intervensi adat ke dalam wilayahnya dapat dieliminasi. Kenyataannya, gereja tidak bisa menyangkal bahwa seluruh aspek eksistensinya dihidupi oleh karakter kebudayaan (adat) masyarakat. Usaha untuk membersihkan diri dari pengaruh adat sampai saat ini hanya dilandasi oleh sikap arogan. Segala kemungkinan untuk melihat kehendak Allah melalui ekspresi adat tidak terjadi karena ketertutupan diri untuk mengakui bahwa Allah tidak hanya hadir dalam satu aspek kebudayaan saja (yaitu kebudayaan yang diperkenalkan oleh kekristenan Barat), melainkan juga dalam seluruh dimensi kebudayaan, termasuk kebudayaan Maluku. Pengakuan itu penting karena dengannya kekristenan di Maluku akan mengalami pembebasan cara berpikir dan bersikap di tengah konteks yang konkret. Setiap aspek kebudayaan (adat) bisa dipakai sebagai landasan membangun perspektif berteologi yang kontekstual. Kontekstualisasi adat yang mewujud dalam pandangan hidup masyarakat juga mengacu pada nilai-nilai universal yang ditemukan dalam setiap kebudayaan.
Setiap narasi dalam Alkitab selalu memberikan kesaksian bahwa Allah bertindak dan berkarya dalam sejarah. Dengan pengakuan bahwa Allah bertindak dalam sejarah manusia, itu berarti juga mengakui bahwa Allah bergerak di dalam kebudayaan.[12] Allah meresap ke dalam setiap bentuk ekspresi kultural manusia dengan bebas dan ke segala arah. Dalam arti ini, kebudayaan memperoleh kepenuhan maknanya sebagai suatu arena dialektika pergulatan teologis yang terus-menerus menantang manusia untuk mengenal manifestasi Allah dalam kosmos dan citra-citra rakyat.[13] Dalam konsep ini, kita bisa mengenal manusia sebagai citra Allah (imago Dei) yang berada dalam relasi kreatif dengan ciptaan lain. Ciptaan yang bukan manusia tidak berada sebagai subordinasi dari manusia, karena Allah juga bisa menyatakan diri-Nya dalam realitas natural. Allah tidak hanya menyatakan diri melalui kata-kata manusia, tetapi juga melalui simbol-simbol yang diam dan hening.
Implikasi etisnya ialah kemampuan gereja diasah untuk melihat dan mendengar suara hati rakyat dan jemaat, yang dalam konteks historis selalu menjadi pihak yang dipinggirkan. Kebudayaan manusia terus berubah, tetapi ada nilai-nilai yang tidak bisa berubah begitu saja. Dengan nilai-nilai itu manusia mempertahankan eksistensi sosial dan individualnya. Gereja yang jujur mengakui intervensi kebudayaan lokal dalam dirinya adalah gereja yang sungguh-sungguh mau membuka mata hati dan telinganya serta terlibat dalam pergumulan manusia. Karena ekspresi kemanusiaan hanya bisa ditemukan dalam ekspresi kebudayaan partikular.
Ekklesia via torum mendapatkan kepenuhan maknanya bukan lagi sekadar gereja yang berziarah dalam sejarah, tetapi gereja yang terus berada dalam proses penghancuran diri (kenosis) dari kecenderungan arogan dan triumfalistik terhadap realitas sosial dan berbagai fenomena di sekitarnya. Sebagai yang demikian, gereja menjadi perwujudan kasih Allah yang bergerak dalam segala arah dan mendorong untuk berpikir dan bertindak tanpa takut resiko kehilangan harga dirinya. Bahkan mampu membangun korelasi dengan segenap makhluk melampaui batas-batas kulturalnya sendiri.***
* Makalah yang disampaikan pada Konvent Para Pendeta Geredja Indjili Maluku pada 5-6 November 2003 di Hotel “de Wormshoef” Dorpstraat 192 6741 AS Lunteren (Belanda).
[1] Dalam beberapa program saya turut terlibat dalam kegiatan pembinaan jemaat dan majelis jemaat di Falabisahaya (Maluku Utara), di Pulau Seram, Pulau Saparua dan Pulau Ambon (Maluku Tengah), di Pulau Warbal, Tual (Kei Kecil), Jemaat Marantutul, Saumlaki (Tanimbar Selatan).
[2] Penyeragaman budaya ini berdampak pada tergusurnya segi-segi budaya lokal yang bila dicermati mengandung begitu banyak nilai filosofis yang bermakna bagi keberlanjutan hidup masyarakatnya. Budaya yang dimaksud di sini memiliki cakupan arti yang luas, yaitu: kebudayaan merupakan suatu pola berbagi (shared) cara hidup yang meliputi teknologi, nilai-nilai, kepercayaan dan pelestarian norma-norma dalam suatu masyarakat dari generasi ke generasi. Di dalam pengertian kebudayaan seperti itu termasuk pula pengertian tentang “adat”.
[3] Konsep yang dipakai waktu itu adalah “Dwifungsi ABRI”: fungsi militer dan fungsi sosial-politik.
[4] Lih. J. Ajawaila, Dinamika Kebudayaan Ambon: Sebuah Proses Perubahan. Makalah yang disampaikan dalam Konferensi Adat di Utrecht, Belanda, 18 Oktober 2003.
[5] Dalam salah satu hasil penelitiannya, tim peneliti kelautan dari Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon menemukan bahwa aktivitas penangkapan ikan yang tidak terkontrol serta pencemaran perairan Teluk Ambon telah menyebabkan hilangnya beberapa spesies ikan tertentu dan terjadi pula anomali genetik.
[6] Misalnya, nilai persaudaraan dilembagakan dalam struktur Pela; nilai kelangsungan hidup alam dan manusia dilembagakan dalam bentuk sistem Sasi.
[7] Steve Gaspersz, Analisa Sosial-Budaya dan Refleksi Teologis terhadap Heka-Leka di Naku Pulau Ambon. Tesis Magister Sains di PPs Magister Sosiologi Agama UKSW (Salatiga, 2000), hlm. 46.
[8] Choan Seng-Song, Third Eye Theology (Maryknoll: Orbis Books, 1979), hlm. 10-11.
[9] Dalam sistem kepercayaan pra-kristen sudah ada keyakinan bahwa secara hirarkis tempat tete-nene moyang itu berada di bawah (subordinasi) dari Satu Kuasa Yang Tunggal. Kemudian Substansi Yang Tunggal ini disebut “Tuhan” ketika terjadi perjumpaan dengan kekristenan dan mengambil alih seluruh struktur rohani agama baru tersebut.
[10] Anton Baker, Kosmologi dan Ekologi: Filsafat tentang Kosmos sebagai Rumah Tangga Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 53-54.
[11] Misalnya, tidak membuang kotoran (dalam bentuk apapun) di tempat-tempat tertentu karena tempat itu dipercaya sebagai “tampa jalan” orang tatua; ada mata air yang tidak boleh menjadi tempat mandi umum karena orang tatua menjaganya untuk kebutuhan seluruh negri; semua mata jalan di negri harus bersih karena negri adalah tempat tinggal orang tatua bersama anak-anaknya yang masih hidup raga.
[12] Yeow Choo Lak, ‘Christ in Cultures: With Reference to Samuel Huntington’s ‘The Clash of Civilization?’’ dalam Yeow Choo Lak (ed.), Theology and Culture. Doing Theology with Asian Resources Vol. 2 (Singapore: ATESEA, 1995), hlm. 3.
[13] Choan Seng-Song, ‘Dunia Citra-citra dan Lambang-lambang’ dalam Yeow Choo Lak (ed.), Berteologi dengan Lambang-lambang dan Citra-citra Rakyat (Jakarta: PERSETIA, 1992), hlm. 12.
dangke banya lai bu buat artikelnya...
ReplyDeletekalo ada post lai ka...
ada butuh 4 bikin skripsi neh soalnya mo bikin tentang budaya pela gandong masyarakat maluku dalam konteks adat dan agama jadi harus cari tarus...
skali lai dangke banya lai...
Tuhan Memberkati...
dangke banya lai bu 4 artikelnya...
ReplyDeletekebetulan ada butuh 4 skripsi neh, klo ada lai jang lupa post lai eee....
neh mo bikin tentang budaya pela gandong masyarakat maluku dalam konteks adat dan agama....
jadi kalo bu punya jang lupa post ya...
dangke..
Tuhan Berkati...
terima kasih untuk artikelnya, ini menambah wawasan saya.
ReplyDeletedanke banya,,, artikelnya sangat bermanfaat untuk menambah wawasan saya
ReplyDelete