Tulisan ini tidak berpretensi mengajukan uraian analitis terhadap bergolaknya Ambon setelah mulai sejuk selama beberapa waktu. Apa yang tertuang di sini hanyalah suatu kegelisahan ontologis terhadap fenomena konflik dan kekerasan yang tampaknya semakin mengakar dalam struktur kesadaran kolektif masyarakat Ambon. Benarkah struktur kesadaran kolektif masyarakat telah terbentuk dalam pola-pola impulsif yang selalu merespons setiap riak sosial dengan reaksi kekerasan secara spontan?
Atau telah berlangsung penciptaan konteks sosial yang sedemikian kuatnya mempengaruhi berbagai relasi sosial masyarakat Ambon sehingga mereka tidak mampu melakukan resistensi atau distansi kritis terhadap setiap garapan isu-isu yang mengarah pada tindakan destruktif?
Rasanya terlalu dini untuk berasumsi bahwa ada semacam grand-narrative tertentu yang sedang disiapkan pasca-Malino II dan kemungkinan memainkan kondisi keamanan yang masih labil di Ambon untuk kepentingan politik tertentu selama pengondisian psikologis masyarakat menjelang pemilu presiden. Kendati kemungkinan tetap tidak terhindarkan mengingat daya eksplosif konflik yang begitu massif hanya dalam hitungan jam.
Selain itu, kita tidak dapat menafikan kenyataan bahwa kondisi psikologis sosial masyarakat Ambon yang belum pulih dari trauma konflik selama kurang lebih tiga tahun turut memainkan peran vital. Paling tidak, kondisi psikologis inilah yang terus dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk tetap menjaga agar intensitas konflik tetap tinggi. Euforia “Ambon Aman” tentu bukanlah slogan yang menyenangkan bagi mereka yang masih ingin terus bermain api dan mengeruk keuntungan dari situasi rusuh di Ambon.
Tanggal 25 April memang merupakan momentum yang paling kritis, khususnya sejak konflik Ambon pecah tahun 1999. Selama konflik Ambon, tanggal 25 April ini selalu menjadi momok di kalangan masyarakat sipil di Ambon dan Maluku. Alasannya sederhana, pengibaran bendera RMS (entah oleh siapa) di beberapa wilayah permukiman penduduk menjadi legitimasi politis bahwa memang sebagian masyarakat sipil (yang disegmentasi sebagai warga Kristen) secara nyata telah diidentifikasi sebagai kelompok separatis dalam format Negara RI. Tentu stigmatisasi “RMS” versus “kelompok pro-NKRI” (hanya dengan indikator simbolik berupa bendera) yang didiseminasi oleh beberapa media massa yang meliput konflik Ambon masih merupakan simpulan yang tergesa-gesa dan harus ditelisik secara bijak dan kritis. Dan lagi, hipotesis ini perlu diuji berdasarkan kelengkapan analisis sosial politik yang andal, bukan hanya sekadar terjebak dalam perangkap-perangkap simbolik. Dalam konteks Ambon kontemporer, “wacana RMS” menjadi peluru tajam yang siap ditembakkan dalam kondisi sosial-politik-budaya masyarakat Ambon yang masih gamang.
Benarkah “RMS”, dalam bingkai gerakan pemberontakan separatis memang ada di Ambon? Pertanyaan ini memang sangat terbuka untuk diinterpretasi dari berbagai segi. Namun setidaknya fenomena munculnya isu dan simbol-simbol RMS yang diusung oleh FKM harus disikapi sebagai sebuah “wacana”, bukan sebagai sebuah entitas politik riil. Sebagai “wacana”, dia dapat dimunculkan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja selagi tersedia konteks sosial yang memadai sebagai lahan subur berkembangnya wacana tersebut.
Ini berbeda dengan penyikapan terhadap “entitas politik”. Entitas politik memang bisa memainkan wacana tertentu, tetapi dalam format kerangka ideologi, struktur organisasi yang jelas terumuskan dalam platform organisasi, dan sistematisasi program untuk mencapai sebuah tujuan dengan dukungan perangkat human resources yang kapabel. Dalam hal ini, tentu terbuka ruang luas bagi suatu entitas politik untuk turut memainkan sebuah wacana yang dianggap strategis dan menguntungkan bagi tercapainya tujuan.
Kalau begitu, apakah FKM bisa disebut sebagai suatu entitas politik? Untuk menjawabnya dibutuhkan sebuah pencermatan sejarah yang konsisten dan mendalam, tidak bisa hanya melalui perampatan (generalisasi) yang dangkal. Artinya, kita sebaiknya menempatkan konsep “RMS” secara substantif pada dinamika historis dan konteks sosial yang relevan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman (misunderstanding) atasnya.
Prof. Richard Chauvel menyebutkan dalam bukunya Nationalist, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands From Colonialism to Revolt 1880-1950, bahwa lahirnya konsep RMS harus dilihat dalam bingkai dinamika politik lokal saat itu. Dorongan untuk memisahkan diri dari Republik (Indonesia) sebenarnya lebih didasarkan pada perasaan ketergantungan pada Kerajaan Belanda ketimbang keinginan untuk merdeka atau otonom.
Para pemimpin dan pendukung GSS (Gaboengan Sembilan Serangkai) yang terdiri dari para raja (pemimpin negeri), tentara dan pejabat, merupakan kelompok yang menikmati keuntungan dalam sistem kolonial di Ambon. Mereka khawatir bahwa di bawah pemerintahan Indonesia yang didominasi oleh orang Jawa, mereka akan kehilangan posisi dan status di dalam masyarakat lokal, sebagaimana terjadi di beberapa wilayah kepulauan ini (hlm 233). Keinginan tersebut justru tidak mendapat sambutan positif oleh W Hoven, komisaris pemerintah untuk Borneo dan Indonesia Timur. Hoven menilai tindakan itu terlalu prematur dan tidak akan didukung oleh pemerintah (Belanda), yang malah menilai keberadaan Ambon dalam Negara Indonesia Timur (NIT) adalah dalam rangka terciptanya keseimbangan politik (hlm 234).
FKM Beda dengan RMS
Apa yang bisa ditarik dari uraian ringkas Chauvel tersebut? Menurut saya, ada beberapa hal. Pertama, pergulatan dan dinamika politik lokal sangat ditentukan oleh faktor kepemimpinan elite lokal dan unsur-unsur pendukungnya. Dalam konteks itu, vested interest para pemimpin lokal mengalami transformasi sebagai keinginan masyarakat. Ini wajar karena struktur sosial masyarakat Ambon sebenarnya telah bergeser dari konsep tradisional ke konsep “modern” seperti yang diintroduksi oleh pemerintah kolonial Belanda. Pergeseran tersebut berimplikasi pada terbangunnnya struktur kesadaran dan pola-pola kultural masyarakat Ambon yang lebih hirarkis. Dalam struktur sosial sedemikian, rakyat sama sekali tidak berperan apa-apa.
Kedua, persoalan mendasar yang tidak terselesaikan dalam konstruk ideologi dan tatanan masyarakat bernama Indonesia sebagai sebuah realitas baru, ialah tidak digarapnya wacana pluralitas etnik yang menjadi cornerstone bagi bangunan keindonesiaan per 17 Agustus 1945. Sentimen primordial etnik ini selama masa kolonial telah menggumpal menjadi bongkah-bongkah identitas yang tidak gampang untuk ditransformasi dalam konsep Indonesia. Namun di sebelah lain, dalam konteks pluralitas sosial itu tidak terhindarkan pula dominasi kultural oleh kelompok mayoritas secara etnis.
Oleh karena itu, sebenarnya “Indonesia” harus dilihat sebagai sesuatu yang belum usai, atau masih terus dalam proses menjadi. Sebagai yang demikian, konsep “kesatuan” mesti dipahami dalam dinamika realitas berbangsa dan bernegara yang cair karena kemajemukannya, tidak bisa dipaksakan secara kaku dan tidak kontekstual.
Dari sudut pandang historis, FKM memiliki latar belakang dan maksud yang berbeda sama sekali dari konsep RMS 1950. Oleh karena itu, dia harus disikapi sebagai “wacana”. Kalaupun mau dilihat sebagai suatu entitas politik, dia masih sangat prematur. FKM muncul dalam situasi konflik yang dirasakan membawa implikasi bagi terjadinya ketidakadilan oleh negara (Indonesia) dalam masyarakat (Ambon). Sebagai suatu embrio yang prematur, FKM harus disikapi dengan tindakan tegas dan sistematik oleh perangkat-perangkat negara yang berkompeten agar tidak membesar dan malah memperkeruh konflik.
Itu seharusnya dilakukan jika memang negara bermaksud “baik” untuk menghentikan konflik Ambon. Yang terjadi malah sebuah paradoks. Pada satu sisi, negara mengklaim bahwa FKM adalah sebuah tindakan makar karena mengusung dan merekonstruksi kembali simbol-simbol politik yang pernah digunakan oleh gerakan RMS tahun 1950, namun di sisi lain, negara “membiarkan” FKM makin membesar.
Sebagai Bentuk Protes
Apakah memang FKM telah bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan pemberontakan seperti yang terjadi tahun 1950? Tentu tidak, karena dia hanya menjadi besar berdasarkan wacana yang digarapnya dalam suatu ranah kontekstual negara RI. Jadi yang diperlukan di sini adalah sebuah dekonstruksi wacana (RMS). Jika hal ini tidak dilakukan, pada titik inilah konflik Ambon tidak akan pernah mencapai titik pemulihan yang maksimal secara komprehensif, karena pewacanaan RMS ini tidak ditangani serius oleh negara (sebagai indikator empirik, kenapa Alex Manuputty bisa lolos sampai ke Amerika Serikat?).
FKM adalah embrio gerakan protes sosial yang berpotensi menjadi entitas politik. Namun dia masih sangat prematur sehingga negara sebenarnya sangat mampu membendung gerakannya. Kenyataannya itu tidak terjadi. Jadi, pertanyaan hipotetik yang terbersit ialah apakah memang negara tidak merasakan eksistensi FKM sebagai sebuah ancaman terhadap bangunan sosial politik RI (bandingkan dengan GAM di mana TNI/Polri all out)?
Padahal kesepakatan Malino II telah secara jelas memposisikan pemerintah atau negara sebagai pihak yang turut bertanggung jawab bagi proses penyelesaian konflik, ekses-ekses yang ditimbulkannya dan rancang-bangun perdamaian tiga pihak (Muslim-Kristen-Pemerintah). Itu berarti pewacanaan isu-isu yang dianggap dapat kembali mengobarkan konflik kekerasan (yang bermuara pada jatuhnya korban sipil) harus diisolasi secara ketat dengan tindakan konkrit sebagai implementasi kesepakatan tersebut.
Dengan demikian, dalam perspektif tertentu, yang menjadi kunci persoalan pecahnya konflik 25 April 2004 adalah tetap mengambangnya wacana RMS dalam konstruk politik nasional Indonesia. Dan sekali lagi, sebagai wacana, dia dapat dimanfaatkan oleh siapa saja dan untuk kepentingan apa saja selagi wacana itu dirasakan strategis untuk mengkondisikan tercapainya tujuan-tujuan (politik) tertentu.
Dalam sebuah negara yang berdaulat seperti Indonesia, siapakah atau lembaga apakah yang lebih berkompeten untuk mengeliminasi kemungkinan terbentuknya wacana seperti ini, selain lembaga-lembaga negara atau negara itu sendiri?
Oleh karena itu, sangat naif bila seluruh kesalahan hanya ditimpakan kepada “massa” pendukung A atau B. Masyarakat sipil tentu bukanlah orang bodoh yang dapat dijadikan pion terus-menerus jika ternyata mereka hanya menjadi korban dari pertikaian yang mereka sendiri tidak pahami.
Tetapi jika kekuatan massa yang tergumpal mengarah pada berbagai aksi destruktif, tentu harus dipahami dalam konteks yang lebih besar bahwa ada kekuatan determinan yang tak mampu dilawan. Kalau begitu, sebenarnya siapakah yang berkepentingan untuk menjaga agar wacana ini tetap terjaga sebagai “bom” yang siap diledakkan pada saat yang tepat dan dengan efek yang menghancurkan?
No comments:
Post a Comment