Aku menulis maka aku belajar

Friday, December 7, 2007

Islam-Kristen Dalam Diskursus Kebudayaan dan Etnisitas: Catatan Kecil dari Maluku

Abstract

In this article I would like to analyze theological perspective of Rev. Dr. Arnold N. Radjawane which had been written in 1960s under the title “Islam in Ambon and Haruku”. His perspective about Islam in Maluku at that time was closely related to his construction of thought as a theologian who studied theology in West (Germany). Through this article I am trying to trace interconnectedness between theological discourse and political context which very influence Radjawane’s view. From such elaboration I am also constructing my critique toward Christian understanding about mission and looking for the opportunities to unfold theological discourse in the context of local culture in Maluku (in this case, Ambon society). Once Radjawane’s article had been used as prime reference about “christianization” in Maluku since he was well-known as one influential church leader in Maluku (he was a chairperson of GPM Synod and actively involved in political party until his retirement). The aim of this article is not to debate the meaning of Christian mission in the past and its sociological effects today but rather to understand interrelationship between text and context that further producing the so-called “cultural discourse” in Maluku society.

Key words: critical discourse analysis, etnisitas, cultural studies

Pengantar

Tulisan ini merupakan tanggapan terhadap artikel Pdt. Dr. Arnold N. Radjawane bertajuk “Islam di Ambon dan Haruku”.[1] Ada dua alasan kenapa artikel itu dijadikan acuan dan sekaligus kritik:

1. Artikel itu memberikan sebuah perspektif teologis yang sangat penting dan kontekstual pada suatu ruang dan waktu tertentu; yang sangat mempengaruhi pandangan orang-orang Kristen terhadap hakikat menggereja dalam tantangan konteks sosial dan budaya masyarakat Maluku (pada saat itu).

2. Artikel itu ditulis oleh seorang teolog muda Maluku dan sekaligus kader pemimpin gereja (GPM) yang sangat potensial. Dapat dipastikan bahwa artikel itu merefleksikan sikap dan perspektif eklesiologis-misiologis GPM saat itu dalam menyikapi realitas konteks gumul GPM.

Pendekatan

Kerangka analisis yang dipakai sebagai pisau untuk membedah tulisan Radjawane itu adalah analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis – CDA). CDA dikembangkan untuk mengidentifikasi kendali-kendali sosial-politis yang diyakini secara aktif mengonstruksi masyarakat pada beberapa tataran.

Sudah banyak kajian yang menggunakan CDA dan ditemukan kerumitan tersendiri untuk menentukan suatu definisi yang tegas-jelas. CDA mempunyai tujuan utama untuk mengidentifikasi ketidaksetaraan sosial-politis yang berlangsung dalam masyarakat. Dari sejumlah definisi, saya membatasi diri dengan merujuk pada definisi Fairclough:[2]

[CDA is the study of] often opaque relationships of causality and determination between (a) discursive practices, events and texts, and (b) wider social and cultural structures, relations and processes; to investigate how such practices, events and texts arise out of and are ideologically shaped by relations of power and struggles over power; and to explore how the opacity of these relationships between discourse and society is itself a factor securing power.

Kata “kritis” menunjukkan pertautan dan akar-akar yang terselubung, juga intervensi, misalnya menyajikan sumber-sumber bagi mereka yang terabaikan dalam proses perubahan. Lacakan terhadap hal-hal yang tersembunyi itu menjadi penting, karena selama ini tidak terlalu jelas bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya dan karena itu tidak mampu menghadapinya.

Batsone mengelaborasi lebih lanjut:[3]

Critical Discourse Analysts seek to reveal how texts are constructed so that particular (and potentially indoctrinating) perspectives can be expressed delicately and covertly; because they are covert, they are elusive of direct challenge, facilitating what Kress calls the ‘retreat into mystification and impersonality’.

Fairclough menyelidiki bagaimana cara kita berkomunikasi dikungkung oleh struktur-struktur dan kekuatan-kekuatan lembaga-lembaga sosial yang di dalamnya kita hidup dan berfungsi.[4] Dia mengidentifikasi tiga tataran wacana: [1] social conditions of production and interpretation, yakni faktor-faktor dalam masyarakat yang menggiring pada produksi suatu teks dan bagaimana faktor-faktor itu mempengaruhi interpretasi; [2] process of production and interpretation, yakni bagaimana teks-teks diproduksi dan itu mempengaruhi interpretasi; [3] the product of the first two stages, the text. Fairclough membagi tiga tahapan CDA:[5]

  • Pemerian sebagai tahapan yang berkaitan dengan muatan formal suatu teks
  • Interpretasi terhadap hubungan teks dan interaksi, dengan melihat suatu teks sebagai produk dari suatu proses produksi dan sumber dalam proses interpretasi
  • Eksplanasi tentang interaksi dan konteks sosial, dengan determinasi sosial dari proses-proses produksi dan interpretasi, dan dampak sosialnya.

Agama dan Konstruksi Identitas

Berbitjara tentang Islam di Maluku apalagi tentang orang Maluku Islam, biasanja tidak sedikit menimbulkan keheranan bagi sebahagian besar kalangan Kristen diluar Maluku sendri. Hal ini dapat kita mengerti bila kita ingat bahwa dalam kontak (persinggungan) dengan suku2 bangsa Indonesia lainnja diluar daerah Maluku, maka orang hanja mengenal suku2 Maluku (jang biasa dichususkan dengan nama “orang Ambon”) melulu sebagai golongan Kristen jang mewakili lapangan kepegawaian menengah dan terutama dilapangan kemiliteran. Tetapi fictie jang mengidentikkan “Maluku (Ambon)” dengan suatu “daerah Kristen melulu” adalah djauh dari realitet sebenarnja, karena hasil pemilihan umum DPR ditahun 1955 tjukup memberikan gambaran jang djelas tentang djumlah golongan Muslimin di Maluku (Partai Masjumi diwakili oleh djumlah suara ± 50% (hlm. 70)

Masyarakat Maluku terbentuk dalam suatu konteks dengan kontur geografis kepulauan besar/kecil yang dipisah-hubungkan oleh laut. Kondisi kepulauan ini turut membentuk karakter masyarakat dan pola-pola hubungan sosial antar­masyarakat pulau-pulau. Secara sosiohistoris, masyarakat Maluku adalah kelompok sosial heterogen yang terkonfigurasi dari berbagai suku-bangsa dan ras yang selama ratusan tahun telah menjalin kehidupan bersama. Konfigurasi sosial ini yang kemudian membentuk identitas etnis Maluku.

Proses kolonialisasi di Maluku selama beberapa abad telah pula memberikan kontribusi signifikan bagi pembentukan identitas “orang Maluku”. Kolonialisasi yang diikuti dengan aktivitas-aktivitas “kristenisasi” masyarakat lokal oleh badan-badan misi Kristen Barat menjadi arena interaksi kebudayaan “superior” dan kebudayaan “inferior”. Dalam konteks itu, inferioritas menjadi atribut utama yang sangat ditentukan oleh kemampuan (k)ebudayaan itu [lokal] membangun relasi dengan (K)ebudayaan Barat yang “modern” atau superior.

Cara pandang itu sangat dipengaruhi oleh rasionalitas Pencerahan (Enlightenment), yang memandang kelompok-kelompok etnis sebagai unit-unit sosial yang statis, koheren dan stabil. Jika ditelusuri kembali, apa yang disebut rasionalitas Pencerahan juga merupakan warisan abad pertengahan dan Renaisans terhadap kebudayaan, yang melihat perbedaan-perbedaan di antara manusia sebagai suatu tatanan ciptaan Tuhan. Mulanya, etnisitas memuat suatu konotasi peyoratif, dari akar kata Yunani ethnos: orang tidak beradab, bukan-Eropa, bukan-kulit putih, kelas rendah, barbar ~ “orang luar” atau “yang lain” (other).[6] Konsekuensinya, dunia tersegmentasi menjadi kelompok-kelompok budaya dalam suatu hirarkhi, dengan kebudayaan Eropa di tempat teratas. Gagasan-gagasan ideal mengenai “kebebasan” hanya berlaku untuk kelompok budaya ini saja (bahkan kelompok yang lebih terbatas: laki-laki, kulit putih, kelas menengah). Mereka inilah yang kemudian merasa berhak untuk menentukan identitas “yang lain”, sehingga “yang lain” itu sama sekali tidak memiliki independensi kreatif.[7]

Etnisitas: konsep dan problematika

Etnisitas selama ini mengandung pengertian negatif dan positif. Yang negatif melihat etnisitas sebagai faktor penghambat dalam proses nation building; yang positif melihatnya sebagai bentuk lain dari organisasi sosial atau faktor yang mendorong pembentukan identitas atau status minoritas. Sosiologi dan antropologi mengajukan tiga model untuk memahami etnisitas: dua model saling beroposisi (model primordialis dan model instrumentalis) dan model ketiga (konstruktif) mencoba untuk mengombinasikan kedua model sebelumnya.

· Primordialisme

Etnisitas dilihat sebagai identitas primordial suatu kelompok dan menjadi kategori a priori yang menentukan batasan kelompok guna menjamin stabilitas dan tatanannya. Yang bukan-anggota akan dieksklusi berdasarkan fakta bahwa mereka tidak berbagi identitas primordial yang sama; sedangkan para anggotanya tidak pernah bisa menolak identitas etnik primordial tersebut, tanpa mempedulikan faktor-faktor kontekstual atau historis.[8]

Studi-studi antropologis oleh para pemikir Barat terhadap bentuk-bentuk kebudayaan dan agama yang berbeda-beda, mendesak terjadinya beberapa revisi mendasar pandangan primordialisme. Kebudayaan tidak lagi menjadi istilah eksklusif terhadap “orang-orang beradab” (civilized), melainkan faktor utama pembentuk semua manusia. Perbedaan-perbedaan kebudayaan lebih dilihat sebagai fenomena historis dan kontekstual, bukan lagi sesuatu yang terberikan (given) secara biologis atau alamiah.

Pluralisme dipahami sebagai pendekatan akomodatif terhadap kelompok-kelompok etnis yang lebih kecil, yang meski berbeda-beda tetapi tetap terhisab ke dalam kelompok yang lebih besar secara keseluruhan. Memang kebudayaan tidak lagi dipahami sebagai ekspresi superioritas Barat modern, sehingga etnisitas kemudian menjadi konstruksi identitas bagi masyarakat-masyarakat bukan-Barat. “Asimilasi” dan “akulturasi” menjadi istilah-istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan proses identitas-identitas primordial terabsorbsi ke dalam kebudayaan dominan yang hanyut dalam utopia universalisme dunia modern.

· Instrumentalisme

Muncul konsep baru tentang etnisitas yang dapat dilihat dari gerakan hak-hak sipil (civil rights movement) di Amerika Serikat selama era 1960an. Kelompok-kelompok kecil menolak untuk berasimilasi dan berakulturasi ke dalam kelompok-kelompok dominan, melainkan membatasi diri berdasarkan identitas, kemerdekaan dan otonomi mereka.

Model instrumentalisme menolak kategori-kategori a priori pandangan primordialisme. Bagi kaum instrumentalis, konsep etnisitas sangat bergantung pada kepentingan tertentu manusia dan tanggapan partikular terhadap suatu peristiwa. Arena utama di sini ialah bidang politik. Jika kondisi dan kepentingan berubah, maka berubah pula identitas etnis. Kelompok-kelompok etnis dilihat sebagai bentuk-bentuk historis dan kontekstual yang content-nya bisa berubah. Fokus instrumentalisme bukan lagi pada esensi, tetapi pada batasan (boundaries) kelompok etnis di mana berlangsung transaksi dengan lingkungan sekitarnya.[9] Etnisitas menjadi suatu proses interaksi dinamis di mana berbagai identitas dimobilisasi untuk mengejar cita-cita dan kepentingan-kepentingan tertentu, serta nyaris berfungsi sebagai barter barang-barang sosial, politik dan ekonomi.

Agama dapat menjadi salah satu instrumen. Seperti kata MacKay, agama bisa menjadi “suatu aspek sistem sosial seperti aspek lain dari sistem sosial suatu kelompok: ekonomi, politik, kekerabatan atau kebiasaan (adat)” yang semuanya “bisa dimobilisasi untuk menentukan batas-batas (border) identitas kelompok etnis.”[10]

· Konstruktivisme

Konstruktivisme mencari celah kemungkinan untuk melewati batas rigiditas ekstrem primordialisme dan relativisme ekstrem instrumentalisme. Konstruktivisme menerima adanya aspek-aspek tertentu dari identitas etnis yang terbawa sejak lahir dan secara determinatif membentuk identitas individu anggota kelompok. Sekaligus mengakui bahwa setiap anggota kelompok secara kontinyu merekonstruksi aspek-aspek tersebut (juga untuk menanggapi yang bukan-anggota) di dalam suatu konteks lingkungan historis.

Identitas etnis bukan given secara eksternal tetapi dicitrakan secara kreatif (creatively imagined), yang berbeda dengan identitas-identitas lain yang juga dicitrakan secara kreatif. Identitas etnis selalu merupakan ide-ide yang berkembang [atau wacana], ketimbang sebagai unit sosial yang dapat teramati secara empiris. Identitas etnis adalah suatu konstruksi, ketimbang suatu yang terberikan.

Menurut Tilley, kaum konstruktivis terpecah menjadi dua kubu. Kubu satu mengasumsikan bahwa “identitas etnis bukanlah konstruksi intelektual yang dapat dipisahkan secara tegas, melainkan terartikulasi dalam jejaring praktik-praktik sosial dan beragam kepercayaan”. Kubu kedua mengandaikan bahwa kaum intelektual memainkan peran penting dalam konstruksi identitas etnis sebagai sebentuk “retorika” ketimbang “wacana”.[11]

Identitas etnis dapat dilihat dalam pertautan dengan dialektika identifikasi internal-eksternal. Tilley memahami identitas kelompok sebagai suatu proses historis internal identifikasi kelompok, yang secara kontinyu direkonstruksi melalui interaksi dengan lingkungannya (eksternal) yang terus berubah.[12]

Ketiga perspektif etnisitas di atas mesti dipahami sebagai sebuah jejaring proses-proses sosial-budaya yang berkelindan dan membentuk pemahaman yang dinamis mengenai “identitas sosial”.

Islam-Kristen dalam Proses Pembentukan Identitas: Catatan dari Maluku

Berbeda dengan di-lain2 tempat di Indonesia ini maka di Ambon, Haruku dan Maluku chususnja hubungan antara golongan Islam dan Kristen merupakan jang luar biasa baiknja. Sangatlah mengherankan bahwa keduanja dapat bertumbuh dengan penuh kerukunan dan tolerensi jang hampir tak dapat dimengerti oleh orang2 Islam dan Kristen lainnja jang diluar Maluku sendiri. (hlm. 77)

Penyebarluasan Islam dan Kristen di Maluku dengan metode dan dinamika sejarahnya masing-masing turut mempengaruhi kekentalan homogenitas budaya masyarakatnya. Kesatuan konstruktif identitas budaya lantas terfragmentasi berdasarkan kategori keagamaan yang diwarisi dan dianut oleh satu atau lebih unit-unit sosial yang ada di dalam lokus itu. Meski demikian, kekuatan nilai-nilai etnisitas untuk waktu lama telah berfungsi sebagai perekat sosial (social glue) yang efektif dalam menganyam perbedaan dan ketegangan teologis pada tataran keagamaan.[13] Tampilan identitas berdasarkan ikatan kultural dan agama ini lantas melahirkan komunitas-komunitas hena (negri) yang teragregasi dalam suatu lokus tertentu (biasanya pada satu pulau).[14] Sehingga orang luar (outgroup) dengan mudah mengidentifikasi identitas budaya masyarakat suatu hena dan secara a priori mengenal apa agama yang dianut oleh komunitasnya.[15]

Jarang dijumpai struktur masyarakat hena yang terdiri lebih dari satu agama (walau ada pula beberapa pengecualian). Umumnya struktur, sistem sosial dan sistem kepercayaan masyarakat hena berlatarbelakang sejarah keleluhuran yang sama, mitos-mitos asal-usul yang satu dan hanya merupakan satu komunitas agama. Tentang mitos, saya setuju dengan Lincoln bahwa dalam memahami “mitos dan konstruksi batas-batas sosial” kita lebih baik mengklasifikasi narasi-narasi mitologis itu bukan berdasarkan muatannya, tetapi berdasarkan klaim-klaim yang dibuat oleh para naratornya dan bagaimana klaim-klaim itu diterima oleh para pendengarnya. Mitos bukan sekadar coding device untuk menyampaikan informasi penting, yang melaluinya para aktor mengonstruksi masyarakat. Mitos juga adalah tindakan diskursif yang melaluinya suatu masyarakat dikonstruksi secara aktif.[16]

Untuk jangka waktu yang panjang masyarakat Islam dan Kristen di Maluku hidup dalam dialektika pemahaman-diri yang kreatif sebagai satu etnis, yang sekaligus terbedakan menurut agama. Pandangan dunia dialektik yang terkondisikan ini dibutuhkan untuk, pada satu sisi, mengelola ketegangan antara pemahaman mengenai hakikat kebudayaan sebagai basis eksistensi lokal, dengan sandaran interpretatif teologi agama yang dianut sebagai basis eksistensi spiritual, pada sisi lain. Matra kearifan lokal masyarakat berfungsi mengakomodasi dialektika tersebut, lalu mentrans­forma­si­­kannya ke dalam harmonisasi kreatif. Dari proses ini terbentuk suatu pola religiositas yang khas, sebagaimana oleh Frank Cooley disebut dengan “agama Ambon”.[17] Meski dilekatkan Cooley pada postur Kekristenan Ambon, terminologi ini juga padan untuk menggambarkan realitas Islam Ambon. Malah dalam beberapa aspek, karakter Islam Ambon lebih gamblang menampilkan corak perpaduan agama dan adat dibandingkan dengan Kekristenan Ambon yang terkesan canggung untuk bersandar pada salah satunya. Dengan demikian, corak keberagamaan di Maluku bukan terletak pada dinamika sinkretik “Islam” dan “Kristen” pada satu sisi dan “budaya lokal” atau “adat” di sisi lain, melainkan utamanya lebih kuat menampilkan corak beragama yang hibrid.[18]

Realitas kolonialisasi telah pula meninggalkan deviasi laten dalam masyarakat Maluku. Hal itu nampak khususnya pada kelompok yang mewarisi tradisi kekristenan, yaitu punahnya bahasa tanah sebagai genre bahasa lokal dalam pergaulan sosial,[19] ambruknya lembaga adat saniri negri,[20] tergusurnya apresiasi pada hikmat lokal di kalangan muda yang “westernized”, serta terbentuknya pola beragama [Kristen] yang formalistik dengan sentralisasi kuat pada figur “pendeta”.[21] Kenyataan ini melahirkan ketaksaan dalam kesadaran dan bersikap terhadap adat, serta dikotomi tajam antara “injil” dan “adat” dalam masyarakat Kristen (Sarane). Berbeda dengan masyarakat Islam (Salam) Maluku yang tidak mengalami ~ meski tetap ada ~ ketegangan separah saudara Kristennya.

Islam masuk ke Maluku nyaris tanpa pergolakan berarti. Namun harus diakui bahwa teori mengenai pola-pola perdagangan dalam penyebaran agama tidak mengakomodasi konflik-konflik ideologis yang lebih didasari oleh kepentingan penguasaan teritori ekonomi pada aras mikro.[22] Kelenturan ini disebabkan Islam masuk ke Maluku bukan dalam bentuk organisasi dengan struktur hirarkhis yang ketat, melainkan lebih berupa spiritualitas religius dan hubungan-hubungan ekonomis yang diintroduksi secara individual. Hampir tidak ada ketegangan antara agama dan adat dalam masyarakat Islam. Agama dan adat bersintesis membentuk kesatuan identitas masyarakat lokal.[23] Kelenturan Islam dalam mengakomodasi matra budaya lokal dan menjadikannya bagian integral dari postur keislaman lokal, sejak lama telah memperlihatkan proses-proses kontekstualisasi ajaran Islam. Artinya, agama [Islam] benar-benar telah menjadi agama rakyat yang mengkhamiri sendi-sendi sosial kehidupan masyarakat.

Sementara Kekristenan yang diintroduksi oleh zending Barat galibnya telah memiliki perangkat struktural organisasi agama dengan visi dan misi sentralistik-hirarkhis yang cukup mapan. Jika dalam batasan tertentu kekristenan kemudian menjadi semacam civil religion di Maluku, toh tidak dapat disangkali bahwa proses awal perjumpaan kekristenan dan budaya lokal sarat dengan ketegangan-ketegangan. Pada aras praksis kehidupan sosial, ketegangan-ketegangan itu kerap terjadi dalam pemaknaan peran fungsional gereja dan lembaga adat, masing-masing dengan orientasi dan “ideologi”-nya.[24] Keduanya bersaing mencari dukungan seluas mungkin agar dapat mempertahankan otoritas legal dan pengaruh dalam masyarakat.

Secara sosiologis, pada masyarakat Kristen, persaingan (adat dan gereja) ini telah menimbulkan skisma identitas sosial. Satu sisi, sebagai anak adat orang mengidentifikasi diri secara kultural sebagai bagian dari hena dan seluruh tatanan nilai adatisnya yang berfungsi mengatur hubungan sosial (antarsesama) dan natural (kosmos). Di sisi lain, sebagai anak gereja dia mewarisi berbagai nilai yang dikemas dalam formulasi konvensional dogma gereja dengan tuntutan ortodoksinya yang bertolakbelakang dan bahkan menafikan adat. Sintesa injil-adat tidak mencapai fase pematangan nalar sehingga selalu berada pada kulminasi liminal (ambang).

Salam-Sarane dalam Wacana Teologi Jemaat di Maluku

Perhatian mengenai hubungan Islam-Kristen di Maluku dalam pemerian berikut ini lebih difokuskan pada perspektif kekristenan. Salam dan Sarane adalah terminologi budaya untuk Islam dan Kristen di Maluku. Kedua istilah ini lebih intens mengandung muatan makna budaya daripada dogmatis keagamaan. Dari kedua istilah itu secara eksplisit dapat ditelisik suatu corak beragama yang senantiasa mengalami transformasi kreatif membentuk pola religiositas yang tipikal, yang lebih bernuansa budaya. Dimensi budaya ini menjadi kekuatan fungsional yang mengikat kedua kelompok beragama di Maluku.

Dari perspektif internal kekristenan, masuknya berbagai zending ke Maluku mengintrojeksi pula beragam pandangan teologis bentukan budaya Barat, terutama menyangkut esensi kebudayaan lokal dan posisi teologi kristen saat itu terhadapnya. Pandangan teologis misi zending terhadap eksistensi kebudayaan lokal bersifat bipolar. Satu kutub, pendekatan terhadap adat memang dilakukan, tetapi di kutub lain terperangkap pada praanggapan peyoratif. Kekristenan dari Barat yang dibawa dijadikan sebentuk model kebudayaan modern yang [dianggap] lebih “baik”, “benar” dan “beradab” (civilized) daripada kebudayaan lokal. Sofistikasi semacam ini berimplikasi pada arogansi beragama yang mengejawantah dalam praktik-praktik penyingkiran bentuk-bentuk kehidupan lokal dan tertawannya hikmat-hikmat lokal dalam idiom-idiom pengadaban masyarakat. Bahasa tanah menjadi simbol keterbelakangan, tete-nene moyang dikafirkan, institusi-institusi budaya lokal tidak lagi menjadi élan vital. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa masuknya kekristenan sebenarnya telah menimbulkan benturan peradaban yang belum tuntas diwacanakan hingga kini. Secara simultan terjadi penguatan [agama Kristen] pada satu pihak, dan pemiskinan nilai [budaya lokal] pada pihak lain. Pola relasi ini sebenarnya mencerminkan korelasi kreatif antara teologi dan kekuasaan politik. Di sini “teologi” dan “kekuasaan” berkolaborasi membentuk aliansi supra-pengetahuan yang berhak menentukan kebenaran secara monolitik.

Badan-badan zending Barat ini selanjutnya membidani lahirnya institusi gereja yang secara substantif mewarisi paradigma berteologi dari induknya. Salah satu problem yang menimbulkan polemik adalah sikap dan pandangan teologi kristen mengenai kebudayaan lokal atau adat. Ketika Protestantisme terwadahi dalam wujud organisasi gereja di Maluku (1935) hingga kini, warisan teologi kolonial ini tidak banyak mengalami perubahan secara fundamental.[25] Ekspresi kebudayaan lokal masih menjadi subordinasi gereja, karena sarat dengan aspek-aspek tahayul dan kuasa-kuasa “gelap” yang menghalangi pemahaman injili jemaat. Keengganan untuk mewacanakannya sebagai bagian dari tindakan berteologi ~ disadari atau tidak disadari ~ malah mendangkalkan kedalaman spiritual yang sebenarnya bisa diperoleh melalui eksplorasi kebudayaan lokal itu sendiri. Bukankah kekristenan dari Barat itu juga sarat dengan ekspresi kebudayaan lokal dari Barat?

Pada titik ini timbul persoalan ganda. Pada satu sisi, keengganan tersebut makin menyudutkan komunitas beragama dalam krisis identitas menyangkut hakikat dan pemahaman dirinya sebagai orang Maluku, dengan segenap atribut kebudayaan yang melekat pada diri mereka. Di sisi lain, komunitas beragama mengalami cognitive dissonance dan terjerat dalam kebingungan mengartikulasikan imannya berhadapan dengan dinamika sosial-budaya dalam realitas hidup sehari-hari. Bagaimana menjadi orang Kristen yang Maluku? Apakah ada nilai-nilai kristiani dalam adat Maluku? Kalau ada, seperti apakah itu dan bagaimana menjelaskannya? Dan apakah mungkin menemukan universalitas (meski relatif) dalam partikularitas? Apakah berbicara tentang adat setelah “masuk Kristen” tidak bertentangan dengan kehendak Tuhan? Sedikit dari begitu banyak pertanyaan yang terlontar dari kegelisahan ontologis ini memberikan gambaran bahwa pergulatan teologis untuk memaknai etnisitas di Maluku masih berlangsung dengan tensi tinggi.

Pemahaman mengenai identitas sosial di Maluku terbentuk melalui proses interpenetrasi berbagai tafsir budaya dan tafsir teologi yang terus menerus bersintesa. Ada proses-proses historis yang pada satu saat mempertautkan beberapa identitas dalam wacana kebudayaan egaliter tanpa mengeliminasi perbedaan di antaranya, misalnya pada penyebutan “Salam” dan “Sarane”. Namun pada saat lain, identitas-identitas itu ~ komunitas Kristen dan komunitas Islam ~ secara kultural saling teralienasi pada posisi diametral. Keduanya teralienasi karena pertautan kebudayaan sebagai orang Maluku mengalami distorsi makna. Alienasi tersebut menggiring kekristenan (gereja) untuk lebih memperhatikan hubungan-hubungan formal kelembagaan dan mengabaikan upaya merekonstruksi secara positif relasi kultural mereka dengan komunitas Islam Maluku.

Bagi orang Islam Maluku, hampir dalam segala aspek, gereja (sebenarnya) sudah kehilangan pertautan kultural dan selalu terbentur pada kontekstualisasi teologi setengah hati. Proyek “teologi kontekstual” Kristen hanya berhenti pada tataran penanda/signifier (media), namun selalu gagal pada tataran petanda/signified (makna). Wajah teologi Kristen malah menunjukkan tendensi yang kian abstrak dan jauh dari pergulatan memaknai pergolakan kultural di Maluku. Kekristenan kontemporer tidak memberikan apresiasi secara proporsional bagi terbentuknya kesadaran akan identitas bersama sebagai orang Maluku, bahkan akar-akar teologinya tercerabut dari tanah Maluku. Dari perspektif itu, mereka melihat kekristenan hanya menjadi batu sandungan bagi berlangsungnya wacana kebudayaan yang konstruktif di Maluku.

Dalam wacana teologi Kristen di Maluku, pemaknaan kebudayaan lokal nyaris menjadi catatan pinggiran. Sementara hampir seluruh energi terkuras untuk masalah penataan institusi dan modifikasi artifisial doktrin gereja yang jauh dari geliat derita kemanusiaan yang “bisu” dalam arus modernisasi. Ajaran kekristenan (gereja) sebagai bentuk pewarisan tradisi keagamaan memang penting. Tetapi lain soalnya kalau itu diterima begitu saja tanpa melalui proses reinterpretasi yang kritis terhadap tradisi. Apalagi jika tidak ada kegairahan intelektual yang mendorong kekristenan menggali akar-akar persoalan sosio-budaya baik pada aras lokal dan nasional, yang dapat dijadikan basis refleksi teologi kontekstual di Maluku secara riel. Persoalannya, bagaimana seluruh dinamika kebudayaan di Maluku mampu melahirkan horison baru mengenai signifikansi nalar budaya dalam berteologi. Dengannya, tindakan berteologi di Maluku menjadi tindakan otentik dan bukan lagi hanya menciptakan pengecer-pengecer teologi.

Pluralitas agama dan budaya bukan fenomena baru di Maluku.[26] Korelasinya tidak mudah untuk diurai jelas karena keduanya telah dan terus bermetamorfosis menjadi fenomena-fenomena baru dengan kualitas yang berbeda. Apa yang tampak dari pewacanaan agama dan kebudayaan di Maluku adalah suatu profil taksa (ambigu) dengan dependensitas sangat tinggi pada struktur penalaran masyarakat untuk menginterpretasi pertautan nilai-nilainya. Jejaring relasi keduanya makin kompleks ketika Islam Maluku menjadi suatu kekuatan politik yang signifikan setelah meleburkan diri secara afirmatif dalam kancah pergaulan Islam nasional Indonesia. Implikasi politis dari pergeseran ini membentuk kesadaran baru dimana Islam berkembang dari wacana kebudayaan lokal menjadi wacana politik nasional. Wacana keislaman kemudian terarah pada wacana mayoritas vis-a-vis kekristenan yang pasca kolonial hanya menjadi kelompok parsial dan minoritas dalam konteks [politik] keindonesiaan.

Apa yang tercermin dari wacana Islam-Kristen Maluku di era Indonesia kontemporer adalah munculnya fenomena agama sebagai manifestasi kekuasaan politik dan hegemoni budaya.[27] Persoalan lain yang muncul adalah bagaimana memaknai pertautan antara etnisitas sebagai identitas bentukan budaya lokal dan pada saat bersamaan masuk ke dalam identitas bersama dalam konteks negara-bangsa baru. Dalam situasi problematik itu, agama acapkali memainkan peran sebagai kekuatan pemersatu sekaligus menciptakan konflik ideologis. Jadi dapat dikatakan bahwa sebenarnya agama[-agama] berada dalam realisme liminal yang mendorong penggumpalan kesadaran etnis dan ketegangan-ketegangan ideologis dalam ranah politik lokal, yang berkelindan dengan pergolakan kepentingan politik tingkat nasional.

Konstruksi Dialogis Islam-Kristen di Maluku: Upaya Berteologi dengan Membaca Budaya

Asumsi dasar di sini ialah “kebudayaan merupakan suatu proses berlangsungnya transformasi kreatif dalam kehidupan sosial suatu masyarakat”. Dalam proses itu, masyarakat melakukan interpretasi simbolik terhadap realitas hidupnya yang berlangsung dalam sekuen pengalaman-pengalaman bermakna. Pengalaman-pengalaman itu lantas diinstitusionalisasikan dalam bentuk simbol-simbol budaya. Jika berteologi merupakan kesadaran kritis untuk melakukan interpretasi religius terhadap situasi hidup manusia kontemporer dalam hubungannya dengan realitas transendental yang disebut “Tuhan”, maka kebudayaan adalah basis bagi analisis kritis untuk mencari dan menghargai bentuk-bentuk manifestasi sang Tuhan.

Itu berarti, kebudayaan tidak lagi dilihat dalam perspektif dikotomik antara sakral dan profan, melainkan sebagai pengejawantahan ilahi yang berlangsung dalam proses menjadi (process of becoming) terus menerus. Karena kebudayaan tidak statis, maka konstruksi refleksi teologis yang hendak dibangun pun tidak permanen atau baku. Refleksi teologi yang dipaksa untuk relevan pada konteks yang berbeda patut dicurigai jangan-jangan ia sudah menjadi sejenis ideologi intoleran. Refleksi teologi yang dibangun di atas dasar kebudayaan ini merupakan suatu proses berpikir dan bertindak yang mengalami transformasi secara kontinyu.

Proses, menurut Alfred North Whitehead, memiliki karakter distingtif, yakni sebagai [1] “transisi” (masa antara dari satu peristiwa/pengalaman ke peristiwa/pengalaman berikutnya), yang disebut peristiwa-peristiwa aktual (actual occasions) atau peristiwa-peristiwa pengalaman (occasions of experience); dan [2] “konkresensi” (concrescence) yang berarti “menjadi konkrit”, yakni bahwa di dalam setiap peristiwa itu sendiri berlangsung suatu proses menjadi. Kedua proses ini membuka pemahaman baru dalam melihat keberbagaian pengalaman religius.[28] Proses transisi menentukan pentingnya waktu. Satu peristiwa dilanjutkan dengan peristiwa lainnya. Masa lampau terdiri dari peristiwa-peristiwa yang sudah dialami; masa depan adalah benar-benar berbeda karena tidak mengandung “peristiwa”; dan masa kini adalah peristiwa yang sedang dialami. Setiap momen adalah baru dan tidak dapat diulang. Sementara dalam proses konkresensi, tidak dikenal waktu. Tetapi bukan berarti setiap aktualitas bersifat statis. Setiap momen adalah “sekarang”.

Dengan kerangka “proses” Whitehead itu maka upaya memahami hubungan kultural Islam-Kristen di Maluku menjadi sebuah pembacaan budaya yang lebih dinamis tanpa mesti terjerat romantisme masa lalu. Dengan meminjam istilah Ricouer, langkah ini akan menjadi sebuah fixation of action.[29] Lebih jauh, kita dapat keluar dari keterperangkapan pada logika rasionalitas Pencerahan yang selalu mendikotomikan realitas dalam konstruksi oposisi-biner. Bisa saja, dalam momentum sekarang ini kita membutuhkan sebuah kontrak sosial yang baru untuk menciptakan kembali mitos baru atau pandangan dunia baru dalam konteks relasi keberagamaan di Maluku pascamodern (postmodern).

Selain itu, dalam ranah teologis, hubungan Islam-Kristen di Maluku tidak bisa didekati hanya dengan pendekatan tekstual alkitabiah atau dogmatis-apologetis, melainkan baiknya dicermati dalam suatu kerangka pemahaman konteks budaya yang utuh. Suatu “konteks” adalah “teks”, yang tersusun dari rangkaian kata sehingga menghasilkan sebuah makna. Dalam theory of action suatu diskursus tindakan merupakan salah satu bagian dari situasi transaksi yang mengalir dari satu bagian ke bagian lain, persis seperti dalam bahasa wicara yang ditangkap dalam proses interlokusi atau translokusi (translocution). “Konteks tertentu” ini secara kreatif ditransformasikan ke dalam “konteks tertentu yang berbeda”, yang dijadikan basis untuk merekonstruksi kembali makna yang valid. Pendekatan hermeneutik budaya semacam ini membutuhkan ~ apa yang disebut Paul Ricoeur ~ “objektifikasi”.[30]

By this objectification, action is no longer a transaction to which the discourse of action would still belong. It constitute a delineated pattern that has to be interpreted according to its inner connections. This objectification is made possible by some inner traits of the action that are similar to the structure of the speech act and that make doing a kind of utterance.

Bila pemahaman terhadap kebudayaan lokal mengalami stagnasi, maka kekristenan tidak akan mampu memahami pola keberagamaan yang berlangsung di Maluku. Di sini diperlukan pemahaman kontekstual mengenai hakikat pluralisme agama sebagai masalah kebudayaan dan fungsi tindakan berteologi (yang sudah mengalami transisi dan konkresensi hermeneutis dari “teks” ke “tindakan”) sebagai upaya menciptakan pandangan dunia baru dalam sebuah realitas (atau peristiwa pengalaman) yang baru.

Dalam kerangka pikir itu maka perspektif imaniah kehadiran Allah dalam peristiwa dan tindakan Kristus mesti dipahami sebagai proses, bukan sebagai doktrin yang rigid. Artinya, jika Allah itu adalah substansi transendental yang menyejarah dalam eksistensi kemanusiaan, maka setiap momen dari eksistensi manusia bersifat unik. Keilahian Allah itu memberi kualitas pada setiap momen kemanusiaan. Dengan kualitas ilahi dalam setiap momentum eksistensialnya, setiap entitas ciptaan (creatures) dihadapkan pada masa depan potensial. Masa depan potensial ini bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja karena Allah menghendakinya (God’s will), tetapi suatu masa depan yang dinegosiasikan bersama antara entitas ilahi (Allah) dan entitas kodrati (manusia). Dalam teks Alkitab, cerita Abraham yang bernegosiasi dengan Tuhan menyangkut keberadaan orang-orang benar di Sodom dan Gomora merefleksikan suatu relasi kreatif antara Tuhan dan manusia. Masa depan yang diterima dan ditolak ini sebagian besar berdasar pada seberapa besar kontribusinya terhadap kesejahteraan orang lain.

Dalam pemahaman sedemikian, setiap momen eksistensial manusia dan dunia tidak pernah menjadi kadaluarsa atau hilang, melainkan terabsorbsi ke dalam Allah. Artinya, setiap peristiwa pengalaman (masa lalu, masa kini, masa depan) menjadi peristiwa yang mengandung kualitas ilahi dan karenanya berharga. Dalam setiap momen, Allah terus menerus belajar setahap lebih tinggi tentang diri manusia. Dia belajar sebagai Allah yang hadir dalam tiap momen eksistensi kita. Manifestasi manusia Kristus, misalnya, adalah salah satu momen yang melaluinya Allah belajar memanusiakan keilahian-Nya. Allah tidak berinkarnasi, karena memang kualitas keilahian-Nya yang sempurna dan final tak mungkin tertampung dalam keterbatasan kodrat manusia. Allah hanya membangkitkan kesadaran akan kualitas ilahiah dalam eksistensi kemanusiaan Yesus yang digunakan sebagai energi positif untuk menemukan kebenaran-kebenaran lebih dalam dari setiap pengalaman.

Peristiwa Kristus adalah suatu fiksasi tindakan bermakna dalam sekuen pengalaman-pengalaman kemanusiaan. “Kristus” menjadi simbol berlangsungnya situasi transaksi pengalaman fundamental dalam realitas kemanusiaan dan dunia. Dialektika kultural yang dialami Kristus menjadi dasar untuk berjumpa secara riel dengan manusia. Kemanusiaan adalah actual occasion dari Kristus. Itu sebabnya Kristus tidak menghindari wacana budaya dengan masyarakat sipil, termasuk dengan dunia politik. Di sini kebudayaan manusia menjadi ranah penting. Tanpa kebudayaan manusia, Kristus hanyalah “sebuah kata” yang terlepas dari belantara makna “teks-teks” sosial. Artinya, tanpa berteologi dengan sebuah pertautan erat pada seluruh sistem simbolik kebudayaan manusia, kita terus mengalienasi Allah ke dalam sebuah matra nirwaktu (ahistoris), sehingga Allah hanya menjadi entitas awamakna yang bisu karena tidak mengerti bahasa dan simbol-simbol budaya manusia. Kebisuan tidak pernah menghasilkan sebuah wacana.

Menyoal-ulang Misi Kekristenan

Dengan konseptualisasi seperti itu, pendekatan terhadap hubungan Islam-Kristen di Maluku mesti dilakukan dengan memberikan fokus pada berbagai wacana identitas budaya yang inheren dalam kedua entitas tersebut. Bahwa di dalam kebudayaan, entitas ilahi mewujud dan menyatukan kemanusiaan di Maluku sehingga dapat menjadi titik awal untuk memulai tugas berteologi bagi kekristenan di Maluku.[31] Di dalamnya pergumulan kekristenan tidak sekadar memberikan makna bagi kehadiran dirinya di tengah dinamika kebudayaan lokal, tetapi juga menggali makna etnisitas dan kebangsaan yang plural dalam mengartikulasikan teologinya yang otentik dalam konteks yang lebih luas.

Kekristenan baiknya memiliki pemahaman diri yang utuh sebagai manifestasi Kristus atau translokusi “teks-teks” Tuhan (yang lahir dari pengalaman-pengalaman spiritual) dalam pergaulan umat manusia. Kemanusiaan dibangun berdasarkan kesediaan untuk mengasihi dan memberikan diri bagi kepentingan orang lain (solidaritas). Kasih dan solidaritas itu sendiri dapat diartikan sebagai wacana simbolik dan tindakan bermakna dari pertautan spiritualitas dan materialitas dalam dunia kebudayaan manusia. Jika kebudayaan dibangun sebagai kesepakatan untuk menjalani kehidupan bersama-sama dalam keberbagaian lokalitas, maka di situ terkandung nilai-nilai kemanusiaan. Bukankah itu berarti bahwa dalam kebudayaan, kekristenan bisa menemukan makna kasih dan solidaritas? Pada momentum tersebut kekristenan dapat melihat tindakan bermakna dari Tuhan yang berkarya dalam simbol-simbol kebudayaan, sejauh itu diinterpretasi secara komprehensif, bukan lagi partikular. Karena Tuhan tidak bisa didefinisikan dalam konsep-konsep baku; Tuhan hanya dapat dirasakan dalam spirit di mana kemanusiaan membangun dirinya sendiri. Dengan kata lain, kebermaknaan Tuhan hanya dapat dialami (occasion of experience) di dalam praksis. Sehingga dengan demikian, keberagamaan kita juga adalah suatu keberagamaan yang bersifat praksis.

Dalam kebudayaan-kebudayaan kita tidak menemukan konsep Tuhan, melainkan praksis kehadiran Tuhan dalam dunia dan terutama dalam bentuk terjalinnya pola-pola relasi manusia yang saling menopang. Tuhan “menuliskan” manifesto kebudayaan bersama-sama dengan manusia. Hubungan antara Tuhan dan kemanusiaan adalah kooperasi mutual, membimbing pada hasil positif agama dalam masyarakat. Dengan memahami kebudayaan manusia, teologi tidak lagi sekadar menjadi tindakan instrumental melainkan suatu praksis komunikasi yang setiap orang belajar untuk mendengarkan dan memahami, ketimbang berkonfrontasi satu sama lain mengenai “kebenaran” versi masing-masing. Jika ternyata relasi Islam-Kristen di Maluku dapat dipahami sebagai manifestasi praksis Tuhan yang memberi inspirasi bagi terciptanya hubungan kemanusiaan yang fundamental, itu berarti pembedahan dimensi kebudayaan adalah sesuatu yang sangat teologis.

Konseptualisasi konstruksi dialogis Islam-Kristen di Maluku melalui studi kebudayaan lebih membuka ruang bagi adanya perjumpaan kemanusiaan yang kreatif. Di sini etnisitas menjadi media penting bagi peristiwa tersebut dan mendorong orang untuk mengapresiasi perbedaan budaya-budaya dalam realitas pluralisme di Indonesia. Ketika proses membaca budaya ini mampu dilakukan sebagai ikhtiar pemaknaan kehadiran kekristenan di Indonesia maka refleksi teologi yang muncul tidak lagi hanya sekadar mencangkokkan teks-teks kitab keagamaan apa adanya ke dalam pergumulan konteks, melainkan sebaliknya terhisab dalam dialektika dekonstruksi-rekonstruksi sistem makna yang dibangun dari situasi sosial setempat.

Dari perspektif ini, etnisitas dapat dilihat sebagai anugerah Tuhan yang mesti dihargai dan digali maknanya untuk menjadi dasar teologis dan ideologis membangun Indonesia. Tanpa apresiasi terhadap etnisitas, agama-agama (khususnya Kekristenan) hanya akan terbelit dalam sikap mereduksi hakikat kekayaan makna Indonesia, yang justru menjadi alasan lahirnya kesepakatan untuk hidup bersama. Pada titik ini, penting bagi kita untuk memikirkan secara serius terlebih dulu pemaknaan konstruksi identitas primordial kita masing-masing sebelum beranjak ke wacana mengenai identitas nasional sebagai konstruksi hibriditas ideologis. Karena harus disadari bahwa hampir sebagian besar pemaknaan mengenai identitas primordial merupakan konstruksi kolonial dalam rangka mengidentifikasi perbedaan antara “pihak penjajah” (colonizer) dan “pihak terjajah” (colonized).

Proses tersebut tidak hanya meliputi perubahan struktur dalam postur kelembagaan Kristen (Gereja), tetapi merupakan transisi paradigmatis. Memang dalam proses itu, seperti kata David Bosch, kita akan mengalami semacam “skizofrenia teologis” karena bekerja dalam dialektika logika Pencerahan ~ pada satu sisi ~ dan pencarian orientasi baru berteologi yang belum tuntas ~ di sisi lain.[32] Apa yang penting untuk dicatat di sini tentu saja munculnya tantangan sosial-politik yang baru bagi proses artikulasi peran dan fungsi agama-agama dalam masyarakat multikultural, serta reformulasi “wahyu” khususnya dari agama-agama teistik kontemporer. Jika hal itu tidak dipikirkan secara serius maka agama-agama akan makin terkerdilkan menjadi atribut pelengkap dari munculnya new spirituality pasca-modern yakni teknologi sibernetika dan internet. Agama baru ini sedang mengubah wajah dunia kita menjadi sebuah dunia yang dibangun di atas lambaran interelasi hegemonik dimana batas-batas “kekuasaan imperialis” dan “yang tertindas” makin kabur dalam eufemisme modernisasi dan kapitalisme global.

Penutup

Kerangka kerja Critical Discourse Analysis yang disebut pada awal tulisan ini memang tidak nampak sebagai kerangka keseluruhan elaborasi. CDA memberikan inspirasi untuk meneropong teks Radjawane sebagai sebuah proses produksi konseptual yang tak terpisahkan dari ketertarikan dan keterikatan pada konteksnya. Karena keterbatasan ruang pula maka tidak seluruh bagian teks itu dapat diurai. Kajian ini dapat dilihat sebagai sebentuk “undangan” untuk masuk dalam diskursus teologis yang lebih debatable sehingga ~ insya Allah ~ melahirkan bentuk-bentuk pemahaman baru dalam menata hubungan-hubungan keberagamaan dan kebudayaan yang lebih segar.

Kepustakaan

Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004)

Bruce Lincoln, Discourse and Construction of Society: Comparative Studies of Myth, Ritual and Classification (New York: Oxford Univ. Press, 1989)

Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005)

Craig R. Prentiss (ed.), Religion and the Creation of Race and Ethnicity: An Introduction (New York: New York Univ. Press, 2003).

David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK GM, 1999)

Frank Cooley, Mimbar dan Tahta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah (Jakarta: Sinar Harapan, 1989)

Frank Cooley, “Indjil dan Adat di Maluku” dalam W.B. Sidjabat (peny.), Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), 220-235.

John B. Cobb, Jr. dan David Ray Griffin, Process Theology: An Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976)

John Hutchinson dan Anthony Smith (eds.), Ethnicity (New York: Oxford Univ. Press, 1996)

Leonard Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (University of Hawaii Press, 1993)

N. Fairclough, Language and Power (London: Longman, 1989)

N. Fairclough, Discourse and Social Change (London: Politiy Press, 1992)

W.B. Sidjabat (peny.), Panggilan kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964)

Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. Translated by Kathleen Blamey and John B. Thompson (Northwestern Univ. Press, 1991)

R. Batstone, “Grammar in discourse: attitude and deniability” dalam G. Cook dan B. Seidhofer (ed.), Principle and Practice in Applied Linguistic (Oxford: Oxford University Press, 1995)

V. Tilley, “The Term of the Debates: Untangling language about ethnicity and ethnic movement” dalam Ethnic and Racial Studies 20 (1997), 511-512.

W. Braun dan R.T. MacCutcheon (eds.), Guide to the Study of Religion (London, 2000)



[1] W.B. Sidjabat (peny.), Panggilan kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), 70-85. Pendeta Dr. Arnold N. Radjawane adalah pendeta Gereja Protestan Maluku dan dosen matakuliah Perjanjian Lama pada Fakultas Teologi UKIM Ambon. Ketika tulisan ini dibuat beliau sudah memasuki masa emeritusnya.

[2] N. Fairclough, Discourse and Social Change (London: Politiy Press, 1992), hlm. 132-133.

[3] R. Batstone, “Grammar in discourse: attitude and deniability” dalam G. Cook dan B. Seidhofer (ed.), Principle and Practice in Applied Linguistic (Oxford: Oxford University Press, 1995), hlm. 198-199.

[4] N. Fairclough, Language and Power (London: Longman, 1989), hlm. vi.

[5] Fairclough, Language and Power, hlm. 26.

[6] Lihat D.B. MacKay, “Ethnicity” dalam W. Braun dan R.T. MacCutcheon (eds.), Guide to the Study of Religion (London, 2000), 96-109. Dalam Politics Aristoteles memakai istilah ethnos untuk mendeskripsikan “orang-orang asing dan barbar” yang berbeda sekali dengan orang-orang Yunani yang beradab seperti dirinya sendiri (MacKay, 98).

[7] Gagasan-gagasan ini pula yang sangat mempengaruhi paradigma misiologi dari badan-badan misi (zending) yang masuk ke Maluku bersama-sama dengan proses kolonialisasi Barat. Proyek Pencerahan telah melahirkan karakter keberagamaan (Kristen) yang triumfalistik terhadap kebudayaan-kebudayaan bukan-Barat (dan bukan-Kristen). Atau dengan kata lain, kekristenan adalah pantulan spirit eurosentrisme.

[8] Lihat Max Weber, “The Origins of Ethnic Groups” dalam John Hutchinson dan Anthony Smith (eds.), Ethnicity (New York: Oxford Univ. Press, 1996), 35.

[9] Fredrik Barth, “Ethnic Group and Boundaries” dalam John Hutchinson dan Anthony Smith (eds.), Ethnicity (New York: Oxford Univ. Press, 1996), 75-82.

[10] Lihat D.B. MacKay, “Ethnicity” dalam W. Braun dan R.T. MacCutcheon (eds.), Guide to the Study of Religion (London, 2000), 102.

[11] V. Tilley, “The Term of the Debates: Untangling language about ethnicity and ethnic movement” dalam Ethnic and Racial Studies 20 (1997), 511-512.

[12] Tilley, ibid., 514-515.

[13] Lih. Craig R. Prentiss (ed.), Religion and the Creation of Race and Ethnicity: An Introduction (New York: New York Univ. Press, 2003). Buku ini mendeskripsikan sejumlah pertautan agama dan etnisitas yang terjadi di dalam beberapa masyarakat di sejumlah negara.

[14] Di Pulau Jawa dikenal sebagai “desa” meskipun ada perbedaan karakteristik sosiohistoris yang cukup tegas di antara konsep “desa” (Jawa) dan “hena” atau “negri” (Maluku). Proses agregasi simbol-simbol agama dan budaya lokal ini tidak dapat dipahami sebagai proses linear, melainkan interpretatif.

[15] Sebagai contoh, Pulau Ambon. Pulau ini menyerupai huruf “U” (karena terdapat teluk Ambon). Di sebelah utara disebut Jazirah Leihitu, didiami oleh negri-negri Salam (Islam); di sebelah selatan disebut Jazirah Leitimor, didiami oleh negri-negri Sarane (Kristen). Sebelah timur merupakan wilayah batas yang dalam pandangan masyarakat tidak bisa dimasukkan ke dalam salah satu wilayah dari kedua jazirah itu.

[16] Bruce Lincoln, Discourse and Construction of Society: Comparative Studies of Myth, Ritual and Classification (New York: Oxford Univ. Press, 1989), 24-25.

[17] Frank Cooley, Mimbar dan Tahta: Hubungan Lembaga-lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), 53. Lihat juga Frank Cooley, “Indjil dan Adat di Maluku” dalam W.B. Sidjabat (peny.), Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1964), 220-235.

[18] Lihat Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 27. Hibriditas menandai karakter masyarakat-masyarakat lokal pascakolonial. Hal itu terutama dapat dilihat pada fenomena kreolisasi dalam genre bahasa-bahasa lokal. Dalam percakapan dengan seorang tokoh masyarakat di negri Liang (Islam), berkali-kali dia menggunakan istilah “Tete-Manis” untuk menyebut nama Tuhan; sementara di beberapa negri Kristen ada pengistilahan “Upu Yesu”. Ada beberapa komunitas kecil generasi tua di salah satu jemaat kota Ambon yang masih getol berkomunikasi memakai bahasa Belanda ~ yang bisa dipahami sebagai social boundaries dengan kelompok-kelompok lain.

[19] Dalam cultural studies dikenal argumen anti-esensialisme yakni bahwa identitas bukanlah sesuatu yang eksis; ia tidak memiliki kandungan universal atau esensial. Identitas merupakan konstruksi diskursif, produk diskursif atau cara bertutur yang terarah tentang dunia ini. Identitas dibangun, diciptakan ketimbang ditemukan, oleh representasi, terutama bahasa. Lihat Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 12.

[20] Fenomena ini dapat dilihat dari arsitektur baileu di negri-negri Salam/Sarane yang telah direnovasi menurut rancangan arsitektur modern dan menggunakan material modern, serta tidak lagi mengikuti aturan adat. Penyimpangan ini kemudian ditafsirkan sebagai makin teralienasinya pandangan dunia adatis dari diskursus sosial masyarakat negri kontemporer.

[21] Pernah pada suatu masa sebagian besar rakyat Ambon-Lease mengalami booming hasil cengkeh. Penduduk yang memiliki dusun cengkeh menyekolahkan anak-anaknya ke Pulau Jawa dan Makassar. Sebagian besar mengambil studi kedokteran. Mereka ini representasi generasi modern pasca kemerdekaan Indonesia yang tidak lagi “berminat” pada matra budaya lokal Maluku. Di sisi lain, animo besar di kalangan muda untuk menjadi “pendeta” juga mengindikasikan adanya suatu pewarisan nilai-nilai spiritualitas pietistik untuk beroposisi dengan tendensi penguatan semangat primordialisme adatis.

[22] Lih. Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004), 80-83.

[23] Pada masa pemerintahan kolonial, kebijakan “kebebasan mempertahankan budaya lokal” diperlukan agar tidak menimbulkan perlawanan rakyat yang akan sangat mengganggu aktivitas administratif pemerintahan dan ekonomi kolonial. Sehingga dapat dimengerti bahwa pada masa-masa kolonial cukup berkembang tulisan-tulisan mengenai hukum adat (adatrecht).

[24] Lih. Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 60. Bagi Althuser, ideologi memiliki dua sisi: pertama, ideologi adalah pengalaman yang dijalani, meliputi pandangan dunia yang menjadi landasan orang untuk hidup dan menyelami dunia ini. Karena itu ideologi tidak palsu (seperti yang dikemukakan oleh Marx). Kedua, ideologi merepresentasikan hubungan imajiner individu dengan kondisi eksistensi nyata mereka.

[25] “Kolonial” di sini tidak hanya dipahami sebagai suatu peristiwa pengalaman dalam rentang sejarah masa lalu, tetapi juga mengindikasikan karakter kekuasaan yang selalu berada dalam polarisasi “menguasai-dikuasai”. “Kekristenan” (Katolik) lebih tua usianya daripada Protestantisme. Sikap tegas terhadap “adat” muncul dalam Pesan Sinode 1960. ini juga dipengaruhi oleh situasi sosial, politik dan perekonomian yang dihadapi GPM. Wawancara dengan Dr. A.N. Radjawane tanggal 23 Juli 2006 di rumahnya.

[26] Leonard Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period (University of Hawaii Press, 1993), 55. Menurut Andaya, pandangan dan sikap pluralisme itu rupanya lahir dan bertahan karena pandangan dunia “dualisme” di Ternate dan Tidore. Jalinan hubungan ini membingungkan orang Eropa. Kendati kedua kerajaan bersumpah untuk saling bermusuhan, mereka tetap saling menasihati tentang setiap aktivitas orang Eropa yang dapat mengancam kesejahteraan masing-masing.

[27] Lih. Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 11. Hegemoni adalah proses penciptaan, perawatan dan reproduksi makna dan praktik yang menguasai kehidupan masyarakat. Hegemoni berakibat kepada situasi di mana satu ‘blok historis’ kelompok-kelompok berkuasa menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan terhadap kelompok-kelompok subordinat lewat kemenangan konsensus.

[28] John B. Cobb, Jr. dan David Ray Griffin, Process Theology: An Introductory Exposition (Philadelphia: Westminster Press, 1976), 14-15.

[29] Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. Translated by Kathleen Blamey and John B. Thompson (Northwestern Univ. Press, 1991), 150.

[30] Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. 151.

[31] Saya memakai “kekristenan” di sini untuk menggantikan terminologi “gereja” yang secara konotatif lebih memberikan gambaran yang strukturalistik ketimbang fungsional. Walaupun saya sadar bahwa tanpa “tubuh organisasi” sebuah agama akan lebih bersifat introver (individual) dan tidak berdampak sosial dalam pergaulan bersama di tengah-tengah masyarakat multikultural.

[32] David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK GM, 1999), 296.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces