Aku menulis maka aku belajar

Friday, December 7, 2007

Tolak Bush atau AS

Gelombang demonstrasi menolak kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush terus mengalir. Berbagai komentar pun mencuat dari para politisi, akademisi maupun rakyat. Reaksi atas kunjungan Presiden AS itu memang mesti disikapi secara arif.

Pada satu sisi, protes sebagian elemen masyarakat Indonesia mengindikasikan bangkitnya sikap kritis terhadap praktik-praktik kekuasaan despotik yang selama ini dipamerkan AS melalui berbagai kebijakan luarnegerinya. Sikap kritis itu, terutama dari rakyat Indonesia, sebenarnya merupakan pesan keras kepada pemerintah AS yang pasca Perang Dingin memproklamirkan eksistensinya sebagai “polisi dunia”. Kepongahan politik itu nampak dalam wujud kebijakan luarnegeri yang sarat kekerasan. Lihat saja sepak terjang militer AS dan sekutunya di Afganistan dan Irak. Alih-alih melahirkan demokrasi yang dijargonkan oleh Presiden Bush, kebijakan luar negeri dan kampanye antiteror AS malah menyeret rakyat negara-negara tersebut ke dalam kancah perang saudara yang paling mengerikan awal abad ini. Pada titik itu, kita harus berkonfrontasi dengan AS.


Di sisi lain, sikap kritis terhadap kunjungan Bush sebagai Presiden AS seharusnya menjadi momentum untuk menunjukkan kedewasaan politik kita sebagai suatu bangsa yang berdaulat. Untuk itu, protes yang tak kalah kerasnya juga mesti disasarkan kepada pemerintah Indonesia yang akan melakukan percakapan kenegaraan selama kurang lebih 10 jam. Transparansi agenda percakapan kedua pemimpin negara itu layak untuk diketahui dan dicermati secara luas. Agenda tersebut akan menjadi indikator apakah memang kita (Indonesia) memposisikan diri sebagai pihak tertunduk ataukah mitra sejajar dalam hubungan politik bilateral. Dalam konteks ini, keberanian kita sedang diuji untuk menunjukkan kesantunan politik sebagai bangsa yang berdaulat melalui keterbukaan dan keramahan menerima seorang tamu negara, sekaligus oposisi.

Agenda Politik Kemanusiaan

Agenda pertemuan kedua pemimpin negara ini tentu sangat berkait dengan hubungan kerjasama bilateral. Namun, hal terpenting yang mesti ditempatkan sebagai roh dari percakapan tersebut ialah upaya membangun sebuah diskursus politik dan praktik kebijakan internasional yang lebih manusiawi. Kekalahan Partai Republik dalam perebutan kursi Kongres Amerika Serikat (DPR dan Senat AS) membuktikan bahwa pemerintahan yang “keras” dan “militan” seperti yang dilakonkan oleh Bush, tidak lagi populer dan diminati oleh rakyat AS. Rakyat sudah capek dengan isu-isu kekerasan yang tak kunjung reda mendera publik AS.

Di pihak Indonesia, pemerintahan SBY-JK pun menghadapi sederetan masalah rumit yang saling bertemali. Begitu rumitnya hingga Presiden SBY merasa perlu membentuk unit kerjanya sendiri. Sayang, bukan makin mengurai kekusutan masalah, kehadiran unit kerja presiden ini justru “dianggap” memperumit masalah. Belum lagi persoalan-persoalan seperti teror di Poso, lahirnya generasi baru yang tak gentar bereksperimen dengan bom bunuh diri, kabut asap, bertambahnya orang yang terinfeksi HIV/AIDS secara signifikan setiap tahun, flu burung, sampah, tenggelamnya sebagian Sidoarjo oleh pancaran lumpur panas, dan masih banyak lagi.

Indonesia dan AS mempunyai masalah dalam negerinya masing-masing. Namun tidak dapat disangkali bahwa dalam konteks mondial saat ini setiap negara tidak bisa lagi melihat dan memperlakukan suatu masalah sebagai masalahnya sendiri. Apa yang kita hadapi sekarang ini lebih merupakan jejaring masalah berkelindan. Tetapi sepanjang sejarah hubungan Indonesia-AS, kita nampaknya selalu menjadi pihak yang terpinggirkan. Secara fisik kita diakui ada tapi visi kita acap diabaikan. Pola relasional semacam itu merupakan refleksi relasi penjajah-terjajah dalam kemasan yang lebih cantik atau “neo”. Ironisnya, kerangka pikir kita pun terbentuk secara hegemonik untuk mengidentifikasi diri dalam perspektif yang ditentukan oleh “sang penjajah” [lihat bentukan gaya hidup melalui media dan kurikulum pendidikan].

Kritik agar Indonesia tidak berlaku sebagai negara jajahan yang tidak punya harga diri patut diperhatikan secara serius. Namun indikatornya tidak bisa hanya pada sebuah peristiwa kunjungan Bush ke Indonesia dengan penyambutan yang [terkesan] berlebihan. Bush [saat ini] tidak bisa dilihat terlepas dari kekuasaannya sebagai Presiden AS. Oleh karena itu, perspektif kritis baiknya ditujukan kepada manajemen kekuasaan politik-ekonomi-pendidikan pemerintah AS yang tidak manusiawi dan punya andil besar menghancurkan masa depan bumi dan umat manusia.

Masalah-masalah pelik kita di dalam negeri saat ini tak lepas dari invisible hands AS atau sebagai dampak politik luarnegeri AS. Jika kita mendaku bahwa kita bukan bangsa terjajah, mestinya seluruh perspektif dan gaya politik nasional kita berorientasi pada kemandirian strategi politik yang kontekstual. Sebab tak terpungkiri bahwa kita sekarang memang sedang tertindas di bawah hegemoni politik-ekonomi-pendidikan AS dan negara-negara Barat lainnya, yang menjadi patron modernisasi dan demokrasi. Masalah-masalah itu tidak bisa dihadapi hanya dengan demonstrasi dan aksi bakar bendera AS saja, tetapi harus lebih substansial menusuk ke jantung persoalan kita di Indonesia: KEMISKINAN. Harga diri kita jatuh bukan karena rusaknya [sebagian] Kebun Raya Bogor untuk membuat helipad. Harga diri kita mestinya lebih terusik dengan seabreg masalah yang melilit kita dalam benang kusut kemiskinan dan kekerasan yang terus menerus menimbulkan korban jiwa dari antara anak bangsa ini.

Jika ada seorang anggota DPR yang dengan keras menolak kunjungan Presiden AS karena alasan “Orang ini penjahat perang yang tangannya berlumuran darah”, maka itu seharusnya menjadi kritik-diri kepada kita semua: apakah tangan-tangan kita bersih dari lumuran darah? Ataukah kita sebenarnya setuju dengan Bush-way tapi memolesnya dalam topeng hipokrisi agar kita kelihatan lebih “bermartabat”? Kalau memang kita menolak Bush karena kekuasaannya sebagai presiden telah menimbulkan pertumpahan darah di mana-mana, itu berarti gaya politik kita seharusnya tidak boleh menimbulkan pertumpahan darah; atau minimal berkeinginan membangun kehidupan bersama yang pluralistik dan demokratis tanpa harus selalu pamer kekuatan untuk memaksakan keinginan, seperti yang dilakukan oleh Bush, bukan? Bush adalah gambaran pemimpin yang sebenarnya tidak berkarakter pluralistik dan demokratis. Mungkin karena faktor itu pula popularitasnya hancur di dalam dan luar negeri AS. Tetapi AS tentu tidak identik dengan Bush. Nah, dengan demikian yang jadi soal lagi-lagi harus kita pilih: sebenarnya kita menolak Bush atau Amerika Serikat? Kita tunggu saja sejauh mana nyali keindonesiaan kita teruji berhadapan dengan “Mr. President”.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces