Aku menulis maka aku belajar

Friday, December 7, 2007

Reformasi Misi Gereja: Apa Lagi?

Tulisan sederhana ini didasarkan pada asumsi bahwa gereja-gereja di Indonesia merupakan “anak kandung” dari konteks gumulnya. Artinya, dinamika kontekstual keindonesiaan dipahami sebagai sebuah proses “bersalin” yang melaluinya gereja secara berkesinambung melahirkan bentuk-bentuk baru cara menggereja di Indonesia. Pergulatan panjang menafsir tradisi ajaran gereja yang diadopsi sejak periode pekabaran injil, keterlibatan emosional-politis dalam pergolakan politik lokal di beberapa daerah, partisipasi aktif dalam pergerakan nasional kemerdekaan Indonesia dan pembangunan nasional pascakemerdekaan, hingga keterperangkapan dalam konflik sosial di sejumlah daerah yang penuh darah dan penderitaan, menjadi rangkaian konteks sosio-historis yang – sadar atau tidak sadar – telah membentuk karakter eklesiologis gereja Indonesia.

Karakter eklesiologis itu juga dideterminasi oleh paradigma misiologi Kristen yang terus mengalami pembaruan dan reinterpretasi. Hakikat gereja adalah misi Kristus. Gereja bukanlah organisasi politik, meskipun ia hidup dan bertumbuh dalam suatu realitas politik dan kekuasaan manusia. Gereja juga bukan suatu “kumpulan orang-orang suci” atau “organisasi sorgawi”. Keterlibatan sosial-politisnya tidak terhindari karena memang itulah karakteristik gereja. Dalam arti luas, politik adalah dimensi vital dunia ini dimana Allah berkarya dan umat-Nya dipanggil untuk merespons. Seperti dikatakan Dieter Hessel dalam Reconciliation and Conflict: Church Controversy over Social Involvement (1980:15), “...the church cannot be politically indifferent... All spiritual-moral issues have political dimensions, and all political decisions have spiritual-moral implications. So we have to think both ways about religion and politics’.”

Gereja adalah institusi mandataris yang menjalankan suatu grand-narrative pembebasan manusia dari keterbelengguan diri akibat keterbatasannya dalam memahami hidup dan eksistensinya. “Institusi” di sini bukan hanya dalam arti kelembagaan, melainkan suatu entitas (keseluruhan pemaknaan diri secara total dalam ruang dan waktu). “Mandataris” berarti bahwa gereja bukan berada untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain. Jadi, gereja selalu berada dalam gerak ke luar, bukan ke dalam; inklusif bukan eksklusif. Seluruh gerak dan visi gereja tidak muncul begitu saja, tetapi didasarkan pada cara dan proses memaknai penga­laman-pengalaman iman yang diinterpretasi dari Alkitab. Gereja mengemban mandat untuk memberitakan perjumpaan pengalaman imannya kini dengan pengalaman rohani dari Alkitab. Alkitab ditempatkan sebagai sebuah buku yang menarasikan bagaimana manusia mengekspresikan pengalaman-pengalaman iman dalam kenyataan hidup di dunia. Pemahaman Alkitab sebagai “firman Tuhan” tidak dipahami secara harfiah bahwa Tuhan berbicara langsung kepada manusia, melainkan Tuhan berfirman melalui pengalaman-pengalaman hidup manusia. Oleh karena itu, manusia harus belajar membaca dan menafsirkan pengalaman-pengalaman hidupnya sendiri untuk memahami kehendak Tuhan. Hanya dalam paradigma semacam itulah makna sola scriptura menjadi lebih terbuka, bukan eksklusif dan rigid.

Jika eksistensi dapat dipahami sebagai “cara mengada”, maka cakupan maknanya meluas ke seluruh bidang kehidupan yang digeluti manusia. Artinya, tidak ada satu pun ranah hidup manusia yang tidak bisa disentuh oleh gereja. Semua ranah hidup manusia adalah ranah menggereja dalam arti seperti di atas. Dengan demikian, dalam konsep menggereja sebenarnya tidak berlaku dikotomi profan-sekular. Dikotomi itu justru membatasi secara naïf hakikat misiologi gereja yang termanifestasi dalam petualangan teologis tanpa batas. Untuk apa? Untuk memahami siapa dan apa fungsinya dalam dunia riel tempat ia hidup dan bertumbuh.

Perjumpaan Agama-agama

Pertanyaan tentang untuk siapa dan apa fungsi [meng]gereja dalam dunia riel merefleksikan keterarahan gereja keluar dirinya. Jika bergerak keluar, berarti ia membuka dirinya untuk mengalami perjumpaan dengan “yang lain”. Suatu perjumpaan selalu mengandaikan terjadinya interaksi dan komunikasi. Terjadi dialog.

Secara sosiologis, gereja adalah lembaga religius yang berdiri di atas ideologinya sendiri. Artinya, gereja memiliki landasan ide yang dianggap mengandung kebenaran absolut. Di atas kebenaran absolut itu gereja hidup. Namun, di luar dirinya ada banyak lembaga-lembaga religius lain yang juga berdiri di atas ideologinya sendiri. Oleh karena itu, ketika gereja bergerak keluar untuk berjumpa dengan agama-agama lain, sebenarnya terjadi diskursus mengenai kebenaran-kebenaran absolut (perhatikan: “kebenaran” dalam bentuk jamak, bukan tunggal).

Jadi, pemahaman misiologis Kristen (dalam batasan ini) mesti dipahami sebagai suatu “percakapan” (conversation), bukan “pengkristenan” (conversion). Kristenisasi, atau apapun namanya, adalah suatu bentuk penindasan, bukan percakapan. Penindasan selalu memosisikan ada pihak yang kuat atau benar, pada satu sisi, dan pihak yang lemah atau tidak benar, pada sisi lain. Pola relasinya adalah subordinasi. Sementara percakapan selalu memosisikan “yang lain” dalam pola relasi egaliter dan setara (equal).

Realitas kehidupan beragama di Indonesia selama ini mengindikasikan secara kuat bahwa agama-agama masih terbelenggu dalam pemaknaan “kebenaran absolut” yang tunggal. Hal inilah yang menyebabkan banyak sekali benturan interpretatif karena masing-masing agama ingin memperebutkan hak milik atas satu “kebenaran absolut”. Apa yang terjadi pada gilirannya adalah penindasan demi penindasan. Tidak ada perjumpaan, tidak ada percakapan, tidak ada komunikasi egaliter. Bahasa penindasan adalah bahasa kekerasan. Di sinilah letak problem agama-agama dalam membangun komunikasi antariman.

Menjumpai agama-agama lain secara komunikatif dan egaliter semestinya juga menjadi cara baru menggereja jemaat-jemaat Kristen di Indonesia. Kita percaya bahwa Allah sudah “berfirman” dalam pengalaman sejarah kita selama ini, terutama pada realitas konflik dalam konteks pluralitas sosial. Seharusnya kita belajar dari “firman Tuhan” itu bagaimana membangun cara hidup kristiani dalam konteks multikultural dan multiagama di Indonesia. Komunikasi dan relasi egaliter antarkomunitas bukan hanya dibangun berdasarkan asas persamaan budaya atau nenek moyang (pendekatan homogenitas), melainkan mesti pula dibangun berdasarkan asas perbedaan, yang memperkaya pengalaman hidup bersama setiap komunitas (pendekatan multikultral).

Misi gereja yang masih bercorak “pengkristenan” mengindikasikan bahwa cara kita menggereja masih sangat bersifat kolonial (relasi subordinasi), yang pada gilirannya menimbulkan resistensi karena dianggap telah merenggut “kemerdekaan” beragama orang lain. Bagaimana kita merumuskan “percakapan” seperti apa yang dapat kita lakukan dengan agama-agama lain sangat ditentukan pada apakah kekristenan kita di Indonesia masih berkutat pada hal-hal “sorgawi”, ataukah sudah secara sadar mengarahkan hidup pada kemanusiaan dengan seluruh situasi problematiknya.

Desakan Globalisasi dan Krisis Nasional

Globalisasi ekonomi telah menimbulkan efek domino yang mengubah kebijakan politik negara-negara di dunia. Desakan globalisasi yang diikuti oleh berkembangnya teknologi informasi-komunikasi secara signifikan telah membuka sekat-sekat antar­komunitas dunia yang selama ini terisolasi, sehingga menjadi transparan. Namun jika dicermati, seluruh proses perubahan massif akibat globalisasi ini sebenarnya mengarah pada lahirnya bentuk-bentuk neo-imperialisme yang tak kalah bengisnya dari periode kolonialisasi abad-abad lampau. Mekanisme pasar bebas membuka peluang sangat besar bagi negara-negara maju untuk mengeksploitasi kekayaan negara-negara dunia ketiga sebagai kompensasi pembayaran hutang-hutang luar negeri yang tak terlunaskan (karena itu negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, sebenarnya hidup dari hutang-hutang itu). Lilitan hutang luar negeri dan kewajiban untuk melunasinya telah melumpuhkan seluruh mekanisme politik dalam negeri suatu negara. Hampir seluruh kebijakan dalam negeri suatu pemerintahan tidak lagi didasarkan pada kebutuhan rakyatnya, melainkan “dipaksa” untuk menyesuaikan diri dengan keinginan negara-negara maju pemberi donor.

Neo-imperialisme abad ke-21 secara nyata telah memarjinalkan rakyat dunia ketiga dan menciptakan mekanisme politik-ekonomi dehumanistik. Rakyat dunia ketiga tertawan dalam sistem perekonomian global dan tetap menjadi korban berbagai praktik ketidakadilan dan kekerasan struktural. Ketidakberdayaan masyarakat dunia ketiga lantas melahirkan lingkaran kekerasan, karena manusia terkondisikan dalam pola relasi kom­petitif yang secara signifikan menggeser hakikat kemanusiaan sebagai subjek menjadi objek-objek ekonomi. Harga diri manusia tidak lagi dilihat utuh dan eksistensial, tetapi direduksi menjadi sebuah nilai ekonomi untuk kepentingan mesin birokrasi dan korporasi.

Konteks globalisasi ekonomi dan krisis nasional yang ditimbulkannya ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Kemampuan untuk melahirkan sebuah cara alternatif hidup bersama yang kembali menempatkan kemanusiaan sebagai subjek akan sangat ditentukan bagaimana gereja (dan juga agama-agama lain) merumuskan dan mengimplementasikan misinya secara kontekstual. Daya tarik ekonomi dimana kemanusiaan diposisikan sebagai objek menjebak masyarakat (jemaat) ke dalam sebuah gaya hidup konsumeristis yang dilandasi oleh semacam shoping libido, yakni hasrat untuk berbelanja tanpa batas demi kepuasan semata. Belanja bukan lagi sebuah tindakan ekonomi secara sadar untuk memenuhi kebutuhan hidup­nya, namun demi kepuasan diri semata.

Globalisasi ekonomi dan krisis nasional juga melahirkan proses pemiskinan dan marjinalisasi komunitas-komunitas lemah, serta semakin memperkuat atau memperkaya kelompok-kelompok kecil konglomerat. Resistensi sosial muncul di mana-mana sebagai akibat rakyat kecil kehilangan hampir seluruh hak hidupnya dan tergilas oleh birokratisasi politik-ekonomi yang jelas-jelas menguntungkan segelintir elite-elite politik dan ekonomi. “Kompetensi” dan “kompetisi” menjadi terminologi kunci dari seluruh proses globalisasi ini. Siapa yang tidak berkompeten, ia tak layak berkompetisi. Siapa yang tidak masuk dalam arena kompetisi (atau menjadi kompetitor yang kompeten), ia akan tergusur tanpa ampun.

Apakah konteks globalisasi semacam ini telah menjadi bagian dari proses berteologi gereja-gereja Indonesia abad ke-21? Ataukah gereja malah makin asyik masyuk mempersolek dan mempersaleh diri tanpa hirau sama sekali dengan pergumulan kompleks masyarakat dimana gereja hidup dan berkarya?

Teologi Pembebasan dalam Keindonesiaan

Konstelasi konteks yang terurai ringkas di atas tentu bukan dongeng 1001 malam. Itulah konteks berteologi gereja di abad ke-21. Pertanyaannya: Paradigma berteologi seperti apa yang mesti kita konstruksikan dalam realitas semacam itu? Pertanyaan ini menjadi penting karena akan sangat menentukan pemahaman misiologis gereja saat ini. Jika tajuk bagian ini memakai istilah “teologi pembebasan”, itu berimplikasi pada dua hal: (1) hakikat teologi sebagai sebuah praksis pembebasan dan (2) salah satu aliran pemikiran teologi yang berkiblat pada praktik ketidakadilan ekonomi.

Pertama, hakikat teologi sebagai sebuah praksis pembebasan. Teologi Kristen lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari interpretasi Injil (kabar sukacita) kepada orang-orang tertindas. Tetapi Injil bukan hanya sebuah kabar gembira, melainkan action. Hal ini secara gamblang ditampilkan oleh para penulis Injil dalam kisah dan ajaran Yesus Kristus. Dalam kisah kelahiran Yesus, misalnya, dituturkan bahwa para gembala (representasi kaum marjinal) tidak hanya menerima kabar kelahiran Yesus dari malaikat, tetapi juga disuruh pergi untuk mencari bayi itu. Itu berarti, Allah menyingkapkan matra keilahian-Nya untuk ditemukan oleh manusia di dalam suatu realitas kemanusiaan. Para penulis Injil secara implisit juga menunjukkan bahwa orientasi misi Yesus bukanlah untuk mencari “pendukung” (supporter), melainkan “murid-murid” (disciples). Pendukung sulit belajar dari orang yang didukungnya dan biasanya berkepentingan mendapatkan bias kekuasaan dari mereka. Berbeda dengan murid-murid. “Murid-murid” adalah komunitas yang belajar dan terus mengalami transformasi karena selalu berjalan dan hidup dengan sang guru. Sebagaimana pula fungsi profetik Yesus, yang selalu berpikir dan bersikap kritis terhadap dinamika masyarakatnya. Bukan menjauh dari masyarakatnya, melainkan bergumul bersama masyarakatnya. Dalam fungsi sedemikian, seorang nabi (PL) dan Yesus (PB) sering dianggap sebagai pemberontak oleh penguasa karena dalam kiprahnya tidak berpedoman pada arus utama (mainstream), tetapi pada “kebenaran” yang berpihak kepada korban ketidakadilan struktural.

Kedua, istilah teologi pembebasan secara eksplisit digunakan oleh salah satu tradisi pemikiran teologi yang konsern terhadap praktik-praktik ketidakadilan ekonomi. Basis teoretis teologi pembebasan ini merupakan kolaborasi konseptual dan reflektif antara pesan pembebasan Kristus dan kritik Marxisme terhadap kapitalisme. Sebagai arus pemikiran teologi yang kritis, teologi pembebasan (sempat) tidak popular dalam diskursus teologis gereja-gereja di Indonesia. Mazhab teologi ini dikuatirkan akan menghambat dinamika pembangunan nasional yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Itu berarti memosisikan gereja vis-a-vis negara. Jika itu terjadi bisa berbahaya. Seperti kegetiran yang terbersit dalam untaian kata pengantar bukunya Compassionate and Free yang baru terbit di Indonesia 28 tahun kemudian, Marianne Katoppo menulis, “Pada awal tahun 1980 ada penerbit Katolik di Indonesia yang mau menerbitkannya. Almarhum Justinus Kardinal Darmojuwono, yang turut menghadiri ATC I (Asian Theological Conference, pen.) itu, sudah membuat Kata Pengantar. Ternyata penerbit tersebut membatalkan niatnya tanpa memberikan alasan. Maklum, pada waktu itu Orde Baru yang berkuasa, yang tidak bersahabat dengan theologia pembebasan. “Theologia seorang perempuan Asia” memang digolongkan dalam kategori theologia pembebasan.” (Compassionate and Free – Tersentuh dan Bebas: Teologi Seorang Perempuan Asia, 2007:xvii).

Hipotesis ini tentu tidak valid lagi ketika gereja-gereja hidup dalam kenyataan ketimpangan ekonomi dan terus membisu. Teologi pembebasan dalam arti kedua ini sebenarnya mendorong gereja agar terus-menerus mendekonstruksi pesan profetiknya secara baru sesuai dengan perkembangan zaman. Sebagai yang demikian, teologi Kristen atau gereja bisa berdialog dengan ilmu-ilmu pengetahuan yang menyiapkan piranti kritis bagi proses penajaman praksis berteologi.

Tantangan konteks abad ke-21 sungguh-sungguh menantang gereja untuk merekonstruksi arus pemikiran teologinya secara kritis. Mindset tradisi berteologi yang lebih terarah pada mencari “pendukung” mesti dikritisi secara terbuka sebagai sebentuk pola menggereja yang berorientasi pada kekuasaan kompetitif. Teologi pembebasan menawarkan alternatif cara menggereja yang lebih berorientasi pada pembentukan komunitas “murid” yang terus-menerus belajar mencari kehendak Tuhan dalam pengalaman sosial dan pribadi manusia. Sang murid hidup dalam realitas sosial-politik, tetapi menolak untuk dikooptasi dan dikorbankan.


No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces