Diskusi ini saya kira menjadi penting karena kembali mengarahkan seluruh orientasi akademik kita kepada substansi pendidikan itu sendiri. Pemerian sejarah kenapa tulisan itu diterakan oleh bung Theo justru menyadarkan betapa "hal-hal yang biasa dilihat" sering terabaikan dalam telusuran historisnya. Sehingga tampilannya hanya dilihat dalam performa dekoratif dan simbolis, tetapi awamakna.
Kita sendiri tidak bisa memungkiri bahwa langgam intelektual kita [sebagai negara pewaris tradisi intelektual Eropa] masih kental terpetakan dalam rasionalitas Pencerahan yang positivistik. Ilmu-ilmu dan teori-teori seolah-olah mengalami kemarau spiritualitas etis yang memberi ruang bagi bernafasnya humanisme yang egaliter. Ujung-ujungnya, ilmu pengetahuan menjadi sebuah ranah perdebatan teoretik yang jauh dari solusi kemelut kemanusiaan. Dalam konteks itulah saya kira penawaran "etika" menjadi sebuah cita-cita agar ilmu pengetahuan tidak makin mandul dalam menyumbang keberlanjutan habitus baru yang memberi kegairahan dalam intersubyektivitas manusia.
Mungkin itu sebabnya meski terengah-engah dalam maraton epistemologinya, postmodernisme terus melakukan pencarian nilai-nilai etis yang selama ini tenggelam dalam "grand-narrative" ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus mengabdi kepada kemanusiaan, bukan sebaliknya. Label "Kristen" dalam akronim UKSW tentu bukan sebuah "kebetulan" tapi suatu "kesengajaan" yang mesti terus dimaknai dalam konteks gumul baru. Kekristenan itu bukan sebuah cap atau stempel supaya kita beda dengan "yang lain" atau menjadi "lain dari yang lain". Melainkan sebuah "peristiwa" yang selalu berkelindan dengan konteksnya. Kita tidak bisa melepaskan "peristiwa Kristen" itu dari historisitasnya. Karena menjadi kristen tidak sama maknanya dengan beragama kristen. Menjadi kristen adalah sebuah proses demitologisasi institusionalisasi spiritualitas agar tidak terperangkap dalam struktur-struktur kepongahan despotik.
Meskipun tidak ada lagi pertanyaan dari Pak Wasi, saya malah berpendapat percakapan kita justru baru dimulai. Asumsi saya: seluruh proses pencarian dan pengejawantahan keilmuan kita ternyata tidak dapat terelakkan dari pendasaran teologis dalam praksis berilmu kita. "Teologi" tentu bukan suatu ranah epistemik eksklusif bagi orang-orang yang menyebut diri "teolog". "Teologi" bukan persoalan kaum pendeta yang rajin berkhotbah. Tetapi "teologi" adalah roh dari seluruh proses kita untuk terus "menjadi" sahabat bagi bumi dan seluruh penghuninya.
Ilmu pengetahuan [yang katanya berawal dari perintah Tuhan untuk "menguasai bumi"] ternyata telah menjadi biang kerok eksploitasi lingkungan hidup dan penghancuran tatanan relasional manusia dan bumi. Kita sedang terseret dalam krisis ekologis yang mengerikan [bayangkan saja bagaimana nasib saudara-saudari kita yang sedang "ditenggelamkan" oleh semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo]. Mereka sedang menjadi komunitas tanpa identitas [hilang tanah, hilang sejarah, hilang masa depan].
Kalau dulu, kakek-kakek kita doyan sabung ayam demi kesenangan, sekarang ilmu pengetahuan memberi "ayam" yang lebih canggih dalam wujud senjata nuklir. Negara-negara sedang siap menyabung nuklir. Konflik sosial tidak lagi mengerikan tapi menjadi sebuah guyonan realitas yang menghibur kaum opresor dan meninabobokan rakyat dalam mitos SARA.
Di situlah pengujian terhadap seluruh karakter berilmu kita berlangsung. Apakah kita hanyalah pengecer-pengecer teknologi dan ilmu pengetahuan, ataukah sudah menjadi pencipta-pencipta yang "rasa tahu diri" (etis) dan bukannya "rasa diri tahu" (rigid) sehingga kita tidak [lagi] terperangkap dalam kepongahan bak "gajah" yang merasa diri besar dan siap melabrak siapa saja.
No comments:
Post a Comment