Sidang Sinode GPM tahun 2005 merupakan momentum penting dalam sejarah kekristenan abad ke-21 di Maluku. Momentum itu dianggap penting karena jemaat-jemaat GPM baru saja melewati masa krisis panjang dalam bentuk konflik massal antara kelompok penganut “agama Kristen” dan “agama Islam”. Konflik yang meledak pada tanggal 19 Januari 1999 dan berlanjut dalam skala massif selama kurang-lebih empat tahun masih meninggalkan bekas-bekas luka psikologis yang mendalam. Kendati kondisi sosial-politik-ekonomi-budaya masyarakat makin menunjukkan progres dalam pemulihan sosial, namun tak dapat dipungkiri bahwa konflik sosial masih berpotensi terjadi dengan memanfaatkan kerentanan masyarakat akibat konflik panjang itu. Dalam kenyataan sejarah itulah GPM mencoba untuk tetap survive. Tentu seluruh dinamika sejarah getir tersebut harus dilihat sebagai catatan penting dalam membangun seluruh refleksi teologis dan tindakan pelayanan yang makin relevan dengan realitas sosial masyarakat Maluku, yang di dalamnya jemaat-jemaat hidup dan berproses. Catatan kecil ini adalah percik pemikiran sederhana yang lahir dari kegelisahan dan kecintaan terhadap gereja dan jemaat. Apa yang terkandung di dalamnya merupakan buah-buah refleksi yang digumuli dan diwacanakan bersama-sama dalam masa-masa pra-sidang sinode GPM tahun 2005. Catatan ini juga lahir sebagai sebentuk refleksi karena keprihatinan kepada gereja dan jemaat yang sudah begitu lama ini menjadi “kambing hitam” dan “korban” dari seluruh tindakan kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara.
1. Restrukturisasi Organisasi Gereja
Sebagai sebuah organisasi keagamaan, GPM membutuhkan perangkat organisasi yang efektif dan kontekstual dalam rangka menjalankan seluruh program pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan tantangan jemaat-jemaat. Organisasi gereja ini mesti dilihat sebagai sebuah instrumen yang memperlengkapi dan memberdayakan jemaat-jemaat agar mampu hidup dalam dinamika perubahan sosial yang terjadi begitu cepat. Sebagai yang demikian, gereja itu sendiri mesti terbuka terhadap berbagai kemungkinan untuk melakukan perubahan pada dirinya. Agar hal itu dimungkinkan, maka gereja perlu membentuk satu unit kerja dalam strukturnya yang berfungsi sebagai instrumen analisis seluruh kebijakan gereja (internal) dan juga dampak kebijakan negara terhadap masyarakat (eksternal). Unit kerja yang dimaksud adalah lembaga penelitian dan pengembangan GPM (Litbang). Litbang bertugas untuk mengamati dan mempelajari seluruh proses sosial-politik-budaya-ekonomi yang berlangsung dan dialami oleh jemaat-jemaat di Maluku. Dengan kompetensi maksimal di bidang penelitian dan kajian ilmu-ilmu sosial dan humaniora, litbang berupaya merumuskan persoalan-persoalan sosial yang konkrit, menganalisis dan menyusun berbagai kemungkinan jawaban alternatif yang dapat dilakukan oleh gereja sebagai gereja, bukan sebagai organisasi atau partai politik. Kebutuhan akan adanya litbang ini adalah kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar karena:
- wilayah pelayanan GPM sebagai gereja kepulauan yang sangat luas mempersulit pemetaan persoalan kewilayahan (tata ruang) secara cepat.
- Sebagai salah satu provinsi yang kaya dengan sumber daya alam laut dan hutan, Maluku sudah lama menjadi target utama para investor asing. Mereka memperoleh konsesi dan proteksi yang besar dari pemerintah Indonesia untuk mengeruk habis-habisan kekayaan alam Maluku. Dalam kenyataannya, praktik-praktik perusahaan nasional atau transnasional tersebut kerap mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat lokal, bahkan memarjinalisasikan kehidupan masyarakat lokal.
- Perubahan sosial dan perilaku masyarakat dalam menyikapi perkembangan teknologi di bidang informasi dan komunkasi khususnya di kota Ambon, tidak dapat dilihat sebagai fenomena biasa. Ia harus disikapi dengan sikap kritis agar tidak terperangkap dalam sikap ekstrem (menerima atau menolak tanpa rasionalisasi proses tersebut).
- Konflik Ambon masih berpotensi meledak jika proses hidup bersama dalam konteks pluralitas sosial tidak dikelola secara kritis dan rasional, bukan emosional buta. Karena itu kajian-kajian budaya perlu menjadi agenda utama dari proses berteologi gereja di Maluku.
- Pemekaran sejumlah kabupaten di Maluku perlu dilihat sebagai proses membangun kehidupan berdemokrasi yang sehat dan rasional. Namun dalam kenyataannya, pemekaran kabupaten telah dilihat sebagai ladang politik yang memicu berbagai friksi dalam masyarakat lokal. Di sinilah gereja perlu terlibat aktif dalam proses pembelajaran demokrasi populis.
Fungsi litbang sebenarnya sudah dijalankan oleh Pusat Penanggulangan Krisis GPM selama masa-masa konflik. Berbagai kegiatan pengumpulan data dan dokumentasi peristiwa, analisis konflik dan hipotesis-hipotesis yang dirumuskan dalam rangka memberi masukan bagi gereja untuk menentukan langkah-langkah strategis mengatasi dampak konflik, telah menjadi instrumen organisasi yang efektif. Oleh karena itu, suatu unit dengan fungsi sedemikian mestinya dimasukkan dalam struktur BPH Sinode.
2. Pendidikan
Kondisi pendidikan mengalami penurunan kualitas secara drastis, khususnya pada masa pasca konflik. Namun hal ini juga turut diperparah oleh berbagai kebijakan pemerintah pusat di bidang pendidikan yang dirasakan sangat diskriminatif bagi kelompok masyarakat tertentu. Banyak peluang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tidak dapat dinikmati oleh orang-orang Ambon (Islam atau Kristen) karena lebih banyak dimuati oleh kepentingan-kepentingan primordial yang sempit para penentu kebijakan. Sampai sejauh mana gereja mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi atau menyiasati kondisi ini tentu sangat ditentukan pada konsern gereja untuk menjadikan bidang pendidikan umum dan teologi sebagai bagian integral dari proses berteologi secara kontekstual. Keseriusan itu hanya akan tampak jika paradigma berteologi gereja dapat dialihkan secara signifikan dari perhatian pada hal-hal bersifat struktural gerejawi kepada hal-hal praksis pendidikan. Dalam konteks itu, seluruh energi pelayanan tidak lagi terfokus semata-mata pada program-program pembangunan fisik (misalnya, membangun gedung gereja yang megah), tetapi lebih jauh pada program-program pengembangan mutu pendidikan (misalnya, rekonstruksi kurikulum pendidikan umum sekolah-sekolah yang dikelola oleh yayasan milik gereja). Untuk itu, restrukturisasi yayasan pendidikan harus dilakukan secara reformatif dengan didasarkan pada:
- rekruitmen kader-kader yang berkompeten dan berpengalaman di bidang pendidikan (untuk mengelola yayasan pendidikan dan tenaga guru)
- rekonstruksi pola-pola pembelajaran umum yang berbasis pada pendekatan sistem belajar mengajar secara professional
- penyediaan beasiswa yang menopang kegiatan dan kebutuhan belajar siswa sehingga dapat mencapai prestasi yang memadai untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
- penyediaan buku-buku pelajaran yang disusun oleh pendidik-pendidik lokal sehingga lebih memberi porsi yang besar bagi muatan lokal
3. Sosial Budaya
Konflik sosial yang terjadi telah meninggalkan beban sosial yang cukup berat bagi masyarakat Maluku. Kegelisahan mencuat di seputar masalah: apakah kebudayaan Maluku sudah kehilangan daya perekat sosialnya di kalangan komunitas orang Maluku ketika berhadapan dengan fragmentarisasi akibat perubahan sosial yang dahsyat? Kecenderungan untuk meninjau kembali elemen-elemen budaya yang selama ini telah menjadi simbol pemersatu komunitas orang Maluku ternyata makin tereduksi menjadi dekorasi-dekorasi kebudayaan yang dangkal. Pemilahan identitas sosial berdasarkan garis agama makin mempertajam benturan ideologis-teologis. Catatan sejarah panjang mengenai benturan kekristenan dan kebudayaan lokal; atau asimilasi kebudayaan lokal dengan kekristenan, memang sebuah agenda yang tak pernah selesai dalam sejarah gereja Maluku. Proses itu telah melahirkan sebentuk kekristenan lokal dengan karakteristik yang khas. Berteologi kontekstual sudah berlangsung seumur kekristenan itu sendiri. Dalam konteks Maluku dimana kekristenan diintroduksi melalui kolonialisasi dan monopoli tata niaga cengkih telah menempatkan kekristenan dan kebudayaan lokal dalam pola relasi tak seimbang.
4. Politik
Dalam sejarahnya, gereja tidak pernah lepas dari konteks politiknya, apakah itu dalam bentuk praktisnya maupun ideologinya. Gereja itu sendiri dapat disebut sebagai sebuah entitas politik yang berusaha mendapatkan pengaruhnya dari sebanyak mungkin orang (pengikut) dengan dilandasi “ideologinya” sendiri. Dalam hal tertentu ideologi yang digunakan oleh gereja (apakah bisa disebut “teologi”?) dapat lebih berbahaya daripada ideologi-ideologi sekuler karena dilegitimasi oleh kekuasaan ilahi. Itulah sebabnya isu agama menjadi isu yang sangat sensitif dalam konteks kehidupan politik Indonesia yang multiagama. Konflik Ambon yang kental diwarnai spirit sektarianistik, aksi-aksi penutupan gereja-gereja di Jabodetabek, fatwa MUI terhadap aliran Ahmadiyah, sampai yang terakhir (30 September 2005) peledakan bom di beberapa kawasan wisata di Bali, mengindikasikan secara gamblang bahwa persoalan agama adalah sebuah persoalan politik yang serius. Penyelesaian masalah-masalah politisasi agama itu tentunya tidak bisa direspon secara simplistik hanya dengan memberlakukan ritual-ritual keagamaan semata. Persoalan-persoalan politisasi agama dan agamanisasi politik harus diselesaikan dengan sebuah kerangka berpikir politis yang jernih dan juga sikap politis yang jelas. Dalam konteks Indonesia, gereja-gereja (termasuk GPM) tidak bisa dan tidak boleh mendiamkan realitas benturan ideologisasi agama antarkelompok beragama. Pemetaan yang jelas terhadap medan gumul politik gereja akan membuat gereja dewasa dalam menyikapi seluruh persoalan ketatanegaraan dan kebijakan publik yang diimplementasikan oleh negara. Tujuan dari pemetaan itu semata-mata agar gereja memiliki daya tawar yang kuat terhadap dominasi negara yang pada gilirannya memarjinalisasi rakyat.
Tugas gereja dalam bidang politik juga adalah melakukan pembelajaran politik kepada seluruh rakyat/jemaat. Hubungan gereja/jemaat dengan negara atau partai politik bukanlah hubungan patron-klien, melainkan kemitraan yang bersifat mutual simbiosis. Artinya, eksistensi gereja bukanlah subordinat dari negara/parpol tetapi mitra setara yang saling memberi kritik dan input dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang sejahtera. Eksistensi negara atau parpol bukanlah sekadar “sumber dana” untuk kegiatan-kegiatan gereja, melainkan mitra dialog dari gereja dalam memahami situasi politik dan berbagai prediksi antisipatif agar tidak terjadi penyimpangan kebijakan oleh negara/parpol.
“Politik praktis” dalam gereja tidak bisa dihindari karena gereja diatur oleh manusia-manusia yang saling berinteraksi secara kreatif. Yang mesti dikritisi terus-menerus ialah upaya untuk melakukan praktik-praktik politik dengan mentalitas “bonek” (modal nekat). Artinya, proses politis bergereja tidak dilandasi dengan sikap dewasa dan terbuka terhadap pemikiran-pemikiran baru yang kontekstual. Orang-orang dengan mentalitas “bonek” hanya mengandalkan otoritas semu yang kekanak-kanakan. Kepemimpinan gereja hanya dilihat dalam sebuah skopa sempit bernama “kekuasaan” yang – menurut mereka – bisa diperebutkan seperti anak-anak kecil berebut permen. Yang penting, punya modal (uang atau nekat). Kepemimpinan tidak dilihat sebagai strategi mengelola sumber-sumber kekuasaan dalam organisasi gereja, tetapi semata-mata hanya soal siapa yang jadi “ketua”. Sementara itu, struktur kepemimpinan dan program-program pelayanan tidak mendapat porsi yang semestinya.
Demikianlah catatan kecil ini dibuat untuk menjadi bahan refleksi mengenai orientasi berteologi dan bergereja kita dalam konteks Maluku.
No comments:
Post a Comment