Aku menulis maka aku belajar

Friday, December 7, 2007

Lembaga Pelayanan Kristen dalam Sorotan Profetik Yeremia

Pengantar*

Ada dua kesulitan dalam menyajikan refleksi teologi mengenai perjalanan Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) dan kemungkinan membangun jejaring dalam konteks Jabodetabek:

(1) Kompleksitas Konteks Jabodetabek: Sebagai kota metropolitan Jakarta merangkai dalam dirinya keruwetan antarhubungan sosial yang berkelindan membentuk simpul-simpul masyarakat urban yang antagonistik.[1] Butuh kecermatan dalam mencerap dinamika konteks dan kefasihan menelisik makna-maknanya secara utuh. Kemampuan itu terbentuk dari keterlibatan dan pengalaman-pengalaman riel (individu atau kolektif). “Pengalaman” yang dimaksud tak hanya dalam arti “praktis”, tetapi juga “teoretis”, sebagai bentukan proses abstraksi pengalaman praktis dalam ranah kognisi yang membantu penyusunan skenario prospektif di lingkup kerja masing-masing. Asumsi bahwa yang “praktis” lebih penting dari yang “teoretis”, tidak tepat. Itu akan menggiring pada keluncaspahaman (misunderstanding) mengenai visi dasar yang disepakati dan kedangkalan tindak pelayanan. Tidak menukik ke kedalaman esensi seluruh sistematisasi tindak pelayanan. Di sisi lain, pengandalan analisis teoretis tanpa [mampu] menerjemahkan konsep ke dalam program empiris, hanyalah masturbasi intelektual yang mengawang tetapi tidak menggawang ke tujuan objektif pelayanan. Keduanya sama penting. Aksentuasi berlebihan pada salah satunya malah menciptakan penyekatan antara “intelektualis/akademis” dan “praktisi” yang terkurung di tempurungnya sendiri.

(2) Sebuah refleksi teologi sebagai pendasaran gagasan ideal dan tindakan praktis, serta pertautan keduanya yang mengacu pada implementasi nilai-nilai kehidupan yang berterima dalam kerangka jejaring itu: Seluruh tindak pelayanan kita membutuhkan sandaran ideal yang sahih agar tidak terjebak pada kesempitan matra “kerja” saja, namun menyata sebagai “tindak komunikasi”. Perspektif ideal sedemikian tidak dibangun dalam kehampaan. Sebagai orang Kristen, perspektif itu bisa dibangun – pertama-tama – melalui penguatan konstruksi refleksi teologi sebagai basis matra transendental. Transendental bukan berarti terhempas keluar dari realitas keduniaan, melainkan justru proses abstraksi keduniaan ke dalam spektrum iman kepada Sang Tuhan. Proses sedemikian [harus] berlangsung dalam kejujuran dan keterbukaan terhadap teks Alkitab.

Pembacaan Teks Alkitab dan Rekonstruksi Teologi

Pembacaan teks Alkitab sebaiknya diikuti oleh kesadaran kontekstual bahwa ia adalah bentukan semiotik realitas historis, kultural dan sosiologis yang mengandung ideologi tertentu. karenanya pembacaan teks alkitab tidak bisa secara kasat mata. Diperlukan perspektif sosiohistoris dan analisis wacana yang mendekonstruksi teks/wacana itu, sekaligus telusuran pandangan-dunia (worldview) yang melatarinya. Penghadapan “teks” dan “dunia kini” menuntut kepekaan hermeneutis sehingga produk interpretasi teks mendorong pada terbukanya horison nalar dan iman yang melahirkan karakter kekristenan yang berterima, daripada mendesak teks mentah ke dalam konteks yang tak padan.

Jadi, teks tak sekadar ditranslasi, namun – lebih dalam – tertransformasi secara kreatif.[2] Tanpa jalan (methodos) spiritualitas demikian, kekristenan akan terperangkap pada kedangkalan pemaknaan tekstual yang tak bertaut dengan konteks faktual. Ini hanya melahirkan calo-calo ayat-ayat alkitab yang menjajakan ekstasi sorgawi dan keselamatan jiwa, tanpa berakar dalam pergulatan historis dan kontekstual untuk memahami transendensi tekstual yang terdekonstruksi tadi.[3]

Lantas, “teologi” itu apa? Teologi sudah ada dalam pergaulan manusia sebagai suatu fenomena. Fenomena merupakan suatu kenyataan di dalam pergaulan manusiawi. Di sana kita harus mencari apa yang tetap, umum dan esensial dalam fenomena itu. Tetapi, karena kenyataan itu suatu kenyataan manusiawi maka perlu juga kita dapat “ikut-melaksanakannya” (keterlibatan kritis). Kita membaca gejala itu sebagai data, tetapi selalu dengan latar belakang ikut-melaksanakan. Di sana kita mencoba merealisasikan diri, mengekspresikan diri, ke arah fenomena itu.[4]

Sesungguhnya, kita berteologi sejak kita mulai berpikir tentang iman, meskipun dalam bentuk spontan, kebetulan, tidak secara sistematis dan ilmiah. Teologi ialah percobaan supaya kita – sebagai manusia yang berpikir – mengintegrasikan iman ke dalam kehidupan kita sebagai subjek yang berkepribadian, yang berpikir dan bebas. Dalam iman dan teologi selalu ada dua matra yang konstitutif: (a) matra eksistensial peristiwa yang menjelma dalam fakta-fakta sejarah; (b) matra pemahaman arti, menurut aspek esensi dan struktur-struktur.

Dengan demikian, apa yang disebut sebagai refleksi teologi selalu berada dalam dialektika antara teks (alkitab) – sebagai yang secara imaniah dipercaya menjadi media sosiokultural untuk menyingkapkan serba-sedikit misteri ilahi dalam sejarah kemanusiaan – dan konteks sosiologis faktual yang menjadi ranah pergulatan manusia memaknai kehidupannya di sini dan kini. Refleksi teologi selalu kontekstual, berubah mengikuti jejak gumul zaman, tidak pernah tunggal atau baku.

Merambah Spirit Profetis Yeremia

1. Siapakah nabi itu?

Max Weber mendefinisikan “nabi” sebagai individu dengan suatu kharisma yang melalui kebajikan misinya memproklamasikan ajaran suatu agama atau perintah ilahi.[5] Nabi berbeda dengan fungsionari-fungsionaris institusi keagamaan. Kenabian Israel adalah kenabian etis. Para nabi etis Israel tidak pernah menawarkan jalan keselamatan, tetapi lebih mengarahkan pendengarnya semata-mata kepada perintah ilahi. Para nabi ini tampil ke permukaan sosial ketika terjadi konflik mengenai apa makna dunia sebagaimana dinyatakan dalam agama Israel dan ancaman empiris terhadap eksistensinya (Asyur dan Babil). Tanpa konflik ini para nabi tidak pernah akan muncul.

2. Pergumulan Profetis Yeremia

Nabi ini berkarya dalam kerangka konteks kebuntuan gerakan Reformasi Deuteronomi Yosia dan pergeseran kekuasaan di Timur Dekat kuno dari Asyur ke Babil.[6] Upaya Yosia untuk mereformasi kultus religius dan kebobrokan sosiopolitik di Yehuda, serta penegakan kekuasaan Neo-Daud untuk mengisi kevakuman kekuasaan yang ditinggalkan Asyur, terdegradasi sehingga menihilkan mimpi-mimpi (penguasa) Yehuda.

Inti pesan Yeremia: tatanan sosiopolitik internal Yehuda yang sudah sangat korup akan segera dimusnahkan oleh Babil. Kecuali jika para pemimpinnya bertobat dan memberlakukan keadilan sosial yang telah sekian lama diabaikan. Dalam pandangannya, tradisi perjanjian dan kultus Yerusalem tidak (bisa) lagi memberikan dasar bagi berlangsungnya keamanan dalam ketiadaan keadilan sosial.[7] Upaya menggantungkan nasib pada kekuatan Mesir untuk menyelamatkan diri dari ancaman Babil hanyalah sebentuk eskapisme utopis.

Yeremia menyerukan agar Yehuda merekonstruksi bangunan religiositas dan ideologi politiknya secara fundamental, dengan bersandar pada hukum perjanjian yang didasarkan atas perubahan hakiki nilai-nilai dan kesetiaan. Di tengah kebuntuan spirit reformasi, dia menyatakan komitmennya dengan menyerukan implementasi agresif reformasi sosial pemerintahan Yehuda di bawah Yosia. Namun, reformasi tersebut hanya terjadi dalam bingkai penerimaan formal terhadap realitas kekuasaan Babil.

Ketika pemberontakan Yoyakim dan Zedekia dipatahkan oleh Babil – seperti pada pemberontakan I – Yeremia melihat tidak ada lagi “ruang bernafas” bagi reformasi internal. Dia mendesak Zedekia agar menyerahkan diri. Sebab, tanpa raja atau kultus kuil suci, kehidupan rakyat Yehuda akan tetap berlanjut. Akseptabilitas Yeremia kepada Babil ditunjukkan dengan keputusannya untuk tetap tinggal di Yehuda dan berpartisipasi dalam rekonstruksi rezim Babil yang dipasak di Mizpah melalui Gedalia, gubernur boneka yang ditunjuk oleh penguasa (tetapi mendukung gerakan politik sang nabi, 40:1-6).

Dalam suratnya kepada mereka di pembuangan (597 sM), Yeremia menasihati untuk tinggal dan menjalani kehidupan secara normal di Babil sebagai antisipasi masa pembuangan yang masih lama (29:1-14). Malah dia berbicara tentang 70 tahun penguasaan Babil atas bangsanya sebelum para kaum terbuang itu dapat berharap untuk bebas.[8]

Persoalan di antara elite politik dan agama pun tak kalah pelik. Kalangan elite politik dan elite agama terbelah menjadi dua kubu yang beroposisi. Pertentangan internal mengerucut sekitar program politik yang antagonistik pada periode 609-586. Satu pihak, para raja dan mayoritas birokrat, imam-imam dan nabi-nabi membentuk partai berideologi otonom. Mereka melihat bahwa pembebasan dari cengkeraman Babil dapat terwujud dengan dukungan (militer) Mesir. Nabi Hananya, yang tak sepaham dengan Yeremia tentang lamanya masa pembuangan (pasal 28) adalah contoh salah satu eksponennya.[9]

Di lain pihak, kelompok lebih kecil yang terdiri dari pegawai istana (termasuk keluarga Shaphan yang aktif dalam Reformasi Deuteronomi), Yeremia (kemungkinan juga nabi-nabi lain seperti Uria dari Kiriath-jearim [26:20-23], Habakuk [?]), serta beberapa imam, membentuk partai koeksistensi. Mereka lebih setuju menerima infiltrasi Babil daripada mendukung gerakan revolusi antiBabil. Karena, sekali revolusi pecah dan gagal, terbentuk stigma “pemberontak” vis a vis kekuatan Babil. Ini bukan langkah yang strategis dan taktis.[10] Ada perbedaan penilaian dan kebijakan dari kedua partai itu sebagai berikut:

Partai Berhaluan Otonomi dan AntiBabil:

  1. “daya-tahan nasional” (national survival) akan terwujud dengan kemerdekaan penuh Yehuda di bawah kepemimpinan yang sekarang.
  2. melihat kelas penguasa sebagai perwakilan resmi yang mewakili kepentingan rakyat. Menjatuhkan mereka berarti menghancurkan rakyat.
  3. melihat benturan utama atau kontradiksi dalam situasi tersebut sebagai konflik antarnegara Yehuda dan Babil.
  4. kehendak Yahweh yang terungkap melalui nabinya (Hananya dll) adalah mempertahankan Yehuda di bawah rezim yang sekarang dengan kebijakan-kebijakan sebelumnya.

Partai Berhaluan Koeksistensi dan Pro-Babil:

  1. “daya-tahan nasional” terwujud hanya dengan pemulihan kondisi sosio-ekonomik dan religio-kultural rakyat Yehuda.
  2. sebaliknya, melihat kebijakan internal di bidang sosio-ekonomi yang diterapkan kelas penguasa sebagai sumber malapetaka bagi kepentingan rakyat.
  3. melihat setiap upaya penguatan kelas penguasa melawan Babil sebagai promosi ketidakadilan sosial yang tak perlu dipertahankan karena akan membahayakan rakyat. Kerja sama dengan Babil akan membuka peluang bagi pembaruan reformasi yang terwarisi dari Yosia.
  4. benturan utama atau kontradiksi sebagai konflik antarkelas kepentingan oposisional antara kelas penguasa dan mayoritas rakyat Yehuda.
  5. kehendak Yahweh yang terungkap melalui nabinya (Yeremia dll) adalah mempertahankan hidup rakyat Yehuda dengan merombak pola dan struktur kepemimpinan (dan kebijakannya) yang sekarang melalui tindak politik dan pembersihan oleh militer Babil.

Memaknai Pergumulan LPK dalam Sorotan Yeremia

1. Partisipasi dan penguatan civil society

Reformasi Deuteronomi Yosia diinspirasi oleh teks-teks keagamaan yang direvisi dan direinterpretasi para penulis kerajaan (scribes class) sesuai dengan tujuan reformasi. Teks-teks ini pula yang menginspirasi kritik profetik Yeremia. Malah, dengan perspektif baru, bahwa reformasi total dapat terjadi dengan intervensi Babil. Oleh para penentangnya, sikap Yeremia ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kedaulatan Yehuda alias tidak nasionalis. Toh, bagi Yeremia, apa arti konseptualisasi nasionalisme ketika – dalam praktik – penindasan terbesar terhadap rakyat Yehuda justru dilakukan oleh para pemimpinnya sendiri. Di sini terjadi transposisi secara interpretatif dari teks ke tindakan konkret.

Kritik profetis Yeremia didasarkan pada keterlibatan bersama rakyat. Ini ditunjukkan dengan keputusan untuk tetap tinggal di Yehuda bersama rakyat dan mendampingi mereka agar memahami peristiwa ambruknya Yehuda sebagai suatu proses reformasi total. Dalam menjalankan misi kenabiannya, Yeremia tidak bekerja sendiri. Dia melakukan sosialisasi secara intens untuk menjaring banyak kawan (dengan visi yang sama) ke dalam lingkaran kelompoknya. Kritik dan sikap oposisinya bergaung lebih keras dan efektif justru karena ia berada dalam jejaring kelompoknya.

2. Kritik Ideologi Kekuasaan (Politik dan Agama)

Yeremia menggiring kesadaran para pemimpin (politik dan agama) bahwa seharusnya yang menjadi tolok-ukur implementasi kekuasaan adalah “kemanusiaan”. Jika prasyarat ini tidak dipenuhi sehingga rakyat harus menjadi tumbal kekuasaan, maka Tuhan akan tampil sebagai pembela rakyat. Tuhan bekerja dengan cara-Nya, bukan cara manusia. Cara Tuhan penuh dengan ketakterdugaan karena Ia tidak bisa dipasung oleh klaim-klaim teologis atau doktrin yang dikredokan institusi agama (Israel). Apalagi jika kredo keagamaan ternyata digunakan sebagai legitimasi kekerasan dan pleidoi teologis atasnya. Tuhan bebas bergerak dalam matra universalitasnya menerobos ke dalam setiap sumsum kehidupan manusia dan kesemestaan alam. Tugas manusia adalah mencermati setiap fenomena kenyataan manusiawi dan menemukan makna tindakan Tuhan tersebut dengan perspektif kemanusiaannya (sosial, budaya, politik, ekonomi, dll). Capaian langkah tersebut ialah makin berkualitasnya nilai dan hidup manusia. Ketika hal ini tidak terpenuhi maka refleksi teologi [mesti] menjadi kritik ideologi terhadap tendensi kekuasaan yang menggilas esensi kemanusiaan.

Pada momentum ini “refleksi [ber]teologi” sebagai aktivitas iman setiap orang makin kaya dengan makna apabila aktivitas tersebut saling ditautkan dalam jaring-jaring relasi dan pengalaman bersama. Sehingga berteologi tidak lagi menjadi tindakan individu tetapi kolektif (dengan bobot kualitas yang beragam). Kalau demikian, teologi yang kita wacanakan adalah teologi sosial.[11] Pemahaman berteologi sebagai aktivitas iman bersama (teologi sosial) menjadi signifikan saat berhadapan dengan kompleksitas situasi problematik pelayanan di Jabodetabek.

3. Pluralitas sosial sebagai arena pelayanan progresif

Kalau begitu, dalam gerak transposisi dari teks ke tindakan, bagaimana memahami anjuran “usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang”? Menurut saya, anjuran ini bukan eksplisitasi sikap fatalistis karena ketidakberdayaan atau hipokrisi. Tetapi merupakan teguran keras kepada para elite politik dan elite agama Yehuda yang dibuang agar bersikap realistis terhadap kenyataan hidup di pengasingan dan tidak terbuai mimpi-mimpi tentang pembebasan dalam waktu dekat atau harapan semu untuk berkuasa lagi.[12] Dengan bersikap realistis dan mau mengenal konteks hidup yang baru bersama dengan kelompok masyarakat lain, mereka dapat mengatasi perasaan teralienasi itu. Daripada bermimpi, situasi tersebut lebih baik dipahami sebagai waktu (kairos) dan ranah (oikos) untuk menemukan makna kehendak Tuhan dalam carut-marut kenyataan sosiopolitik dan sejarah nasional mereka. Untuk menuju ke arah sana, bukan usaha spontan, tetapi membutuhkan tindakan strategis dan kepaduan relasi berjaringan. Dalam perspektif itu, ancaman bisa dikelola menjadi peluang membangun diri dan masyarakat yang berkarakter majemuk. Kita tidak bisa menafikan pluralitas sosial (dalam konteks perkotaan). Konteks pluralitas sosial ini harus mendeterminasi gagasan dasar dan pola pelayanan kita, serta menjadi arena berlangsungnya implementasi pelayanan yang lebi progresif. Itu bisa terlaksana jika kinerja kita berada dalam gerak bersama, tidak sendiri-sendiri.

Kita memang tidak berada di “pembuangan” (exile), tetapi locus Jakarta merupakan melting pot yang kaya dengan perbedaan dan kesenjangan sosial. Tanpa pemahaman konteks yang utuh, bisa-bisa kita teralienasi secara sosial dari pergulatan kerakyatan lokal. Apalagi berhadapan – langsung maupun tak langsung – dengan kekuasaan yang menghimpit ruang gerak kita untuk berproses bersama dalam tindakan pembebasan rakyat dari berbagai proses dehumanisasi (situasional maupun sistematis). Ketika rakyat dibenamkan dalam kebudayaan bisu dan kepatuhan semu. Dalam keadaan itu – bisa jadi – tanpa strategi dan ekstensifikasi lingkup jejaring, kita pun tak berdaya atau dilumpuhkan, lalu akhirnya lebih memilih asyik-masyuk dengan kesibukan diri sendiri. Agar terhindar dari perangkap itu, kita butuh banyak kawan dalam satu jaringan komitmen (lintas-agama) dan visi kristiani yang sepadan (antar-LPK), yang paham dengan realitas konteks kota besar.[13] Tanpa itu, horison spektrum masalah yang kita tangani hanya terpahami secara parsial. Pemahaman yang fragmentaristik dan tak utuh akan menggiring kita pada pola tindakan praktis yang distorsif (tidak tepat sasaran atau tidak sesuai yang dibutuhkan).

Akhirulkalam

Dinamika reformasi sosial Indonesia hingga kini ternyata tidak beranjak dari kubangan lama. Malah menampakkan versi lain kekuasaan kuasi-despotik, yang tak kalah bahayanya dengan karakter kekuasaan sebelumnya. Kita perlu menyiapkan masyarakat dampingan menjadi corpus christianum, bukan dalam spirit kristenisasi, tetapi penebaran benih-benih Injil dalam bentuk yang manusiawi (non-violence), yang mengarah pada penguatan civil society tanpa terkooptasi kekuasaan dalam bentuk apapun (termasuk agama). Orientasi utamanya ialah terjadinya pencerahan yang mendorong proses pembebasan: dari kemiskinan, dari pembodohan, dari kekerasan, dari ancaman penyakit, dari penipuan, dll. Bagi saya, tidak ada yang lebih injili daripada upaya pencerahan dan pembebasan manusia dari tindak dehumanisasi multirupa. Ini berimplikasi pada penemuan kembali harkat-martabat kemanusiaan yang telah tergusur ke wilayah periferi wacana publik. Saya tidak tahu apakah anda [masih] percaya pada hakikat manusia sebagai citra kemuliaan Allah (imago Dei). Tetapi premis teologis tersebut perlu pembuktian empirik dalam karya kemanusiaan kita melalui jejaring LPK. Begitulah!



* Disampaikan dalam Forum Konsultasi Jaringan Kerja Regional Lembaga Pelayanan Kristen (LPK) Wilayah Jabotabek tanggal 25-27 Maret 2003 di Ciawi Bogor, Jawa Barat.

[1] Lih. J.E. Goldthorpe, Sosiologi Dunia Ketiga: Kesenjangan dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 238-257. Juga James Goldsmith, Perangkap (Jakarta: Yayasan Obor, 1995), hlm. 4. Menurutnya, salah satu kekeliruan budaya modern adalah bahwa kita diajari untuk percaya setiap problem dapat diukur dalam istilah perekonomian.

[2] Aminudin, “Pendekatan Linguistik Kritis: Roger Fowler” dalam Kris Budiman (peny.), Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi (Yogyakarta: PSK UGM & Kanal, 2002), hlm. 37. teks merujuk pada wujud konkret penggunaan bahasa berupa untaian kalimat yang mengemban proposisi-proposisi tertentu sebagai suatu keutuhan. Wacana merujuk pada kompleksitas aspek yang terbentuk oleh interaksi antara aspek kebahasaan, sebagaimana terwujud dalam teks, dengan aspek luar bahasa. Interaksi tersebut berfungsi menentukan karakteristik bentuk komunikasi ataupun penggunaan bahasanya, dan menentukan makna suatu teks. Unsur luar bahasa antara lain merujuk pada pemeran/partisipan, tujuan dan konteks.

[3] Dekonstruksi bukan berarti pembongkaran/perusakan, tapi hanya membuka jalan dalam aktivitas berpikir dan penandaan dalam proses penjejakan jaringan makna guna membentuk pemahaman. Lih. Aminudin, “Pendekatan Pasca-struktural: Jacques Derrida” dalam Kris Budiman, ibid., hlm. 170. Juga Gayatri C. Spivak, Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003).

[4] S. Hardiyanto, Pengantar Ke Teologi Lambaran: Objek ~ Persoalan Dasar ~ Metode (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 1998), hlm. 10.

[5] A.D.H. Mayes, The Old Testament in Sociological Perspective (London: Marshal Pickering, 1989), hlm. 44-45.

[6] Disebut Reformasi Deuteronomi karena dalam upaya Yosia dan para skribanya (penulis) merevisi dan mengedit kembali naskah-naskah keagamaan tradisional, mereka banyak terinspirasi oleh gagasan-gagasan dan gaya kitab Deuteronomi (Ulangan). Lih. Robert Coote & Marry Coote, Power, Politics and The Making of Bible: An Introduction (Augsburg: Fortress Press, 1990), hlm. 59-66.

[7] Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible: A Socio-Literary Introduction (Augsburg: Fortress Press, 1985), hlm. 396.

[8] Gottwald, ibid., hlm. 400.

[9] Mengacu pada penghancuran kerajaan Yehuda, Yeremia mengindikasikan bahwa nabi-nabi yang ikut dalam gelombang pertama pembuangan telah mengagitasi sebagian orang untuk cepat kembali ke Yehuda. Yeremia mengingatkan dua di antara mereka bahwa mereka berada dalam bahaya eksekusi oleh Babil atas aktivitas subversif yang dilakukan (Yer. 29:20-23). Lih. Norman K. Gottwald, The Politics of Ancient Israel (Louisville: Westminster John Knox Press, 2001), hlm. 99.

[10] Seorang pemimpin yang ikut dalam pembuangan, Semaya ben Nehelam (imam atau nabi [?]), menulis kepada imam Yerusalem dan menginstruksikan dia untuk mengekang aktivitas pro-Babil Yeremia, yang menganggap Nebukadnezar sebagai “hamba Yahweh”, yang secara ilahi ditunjuk untuk menghukum Yehuda atas kesalahan kultis dan sosial (Yer. 29:24-32; bnd. 27:1-7). Lih. Gottwald, ibid.

[11] Teologi sosial dimaksud mencakup arti sebagai teologi kontekstual. Seluruh teologi dijalankan dan dikembangkan dalam cakrawala kontekstual-kemasyarakatan. Juga dalam arti sebagai teologi khusus tentang keterlibatan umat dalam masalah-masalah masyarakat (mis. Kemiskinan dan ketidakadilan). Lih. J.B. Banawiratma, SJ & J. Muller, SJ, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Kanisius 1993), hlm. 25-26.

[12] Asyur: semua penduduk dan pemimpin Israel Utara dibuang ke wilayah-wilayah sekitar. Akibatnya, penduduk Utara tidak lagi “asli” karena sudah kawin campur dengan bangsa-bangsa di mana mereka dibuang; Babil: hanya para pemimpin yang diasingkan, rakyat sipil tetap di tanahnya. Mereka mempertahankan tradisi endogami (kawin-dalam) untuk menjaga kemurnian etnis. Ini yang menyebabkan orang Selatan (Yehuda) menganggap orang Utara (Samaria) bukan lagi sebagai bangsa pilihan karena sudah tercemar (bnd. Perumpamaan orang Samaria yang baik hati).

[13] Di sini kita sedang “berpolitik” dalam arti tindakan kerja sama dengan orang lain untuk tujuan bersama. Menurut Thompson, untuk itu kita perlu etika politik. Etika ini bisa memberitahu pemimpin politik, missal, untuk tidak merugikan pihak tak bersalah, tetapi etika bisa juga menuntut mereka untuk mengorbankan kehidupan orang tak bersalah demi kebaikan bangsa. Lih. Dennis F. Thompson, Etika Politik Pejabat Negara (Jakarta: Yayasan Obor, 2000), hlm. xix.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces