Dinamika politik Indonesia selama tiga tahun terakhir (sejak euforia reformasi yang menumbangkan rezim lama di bawah kekuasaan Soeharto) menampakkan secara gamblang peningkatan suhu polemik, kalau tidak konflik terselubung, yang begitu tajam khususnya menyangkut arah kebijakan nasional dan masa depan entitas kebangsaan Indonesia sebagai suatu negara. Dimensi pertentangan politis-ideologis yang menyeruak ke permukaan diskursus nasional juga makin diperkeruh oleh berbagai masalah yang berkaitan dengan goyahnya tata perekonomian nasional sebagai "warisan sejarah" dari akumulasi masalah-masalah yang sejak dulu (sengaja) didiamkan. Tarik-ulur masalah dalam satu bidang hidup tertentu dengan sendirinya akan menimbulkan gejolak problematik pada bidang-bidang hidup lainnya. Crucial point ini yang menyeret Indonesia ke dalam krisis multi-dimensi yang tidak jelas pangkal masalahnya dan ujung penyelesaiannya. Lebih jauh, krisis multi-dimensi tersebut akhir-akhir ini tampaknya makin memperlihatkan warna tendensius-sektarianistik.
Wacana keterbukaan khususnya di bidang sosial-politik, yang diintrodusir oleh B.J. Habibie begitu "guru"nya lengser lalu dilanjutkan oleh Abdurahman Wahid (Gus Dur) dengan retorikanya tersendiri, harus diakui telah membuka katup-katup saluran demokrasi yang selama ini mampat. Pada sebelah lain, atmosfer demokrasi yang memberikan kebebasan bagi setiap warga masyarakat menumpahkan segala frustrasinya ternyata telah pula menciptakan fragmentarisasi sosial yang memilah-milah masyarakat ke dalam faksi-faksi politik yang sulit untuk didamaikan.[1]
Lahirnya partai-partai politik pada hakikatnya merupakan implikasi dari suasana kebebasan dan demokratis yang ditawarkan. Fenomena tersebut dapat dicermati dalam dua perspektif yaitu perspektif demokratisasi dan perspektif dialektika ideologis. Perspektif demokratisasi dengan sendirinya membuka ruang yang luas bagi segenap warga bangsa untuk terlibat pro-aktif dalam menentukan kebijakan negara terhadap kehidupan rakyat semesta. Kendati demikian perspektif ini tetap harus berjalan dalam koridor mekanisme demokrasi dan hukum tata negara yang telah disepakati. Sementara itu, dengan perspektif ideologis dapat diamati bahwa kemunculan partai-partai politik tersebut secara esensial bertumpu pada tiga poros ideologi: Islam, Sosialis dan Nasionalis. Bila dengan seksama menengok kembali pergolakan dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, maka ketiga poros ideologi tersebut bukan barang baru dalam diskursus politik Indonesia kontemporer. Jika diakui demikian, itu berarti polemik ideologi politik yang sedang berlangsung sekarang adalah juga implikasi historis dari polemik yang tak usai. Dengan demikian, konstelasi politik Indonesia yang sekarang pun tidak dapat dilihat terlepas dari dua perspektif tersebut.
Kedua perspektif tersebut secara sederhana membawa pada suatu argumen hipotetis bahwa persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia merupakan bagian dari polemik ideologi politik. Krisis yang paling fundamental ialah krisis ideologi, bukan karena miskin ideologi, melainkan karena tidak ada lagi nilai yang disepakati bersama sebagai nilai "yang tak terbantahkan" dalam membangun komitmen hidup berbangsa dan bernegara. Dengan kata lain, tidak ada lagi ideologi bersama yang dilandasi pada eksistensi kemanusiaan yang merdeka dan berkebudayaan. Masing-masing kelompok dan/atau golongan terseret dalam perdebatan tidak rasional yang sering menjurus pada pertengkaran. Lebih runyam ketika pihak-pihak tersebut tidak lagi mengandalkan wacana yang argumentatif-rasional, tapi malah mengandalkan "kekuatan massa".
Dalam kondisi sedemikian, perdebatan wacana politik pada aras elite politik dengan kecepatan yang tak terduga bisa merembet ke aras horisontal yang menghadapkan suatu kelompok massa dari kubu elite politik A dengan kelompok massa dari kubu elite politik B, bahkan yang terakhir antara kubu pendukung dengan kubu yang anti Gus Dur. Terlepas dari soal dukung-mendukung tersebut, secara sosiologis, fenomena ini menampakkan friksi sosial yang daya rambahnya sudah sangat luas dalam interaksi berbangsa dan bernegara di republik ini. Hal ini akan semakin transparan bila seluruh dialektika yang berlangsung dipahami dengan suatu latar belakang dialektika ideologi politik yang belum (tidak pernah) tuntas sejak masa awal kemerdekaan.[2] Wacana yang telah sekian lama mengendap kini naik kembali ke permukaan sejarah konstelasi politik Indonesia kontemporer dengan skala yang lebih besar.
Selain perilaku politik dengan modus pengerahan massa sebagai personifikasi dari elite politik tertentu dalam kultur keterbukaan dan demokrasi transisional, dialektika pertentangan ideologi yang belum tuntas antar simpul-simpul kekuatan politik tersebut juga memberi warna dan corak pada sejumlah konflik horisontal yang berkecamuk secara massif di beberapa daerah dengan nuansa dan intensitas yang berbeda-beda.[3] Konflik-konflik tersebut telah mencapai stadium yang luar biasa parahnya dilihat dari banyaknya jumlah korban manusia dan material. Kasus Aceh, Atambua, Ambon dan Papua yang berlarut-larut menjadi suatu tanda tanya besar yang mempersoalkan kepekaan dan keseriusan pemerintah (sipil maupun militer) Indonesia dalam menanganinya; atau dengan modus yang sama sensitivitas masyarakat yang berkonflik tersebut sengaja dipakai sebagai tumbal untuk melakukan tawar-menawar politik dengan tujuan kekuasaan. Apapun analisanya, berbagai model penanganan, mulai dari pendekatan sosio-budaya, hukum, pemulihan infrastruktur ekonomi bahkan sampai pengerahan kekuatan militer dalam jumlah fantastis, ternyata hingga kini belum mampu meredam dan mengatasi konflik spasial tersebut, sementara korban manusia pun (cacat, hilang, teraneksasi, meninggal) terus bertambah.
Pergolakan di Ambon misalnya, mengandung nuansa konflik yang sangat kental diwarnai oleh semangat sektarian. Bila dibiarkan berlarut-larut, ini akan menjadi bahaya laten yang dengan cepat bisa juga terjadi di wilayah-wilayah lain dan tentu dengan estimasi jumlah korban manusia dan material yang tidak sedikit. Kasus pengeboman Mesjid Raya Istiqlal dan beberapa gereja di Jakarta dapat menjadi indikator empiris bahwa konflik ideologi politik dan tarik-menarik kepentingan kekuasaan antar elite politik dengan mudah dapat menggunakan modus eliminasi yang vulgar tanpa mengindahkan lagi nilai-nilai kemanusiaan universal. Tidak dapat disangkali pula bahwa dalam situasi krusial seperti itu kehidupan dan interaksi agama-agama di Indonesia turut mengalami distorsi substantif dalam memahami makna pluralisme sosial. Penggunaan berbagai atribut dan semboyan keagamaan lalu menjadi klaim dan penanda yang memisahkan "orang kita" dan "bukan orang kita". Dalam hal-hal tertentu oleh beberapa pihak simbol dan atribut keagamaan ini malah dianggap merupakan kekuatan penekan yang efektif bagi pihak yang lain.
Dengan konstatasi tersebut secara sadar mesti diakui bahwa dialektika pertentangan ideologi politik tetap merupakan suatu ranah yang menjadi pokok pergumulan kontekstual gereja-gereja di Indonesia. Pokok ini menjadi urgen oleh karena melaluinya gereja-gereja ditantang untuk menunjukkan visi dan sikapnya vis-a-vis tendensi hegemoni politik yang despotik dan dehumanistik.
Gereja Indonesia dalam Arus Perubahan Politik Kontemporer
Deskripsi ringkas konteks di atas secara sadar hendak menempatkan gereja Indonesia dalam realitas tantangan yang kompleks. Bukan sesuatu yang mesti ditutupi lagi bahwa gereja Indonesia mempunyai kontribusi yang penting dalam penentuan kebijakan politis di Indonesia sejauh gereja Indonesia tetap konsisten dan konsern terhadap situasi problematika yang dihadapi bangsa ini, khususnya menyangkut pembelaan hak-hak kemanusiaan. Namun mengendurnya kealotan dan keuletan sikap gereja Indonesia belakangan ini mesti disikapi secara arif sebagai salah satu manifestasi persoalan internal yang belum tuntas, yakni polarisasi dalam interaksi bergereja baik secara institusional maupun kultural.[4] Kondisi ini sangat besar pengaruhnya bagi pembentukan karakteristik kelembagaan gerejawi dari gereja-gereja di Indonesia dan pada gilirannya juga mendorong terpolanya visi sosial-teologis yang jauh dari realitas ideal sebagai suatu "persekutuan".
Beberapa pernyataan sikap keprihatinan gereja Indonesia, melalui Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sebagai representasinya, terhadap berbagai gejolak konflik yang merebak di seantero wilayah Indonesia, menunjukkan bahwa pada prinsipnya komitmen advokasi terhadap pelecehan nilai-nilai kemanusiaan tetap kuat. Namun mesti diakui bahwa segala bentuk sikap keprihatinan yang diserukan oleh PGI kepada pemerintah bukanlah satu-satunya parameter bahwa gereja Indonesia telah menjalankan fungsi kritik profetisnya secara maksimal. Salah satu kendala utama mengapa gereja Indonesia sering tersandung dalam menentukan sikap politisnya secara kritis kepada pemerintah ialah belum teraktualisasi praksis gerakan keesaan yang telah sekian lama menjadi wacana dalam lingkungan gereja-gereja di Indonesia.
Menurut saya, persoalan ini mengemuka karena sampai sekarang gereja-gereja di Indonesia belum memiliki suatu visi teologis terhadap identitas primordialnya dalam konstelasi struktur kebudayaan secara komprehensif di Indonesia, serta lemahnya refleksi budaya atas tradisi berteologi yang selama ini menjadi mainstream. Orientasinya masih sangat terfokus pada nilai-nilai primordial per se. Pemaknaan identitas primordial dalam spektrum seperti itu yang, menurut John Titaley (lihat catatan kaki no.4), disebut sebagai dialektika dua identitas dalam satu realitas. Identitas nasional hanya bisa dibangun jika identitas primordial dimaknai sebagai yang berada dalam jejaring nilai universal, bukan parsial. Sebaliknya, identitas primordial diapresiasi sejauh di dalamnya setiap manusia ditempatkan sebagai yang berada secara eksistensial bersama masyarakatnya (sosialitas). Hal ini yang menjadikan Indonesia benar-benar sebagai suatu fenomena baru yang menyediakan ruang hidup bagi setiap manusia berekspresi secara leluasa dengan budayanya. Bagi gereja-gereja, Indonesia yang seperti ini mengandung kekayaan teologis yang luar biasa dan oleh karena itu harus diperjuangkan bersama-sama.
Kenyataan hidup menggereja di Indonesia dalam konteks sedemikian tidak bisa dipahami secara pragmatis dalam lingkup "kesatuan" atau "keesaan" semata melainkan lebih jauh dalam skopa paradigma "pluralisme" dalam arti yang luas. Konsep "pluralisme" itu sendiri telah mengalami pemaknaan secara luas di segala bidang kehidupan. Pada dasarnya, pemaknaan pluralisme merupakan bagian dari interpretasi kebudayaan manusia yang muncul dalam ekpresi yang sangat jamak.[5] Dengan demikian, pada satu pihak, kenyataan pluralisme dalam tampilan dan visi kontekstual gereja-gereja Indonesia sebenarnya merupakan kekayaan yang mendorong pendewasaan ke arah kehidupan bersama yang menampung perbedaan dalam kesetaraan. Di pihak lain, realitas kejamakan tersebut juga menjadi tantangan utama yang menghalangi gereja-gereja menetaskan visi dan praksisnya secara kontekstual, khususnya dalam kenyataan hidup menggereja di Indonesia.
Sementara itu, sebagaimana telah dicatat sebelumnya, secara eksternal tantangan yang dihadapi oleh gereja-gereja Indonesia pun sangat berat. Konteks diskursus politik kontemporer yang sedang berlangsung tidak dapat tidak harus menjadi bagian di mana gereja-gereja Indonesia terlibat dalam seluruh dinamikanya. Pengabaian terhadap makna realitas konteks yang plural ini akan semakin menjauhkan eksistensi gereja-gereja Indonesia sebagai elemen integral dalam interaksi kebangsaan yang berlangsung. Di sini gereja-gereja Indonesia sedang mempertaruhkan kredibilitas dan tanggung jawabnya di hadapan seluruh jemaat dan warga bangsa. Bukan "kekuasaan" yang menjadi titik tolak komitmen gereja-gereja melainkan jemaat (aspek partikular) sebagai titik tolak keprihatinan dan manusia (aspek universal). Kejamakan di kalangan gereja-gereja adalah sekaligus basis di mana gereja-gereja berdiri bersama dengan satu pokok keprihatinan: manusia dan kehidupannya. Penderitaan ribuan manusia yang menjadi korban dari pertentangan ideologis serta tarik-menarik kepentingan kekuasaan (khususnya Aceh, Ambon, Papua) seharusnya menjadi konsern bersama di kalangan gereja-gereja untuk membicarakan praksis gerakan keesaan yang selama ini mungkin masih tertinggal dalam bentuk konseptual belaka. Melalui pokok pergumulan yang didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan universal seperti ini sekaligus makin membuat gereja-gereja peka untuk tidak terjebak dalam friksi politik -- sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari -- yang hanya berorientasi pada pemihakan kepentingan politik golongan atau aliran. Kendati untuk itu tetap diperlukan akses dan kapabilitas rasional untuk mejadikan issu-issu kemanusiaan sebagai poros yang mampu mempengaruhi diskursus ideologi politik dan orientasi kebangsaan di Indonesia. Dalam kerangka itulah, praksis gerakan keesaan (oikumene) sebenarnya dapat menjadi test case untuk menguji keseriusan gereja-gereja terhadap setiap bentuk kooptasi dan eliminasi nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan oleh negara terhadap warga negaranya (violation of civil's rights).
Penutup
Sejak awal pergerakan kemerdekaan, gereja-gereja Indonesia sudah memposisikan diri sebagai subyek dalam interaksi kebangsaan, bukan obyek penderita. Sikap peyoratif pihak lain terhadap eksistensi gereja-gereja Indonesia yang sangat dipengaruhi sindrom dikotomik mayoritas-minoritas mesti disikapi secara politis sebagai tantangan berteologi yang rasional-kritis. Interaksi kebangsaan yang mesti dibangun adalah proses rasionalisasi kehidupan beragama dalam suatu masyarakat plural seperti Indonesia yang menempatkan setiap manusia secara eksistensial sebagai makhluk yang berkebudayaan jamak. Kesadaran tersebut, semoga, semakin membawa agama-agama ke arah pendewasaan hidup dalam anugerah Allah yang bernama "Indonesia" tanpa harus kehilangan makna identitas kultural-primordial.
Kedewasaan, kearifan dan keberanian gereja-gereja dalam menyikapi seluruh situasi problematik yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah juga suatu proses pembelajaran demokrasi bagi segenap segmen warga bangsa, khususnya jemaat-jemaat. Dengannya, seluruh aksioma warisan kolonial, yang cenderung mendikotomikan kehidupan menggereja sebagai suatu ranah berteologi yang jauh dari realitas polemik ideologi politik, menjadi luluh. Demokrasi dan perjuangan bersama memantapkan seluruh proses kehidupan bangsa dan negara ini kini mesti menjadi salah satu pusat pergumulan teologi gereja-gereja Indonesia. Dalam pengambilan keputusan beresiko seperti itulah maka PGI secara substansial bukan lagi suatu wadah bersama gereja-gereja di Indonesia, melainkan suatu gerakan bersama gereja-gereja Indonesia. Itu artinya, Indonesia bukan tempat persinggahan sementara tetapi Indonesia merupakan tanah yang di atasnya pohon gereja-gereja berakar dan menghisap seluruh intisari pergumulan kontekstual yang menghidupkan dinamika refleksi teologi dan refleksi budaya gereja-gereja Indonesia. Hanya dalam pemahaman demikian, kehadiran gereja-gereja Indonesia menjadi praksis yang lebih bermakna.
[1] Bnd. Charles F. Andrain, Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), 34.
[2] Lih. Franz M. Suseno, SJ, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis (Jakarta: Gramedia, 1995), 7-32.
[3] Lih. Sindhunata, Sakitnya Melahirkan Demokrasi (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 171-179. Menurutnya, pemutlakan kewenangan ABRI sebagai satu-satunya institusi semasa Orde Baru yang secara legal boleh bekerja dengan menggunakan kekerasan justru menjadi bumerang bagi proses demokratisasi di republik ini sehingga pada gilirannya kekerasan menjadi suatu media penekan yang terstruktur. Lebih jauh melihat implikasinya sekarang, kekerasan sudah menjadi bahasa rakyat.
[4] Menanggapi persoalan ini, Dr. John Titaley, seorang teolog Indonesia, mengajukan tesis bahwa Indonesia per 17 Agustus 1945 adalah suatu fenomena baru yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam konteks seperti itu, setiap entitas kebangsaan (termasuk gereja) memiliki dua identitas yang selalu ada dalam dialektika: identitas primordial dan identitas nasional. Sampai sekarang gereja-gereja di Indonesia masih berkutat dengan identitas primordialnya, belum sampai pada pemaknaan identitas nasional. Hal ini yang melemahkan visi politik gereja-gereja di Indonesia menyikapi persoalan sosial politik yang terjadi.
[5] Lih. Nicholas Rescher, Pluralism: Against the Demand for Consensus (New York: Oxford University Press, 1993), 80. Rescher mencatat ada empat sikap reaksi terhadap pluralisme: scepticism, syncretism, indifferentist relativism, perspectival rationalism or contextualism.
*Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Teologi "SETIA" yang diterbitkan oleh Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA).
No comments:
Post a Comment