Aku menulis maka aku belajar

Friday, December 7, 2007

Pemilihan Presiden: Mencoba Melihat Sisi Lain

KETIKA terjebak dalam antrian panjang mobil di perempatan jalan Jakarta suatu sore, pikiran penulis terusik oleh pemandangan “umum” sekelompok anak kecil dan remaja yang menadahkan tangan dari mobil ke mobil. Mereka menyanyikan untaian bait sebuah lagu pop dengan nada sumbang diiringi ecek-ecek-nya, dan seorang anak cacat sengaja “dipajang” di atas trotoar pembatas di antara pilar-pilar beton penyangga jalan tol.

Yang menarik dan ironis, pilar-pilar beton di sepanjang jalan itu dipenuhi poster-poster sejumlah figur yang saat ini sedang berlomba-lomba menjadi “Indonesian Idol” di mata dan hati rakyat. Menarik, karena selain menampilkan wajah simpatik para kontestan, poster-poster itu juga disertai pernyataan-pernyataan lucu, agak bombastik, kendati lebih banyak tidak realistik.

Ironis, karena poster-poster itu menghadirkan sang tokoh secara simbolik di tengah suatu konteks mikro secara paradoksal. Penulis yakin, para sahabat yang setiap hari mempertaruhkan hidupnya bermandi debu dan asap kendaraan di jalanan pasti sempat menikmati pameran poster-poster itu, meski hanya sekilas.

Mungkin tidak banyak mereka yang tahu bahwa sebenarnya “nasib” para tokoh itu sedikit banyak ditentukan oleh partisipasi politik mereka sebagai warga negara. Mungkin juga banyak dari mereka yang tahu bahwa sosok dalam poster itu sebenanya tidak mereka kenal, karena orang-orang itu tidak hadir dalam realitas sosial hidup mereka sebagai rakyat miskin-jelata secara konkrit. Dan kini, menjelang pemilihan presiden, orang-orang itu seperti turun dari “sorga dunia” untuk menjenguk mereka yang terperangkap dalam “neraka dunia”.

Pemandangan kemiskinan kota adalah sebuah fragmen kecil dari mosaik realitas sosial masyarakat Jakarta. Masih banyak fragmen-fragmen hidup rakyat lainnya yang membentuk jati diri Jakarta sebagai tipe masyarakat kosmo-urban Dunia Ketiga. Realitas kemiskinan kota adalah sebentuk wajah kekerasan struktural yang sebenarnya telah menciptakan suatu pola mata-rantai kriminalitas dari level kelas teri (petty crime) hingga ke level mafia profesional yang, sudah jadi rahasia umum, turut melibatkan komponen-komponen kunci negara.

Tetapi tampaknya fragmen kemiskinan kasat-mata itu sama sekali tidak menggelitik kepekaan calon-calon pemimpin yang saat ini sedang bertarung menuju kursi presiden. Secara pragmatis isu kemiskinan diperlakukan hanya sebagai aset yang siap dijual untuk sebuah target politik. Pertanyaan sederhana yang menyeruak: benarkah calon-calon pemimpin bangsa ini memang memiliki kepekaan nurani atas nasib rakyatnya? Jawabannya tentu sangat bergantung pada bobot subjektivitas personal.

Yang pasti, kepekaan seorang pemimpin terhadap geliat perjuangan hidup dan penderitaan rakyatnya adalah modal sosial yang sangat penting. Seorang (calon) pemimpin bisa saja berkoar-koar dengan sederetan panjang elaborasi teoretik mengenai rencana dan program-program kerja yang akan dilakukannya, tetapi tanpa kepekaan, bisa jadi seluruh uraian programnya hanya mengawang, tidak menggawang.

Spiritualitas Politik

Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang cerdas. Itu pasti. Namun kecerdasan tidaklah cuma terukur pada kemampuan membaca teks-teks teori sehingga menampilkannya bak ensiklopedi berjalan, atau pada gelar akademik yang disandang. Lebih jauh, dia juga semestinya mampu membaca konteks secara cermat dengan kepekaan nurani yang tajam. Kepekaan nurani tidak lahir dalam ruang-ruang kelas kuliah di kampus-kampus atau di ruang-ruang seminar.

Kepekaan nurani lahir dari pergolakan batin yang menatap kenistaan dan penderitaan manusia sebagai sebuah penghinaan bagi kemuliaan Tuhan, Sang Pencipta. Artinya, kesadaran itu hanya terbentuk dalam realitas “jalanan”, di mana seluruh jejaring kompleks aktivitas riil manusia berlangsung secara telanjang. Dalam lingkup pemahaman sedemikian, eksplorasi keberagamaan menjadi salah satu kunci utama dalam prospek kepemimpinan di republik ini.

Jika dibahasakan secara lain, seorang pemimpin semestinya memiliki visi teologis yang membentuk seluruh konstruk kesadaran dan moralitasnya, sebagai pertanggungjawaban amanah kepemimpinannya kepada rakyat dan Tuhannya. Visi teologis seorang negarawan menjadi penting, karena melaluinya seorang pemimpin bangsa menyadari batas-batas kekuasaannya sebagai manusia. Ini merupakan refleksi dari kemahatakterbatasan Sang Tuhan, sehingga ia tidak mencoba-coba menuhankan dirinya melalui eksperimentasi kekuasaan-tanpa-batas.

Konstatasi itu tidak hendak menempatkan “agama” sekadar sebagai sekumpulan simbol-simbol khusus atau ritual-ritual tertentu, melainkan menaruhnya dalam bingkai sistem nilai dan rujukan moralitas yang membatasi keliaran kehendak bebas manusia. Dengan demikian, agama menjadi sebuah spiritualitas yang melampaui dan mengatasi absurditas kekuasaan manusia. Sebagai spiritualitas, agama terbebas dari kungkungan simbolisme yang sering justru mendorong kekuasaan manusia menjadi absurd.

Realitas keberagamaan di Indonesia merupakan kenyataan yang tak tersangkal. Agama-agama mampu menjadi kekuatan perekat sosial bagi keutuhan bangsa ini sejauh para pelaku mengagama memberi ruang interpretatif yang leluasa bagi terbangunnya proses dialog kemanusiaan.

Sayangnya, sejarah hidup agama-agama di dunia, kental diwarnai oleh konflik dan kekerasan, justru karena terlalu banyak memberi ruang bagi kehebatan “tuhannya” masing-masing di bumi yang satu. Kala “si tuhan” kelompoknya menjadi jagoan, maka para penyembahnya pun harus jadi jagoan. Orang lain atau kelompok (agama) lain hanyalah bandit-bandit yang harus ditumpas pada waktunya.

Padahal, menurut John Hick, “tuhan” yang dikenal dalam agama-agama dunia sebenarnya hanyalah cultural name, sebuah artikulasi kultural mengenai eksistensi dari dimensi kekuasaan yang tak terselami oleh sel-sel kelabu otak manusia. Karena itu, manusia mengenal berbagai sebutan “tuhan”. Sebab, manusia terperangkap dalam pembahasaan eksistensi "Sang Maha" itu.

Bahasa sangat terkungkung dalam suatu konteks kultural yang menjadi sandaran nilai-nilai dan ide-ide manusia. Apakah aku harus menyebut “si tuhan” dengan sebutan “anu” atau “una”, tentu tidak diartikulasikan dalam bahasa “sorgawi”, karena aku pasti tidak memahaminya. Jadi aku harus memahami “si tuhan” ini dalam kerangka budayaku sebagai manusia, demikian Hick dalam bukunya God Has Many Name.

Karena itu, tidak mengherankan jika secara ideologis maupun praksis, agama-agama menciptakan ambiguitas (ketaksaan) kekuasaan, yang berayun antara kekuasaan manusia (yang terbatas) dan kekuasaan ilahi (yang tak terbatas). Hampiran teologis agama-agama (berdasarkan interpretasi kitab suci) lebih kerap mengaburkan hakikat penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah masyarakat atau negara.

Di Indonesia, ketegangan ideologis pernah menjadi sebuah pengalaman sejarah yang penting dalam menentukan arah dan dasar negara ini. Bung Karno mencoba untuk mensintesakan kutub-kutub ideologi itu ke dalam konsep “Pancasila”. Dan Soeharto, presiden Indonesia berikutnya, memasyarakatkan Pancasila dan mem-Pancasila-kan masyarakat hingga ke sumsum kehidupan rakyat Indonesia.

Kalau Bung Karno menempatkan Pancasila sebagai landasan hidup bernegara bersama yang melampaui batas-batas ikatan primordial (etnik, agama, ideologi), Soeharto mereformulasikan konsep Pancasila berdasarkan paham primordialnya sebagai seorang Jawa. Tentu pemikiran dan praksis kedua tokoh itu patut ditempatkan dalam bingkai konteks historisnya masing-masing.

Di samping mereka berdua, di kalangan lapisan masyarakat (dari berbagai agama) tertentu juga berlangsung diskursus sengit mengenai Pancasila dalam kaitan tanggung jawab sebagai warga negara. Diskursus-diskursus itu berlangsung sebagai manifestasi keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah perjalanan bangsa ini bersama-sama.

Namun rasanya “Pancasila” tidak lagi dianggap sakti. Bagaimana mungkin kita bisa melupakan kebesaran gagasan itu, yang pada suatu masa dianggap sebagai konsep bernegara setara dengan Declaration of Independence-nya Amerika Serikat dan Manifesto Communist-nya Uni Soviet? Apalagi, sebagai bangsa yang sedang didera oleh berbagai masalah dan konflik bertubi-tubi, kita membutuhkan sebuah gagasan filosofis mendalam sebagai sebuah kesepakatan politik bersama warga bangsa.

Gagasan itu mengikat seluruh warga bangsa dengan komitmen hidup bersama dalam kesetaraan politik dan pluralitas sosial. Juga mencegah terjadinya pembelahan sosial yang tak terkendali dan membawa kita keluar dari kesuraman situasi, menuju pada pencerahan rasional-prospektif.

Dengan menempatkan kembali gagasan Pancasila dalam perspektif baru yang lebih populis, kita sedang mencoba keluar dari kegamangan ideologis. Kita memperkokoh ketahanan masyarakat dari kemungkinan dihanyut-larutkan oleh berbagai propaganda politik para aktor politik dan menjadikannya perekat sosial. Momentum menjelang pilpres ini dapat kita pakai sebagai kasus-uji bagi kepekaan para calon pemimpin untuk bereksperimen dalam arena demokrasi.

Seluruh perhatian dan energi kita tidak boleh tersita habis hanya untuk sebuah proyek politik, dan mengabaikan sejumlah persoalan yang terjadi di luar “lingkaran” Jakarta. Indonesia bukan hanya Jawa dan Jakarta. Dan seluruh wilayah “periferi” bukanlah cuma objek penderita pelengkap dalam pertarungan politik. Seorang strong leader bukan tongkat ajaib yang menjamin berlangsungnya perubahan signifikan ke arah demokrasi.

Dengan demikian, “kesatuan” dan “persatuan” lebih dipahami sebagai sebuah proses, bukan loncatan otomatis yang bisa didesak dengan kekerasan. Dengan cara itu, kita tidak terpenjara dalam berbagai pleidoi dan aksi-aksi yang tidak cerdas. Agama lantas direduksi dalam kedangkalan teologis hanya untuk sekadar mengeruk keuntungan dari proyek politik tertentu, dengan mengumbar kredo-kredo tak andal (unreliability).

Mungkin dalam keruwetan semacam itu, kita perlu tenang dan besar hati “membaca” kembali Pancasila untuk menguak gagasan-gagasan besar yang terkandung di dalamnya. Membaca Pancasila dalam arti baru, tidak perlu dibaca keras-keras dalam setiap upacara, namun dengan hermeneutika politik yang kontekstual di mana setiap warga negara merasa hidup di dalamnya dan menghidupi Pancasila itu sendiri.

Pancasila memang bukan “agama” dalam arti tradisional. Tetapi Pancasila tentu sah-sah saja jika diperlakukan sebagai sebuah kredo politik sejauh urgensinya diletakkan secara proporsional. Artinya, konteks kemajemukan Indonesia tentu tidak bisa hanya direduksi pada rujukan sistem nilai primordial budaya atau agama tertentu saja.

Indonesia dihidupi oleh kemajemukannya dan itu berarti dibutuhkan sebuah kesepakatan nilai-nilai berbangsa yang memberi ruang bagi setiap orang tanpa tersekat dalam ikatan primordialnya, untuk berekspresi secara santun dan cerdas. Setiap orang berhak memberi makna dalam gerak “menjadi Indonesia”. Dengan demikian, Indonesia sebenarnya selalu dalam proses menjadi, dan belum usai.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces