Aku menulis maka aku belajar

Friday, December 7, 2007

Maarif Award untuk Rakyat Maluku


Hidup kita sebagai manusia merupakan serangkaian pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang selalu mengandung makna. Interpretasi terhadap signifikansi makna-makna itu tentu saja sangat bergantung pada kemauan dan kemampuan seseorang untuk menembus lapis permukaan faktual (apa yang dianggap fakta). Kebermaknaan setiap peristiwa dan pengalaman akan makin memudar ketika peristiwa dan pengalaman terjadi berulang-ulang dan konsisten, sehingga makna kemudian menjadi nalar umum (common sense) yang dianggap sudah terketahui. Padahal di dalam setiap proses, tidak ada pengalaman dan peristiwa berulang yang menyertakan makna yang sama. Panta rei, demikian kata eyang Herakleitos, yang terus mengejawantah dalam filsafat kontemporer yang dikenal sebagai filsafat proses (Alfred North Whitehead). Dengan teropong filsafat proses Whiteheadian, “kebiasaan” pun jika dicermati akan selalu menyelipkan pijar-pijar makna baru, sehingga rutinitas sebenarnya bukanlah keterpenjaraan dalam rigiditas ruang dan waktu, melainkan ketidakmampuan memaknai proses internalisasi yang seolah-olah berulang. Dalam asumsi tersebut, “konsistensi” (keberteguhan) bukanlah sebuah keasyikan untuk menikmati suatu situasi pengalaman begitu saja alias tidak mau berubah. Konsistensi, sederhananya, adalah sebuah pilihan hidup untuk memberi makna tiada henti dalam setiap peristiwa dan pengalaman, serta gerakan pengujian diri terus menerus untuk tidak terperangkap dalam kedangkalan nalar umum atas peristiwa dan pengalaman.

Sebagai yang demikian, keberteguhan (konsistensi) bukanlah suatu pilihan yang gampang di dalam sebuah masyarakat yang kecenderungannya terus berubah. Tidak banyak orang yang mau mengambil pilihan itu dengan setia, karena pilihan semacam itu sama sekali tidak populer dalam tren dunia kontemporer. Tetapi bukan berarti tidak ada orang yang mau mengambilnya, dengan segala risikonya. Sejarah selalu terbingkai dalam narasi-narasi manusia yang berani mengambil pilihan berisiko dan selalu menghindar dari tendensi memenjarakan kebermaknaan setiap peristiwa ke dalam nalar umum semata.

Rasanya tak berlebihan jika peristiwa penganugerahan Maarif Award kepada Pdt. Jacky Manuputty dari Lembaga Antariman Maluku dilihat sebagai sebuah narasi baru dalam khazanah sejarah kemanusiaan di Indonesia, dan di Maluku khususnya. Acara penganugerahan Maarif Award kepada dua orang aktivis kemanusiaan, Ariyanto Sangadji (Poso) dan Pdt. Jacky Manuputty (Maluku), yang digelar Senin malam, 28 Mei 2007 di Taman Ismail Marzuki Jakarta, jauh dari kesan glamor ala festival film Indonesia. Tidak ada selebritis atau pejabat yang hadir. Hanya para kerabat dan sahabat dari kedua orang tadi dan segelintir anak-anak muda serta aktivis kemanusiaan yang memang tekun berprihatin dengan tragedi kemanusiaan yang nyaris menenggelamkan republik ini ke dalam lumpur perseteruan.

Kita bisa menggugat, siapa sih mereka? Apa kriterianya sehingga mereka yang terpilih padahal banyak orang yang undercover juga melakukan karya-karya kemanusiaan dan jauh dari publisitas? Tidakkah ini hanya menjadi semacam ajang figurisasi seseorang ke dalam bingkai ketokohan yang semu, sementara cita-citanya adalah berkarya bagi kesejahteraan kemanusiaan? Semua pertanyaan itu layak diajukan, bahkan bisa ditambah lagi. Soal kriteria, silahkan tanyakan kepada Maarif Institute yang punya gawe. Tetapi apresiasi harus diberikan kepada lembaga yang dimotori oleh sejumlah pemikir Islam Indonesia yang bergerak bersama dengan idealisme sang pendirinya, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif. Maarif sendiri adalah sedikit figur bangsa yang memiliki konsistensi tinggi memperjuangkan Islam kultural yang inklusif dan demokrasi yang berkeadilan. Sebagai tokoh Islam, ia berani menegaskan bahwa negara Indonesia harus tetap menjadi negara yang berdiri di atas Pancasila; bukan “negara agama” tertentu.

Dengan demikian jelas bahwa apa yang menjadi salah satu parameter pengujian kedua penerima award tersebut adalah ihwal keberteguhan (konsistensi). Sekali lagi, keberteguhan (konsistensi) sebagai sebuah pilihan hidup untuk memberi makna tiada henti dalam setiap peristiwa dan pengalaman, serta gerakan pengujian diri terus menerus untuk tidak terperangkap dalam kedangkalan nalar umum atas peristiwa dan pengalaman. Pemberian award ini pada hakikatnya mesti dipahami dalam konteks apresiasi terhadap seluruh prakarsa dan pemikiran seseorang yang memberi dampak positif dari perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Tetapi pemaknaan award itu tidak bisa berhenti pada tataran kognitif belaka. Justru proses penilaian atas konsistensi sedang mulai diuji: apakah klimaks atau antiklimaks? Jadi award ini bukanlah “permen” supaya mereka terus berkarya, melainkan “kritik” atas apa yang sudah mereka lakukan dan apa yang sedang mereka rencanakan agar tidak tergerus oleh disorientasi kultus individu atau figur sentris. Award ini juga membuka ruang bagi publik untuk melakukan penilaian atas seluruh karya mereka dan bersama-sama mengawal seluruh proses yang telah dibangun dalam spritualitas “kemanusiaan yang adil dan beradab”, yang dalam pengalaman keduanya ternyata terdistorsi oleh kedangkalan “ketuhanan yang mahaesa” dan “persatuan Indonesia” sebagai produk ideologi nasionalisme dan religiositas dalam cangkang kebenaran tunggal.

Kekuatan visi Sangadji dan Manuputty nampak dalam pilihan mereka untuk membangun conflict resolution dan rekonsiliasi dengan menggunakan unsur-unsur kearifan lokal. Sesuatu yang rasanya naif di tengah terjangan juggernaut globalisasi yang meluluhlantakkan dinamika kearifan lokal masyarakat Dunia Ketiga. Tak sedikit kaum intelektual mencemooh sinis, mau apa dengan kearifan lokal itu, toh kita sudah dalam sebuah periode ultrasonic. Dalam diskursus modernisme, kearifan lokal memang sudah jadi “besi tua” tetapi gerakan kritik-modernisme (pascamodernisme) telah menelanjangi realitas modernisasi sebagai proses dehumanisasi dengan rasionalitas instrumentalnya. Kedua sahabat kita tadi, Sangadji dan Manuputty, setidaknya telah menjadi cermin untuk melihat wajah kita sendiri sebagai rakyat, sebagai jemaat, sebagai kaum beriman, sebagai warga negara, dalam ranah pergaulan yang lebih manusiawi. Mereka mungkin tidak representatif, tetapi kehadiran mereka dalam ranah publik serta merta menyadarkan kita bahwa masih banyak figur-figur incognito yang mengambil pilihan hidup berkarya bagi kemanusiaan dalam keberteguhan (konsistensi), di tengah terjangan gaya hidup konsumeristik dan hedonistik yang melihat “proses” hanyalah sebagai alur yang menjemukan dan useless, lantas hanya berorientasi pada “hasil”: untung atau rugi. Pilihan untuk konsisten dalam proses merupakan sebuah pilihan eksistensial, karena hidup itu sendiri adalah sebuah proses yang berujung pada sebuah kenisbian – seperti Ayub yang berkata, “dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya”. Konsistensi pada proses adalah konsistensi pada hidup itu sendiri. Viva populi!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces