Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, December 11, 2007

Diskusi 1 - UKSW: Menuju Kampus Populis?

JAS MERAH – JAngan Sekali-kali MElupakan sejaRAH, demikian pernah dikatakan Bung Karno. “Sejarah” memang merupakan aspek penting bagi kita untuk belajar tentang apa yang sudah kita lakukan dan dampaknya bagi masa depan kita sendiri. Kita “belajar” dari sejarah kita. Artinya, kita ingin dibebaskan dari keterbelengguan historis yang membuat kita hanya sibuk mengurus [atau bahkan meluruskan] masa lalu. Tetapi apakah “sejarah” itu? Bagi saya, “sejarah” bukanlah fakta, melainkan perspektif tentang apa yang dianggap fakta. Sebagai yang demikian, kita memang bisa mengeksplorasi jutaan informasi yang kita anggap sebagai “sejarah” [padahal itu hanya kumpulan informasi dan analisis yang reliabilitasnya pun tergantung pada vested interest masing-masing orang].

Saya adalah generasi kampus yang TIDAK “merasakan” langsung pergolakan UKSW yang sudah dibahas rekan-rekan milis. Karena itu, saya merasa urun rembug saya akan mubazir karena toh perspektif saya tidak memadai tentang apa yang saya anggap fakta itu. Catatan-catatan dari para rekan milis sudah cukup memberikan gambaran bagaimana rekan-rekan “outsider” dan “insider” meneropong peristiwa saat itu.

Kita harus mengakui bahwa apa yang pernah terjadi di UKSW sangat mempengaruhi eksistensi dan praksis UKSW selanjutnya. Tetapi apakah tepat jika hanya satu “peristiwa” itu kemudian dipakai sebagai parameter tunggal untuk menilai seluruh cara mengada (atau eksistensi) UKSW? Kalau “kemelut UKSW” pernah dijuluki sebagai pergolakan kampus terhebat, saya justru melihatnya hanya salah satu riak kecil dalam perjalanan panjang UKSW yang tak pernah berhenti bergolak. Maksud saya, pergolakan intelektual di kampus diponegoro rasanya TIDAK PERNAH berhenti pasca peristiwa itu. Dalam konteks itulah saya adalah generasi kampus yang MERASAKAN langsung pergolakan [intelektual] di UKSW [bahkan sampai saat ini].

Persoalannya: mungkinkah kita mentranformasi paradigma sejarah sebagai sejarah “orang-orang besar” dan “lembaga-lembaga besar”, menjadi sebuah sejarah populis atau sejarah rakyat yang termarjinalisasi?

Siapa yang tak kenal “Probowinoto”, “Arief Budiman”, “Th. Sumartana”, “Ariel Heryanto”, “Willy Toisuta”, “John Titaley” dll? Saya mengagumi pikiran-pikiran mereka! Dedikasi mereka terhadap UKSW tentu mesti dilihat dalam sebuah cara pandang yang kontekstual, karena mereka juga dibentuk dalam kultur akademik yang berbeda-beda. Karena itu, tidak mengherankan jika gaya kepemimpinan mereka juga berbeda. Tetapi bukankah itu yang membuat UKSW menjadi makin kaya dengan perbedaan?

Tetapi mungkin kita tidak kenal “Mas Joko” tukang sapu kampus beranak 3 yang juga nyambi jualan singkong di pasar Salatiga, “Mbak Retno” penjual nasi pecel di pinggir kampus, “Pak Warno” satpam kampus, “Mbak Indah” pramugerai wartel dan lain-lain... Mereka termasuk “tokoh” dalam “sistem” atau tidak?

Pernah suatu hari di tahun 2000, saat itu situasi konflik di Ambon sedang memanas, ada sekelompok anak muda yang mengaku datang dari beberapa pesantren menempelkan selebaran-selebaran yang berisi ajakan berjihad ke Ambon di tembok-tembok bangunan di Salatiga. Tak lama kemudian, serombongan anggota BANSER NU melakukan swepping dan merobek-robek selebaran-selebaran yang sudah maupun yang belum ditempel. BANSER NU kemudian mengingatkan kelompok yang menempelkan selebaran itu dengan berkata [dalam bahasa Jawa]: “Ini Salatiga, bukan Ambon. Jangan merusak Salatiga. Jangan coba-coba mengganggu UKSW karena kalian akan berhadapan dengan wong Salatiga!”

Peristiwa itu mungkin peristiwa kecil karena hanya disaksikan oleh sedikit orang. Tetapi peristiwa itu merupakan refleksi kesadaran mendalam akan pentingnya kehadiran UKSW di tengah-tengah kehidupan masyarakat Salatiga. Siapa yang membesarkan siapa? Siapa yang tokoh? Sistem mana yang lebih kokoh? UKSW-kah atau masyarakat Salatiga-kah? Saya kira, kita tidak bisa menafikan keduanya. Masyarakat dan kampus adalah bagian integral dalam orientasi pendidikan kita. Mudah-mudahan kita [yang orang kampus] tidak lupa itu. Sehingga kita selalu siuman bahwa “kebesaran” UKSW tidak hanya ditentukan oleh “tokoh-tokoh besar” dengan sederetan gelar akademik jebolan luar negeri, tetapi juga oleh “rakyat” yang memberikan hidupnya bagi UKSW.

Intermeso

Saya pernah ditanya: UKSW itu di mana? Saya jawab: Di Salatiga. Komentar balasan: “Lho, ada to kampus di kota kecil itu? Mangkanya gak kedengeran namanya.” [Apa hubungan universitas dengan ukuran kota tempat kampusnya? – toh banyak juga “kampus ecek-ecek” yang bertebaran di kota-kota besar; jadi yang “besar” kapabilitas universitasnya atau ukuran kotanya?] Lagi-lagi soalnya: UKSW yang gak bersuara [membisu] atau si penanya itu yang budeg [bolot]? Padahal pengalaman saya, identitas UKSW melekat padu dengan identitas sosial wong Salatiga.

Jika “kemelut UKSW” pernah membuat CEMAS [itu perspektif saya berdasarkan percakapan dengan ibu-ibu tukang cuci baju di Askarseba] rakyat Salatiga karena banyak orang menggantungkan hidupnya pada kehadiran UKSW [langsung dan tak langsung], tidakkah itu menjadi sebuah catatan penting bahwa “sejarah” UKSW sebenarnya adalah juga “sejarah kaum proletar” [pinjam istilah eyang Karl Marx]? Dan oleh karena itu, UKSW juga harus menata masa depan berdasarkan keterlibatannya dalam kehidupan masyarakat marjinal, bukan hanya di Salatiga tapi juga di Indonesia.

Persoalannya: mampukah UKSW [tokoh, sistem, visi/misi, orientasi, ideologi, teologi, kurikulum, faculty development, dll] di masa depan tidak lagi terkooptasi oleh lingkaran elitis di menara gading, tetapi menampilkan eksistensinya sebagai “kampus populis”?

Kalau mau dikonkritkan: kita bisa bertanya apa visi dan misi keindonesiaan yang ditawarkan oleh UKSW tentang bencana berseri sejak akhir 2006 hingga awal 2007 ini. Kok rasanya gak pantes jika kita “membisu” di tengah jeritan histeris kematian yang menimpa rakyat negeri ini. Atau malah asyik nonton tayangan tragis rakyat kecil di tv sambil menikmati batagor panas? Atau hanya tersipu dengan kebinalan kelamin sang anggota DPR dengan penyanyi dangdut – refleksi kebobrokan elite yang bercadar “kepentingan rakyat”. Lantas, hukum ternyata mengarahkan perhatian publik pada kebersalahan “perempuan” yang selalu dianggap “nakal” dalam keliaran sensualitasnya, sementara “lelaki” sebagai lambang keangkuhan tak pernah diutak-atik. Hukum makin menjadi “maskulin” dan kehilangan “feminitasnya”. Akhirnya, cuma yang perkasa dan berduit yang menang, yang kecil dan lemes... emang gue pikirin. Nah, untuk urusan “hukum-menghukum” biar nanti bung Theo cs di fakultas hukum yang mempersiapkan berkas perkaranya.

Mungkin saja, “saya” [daripada mengatasnamakan “kita”] termasuk orang-orang yang lebih doyan beronani intelektual ketimbang melakukan intercourse dengan realitas derita rakyat miskin-tertindas. Padahal [katanya] kita hendak menjadikan pendidikan sebagai konsientisasi untuk menghancurkan “budaya bisu” ketidakadilan yang kerap malah dilestarikan oleh lembaga-lembaga pendidikan [seperti yang diidealkan oleh opa Paulo Freire].


No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces