Pertanyaan di atas terbuka bagi siapa saja yang ingin menjawabnya. Tentu, banyak ragam jawab dan interpretasi yang akan muncul menanggapi soal tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegelisahan untuk melanjutkan pembangunan bangsa ini sekarang makin menguat dan menggumpal dalam sikap fatalistis: apakah kita masih bisa terus berjalan dalam komitmen kebangsaan yang bernama
Kita memang sedang membangun kembali infra- maupun suprastruktur negara kita yang sudah terpuruk selama beberapa tahun terakhir ini akibat disorientasi dalam penataan sistem bernegara di segala bidang. Tentu saja, pembangunan yang dimaksud tidak hanya dalam arti yang fisik semata, melainkan lebih pada rekonstruksi struktur kesadaran dan mentalitas kebangsaan yang dilandaskan pada ideologi nasional yang disepakati bersama. Kesepakatan ideologis itulah yang sebenarnya memberikan “roh” bagi eksistensi dan daya tahan hidup suatu bangsa. Inilah sebenarnya makna hakiki dari apa yang sering disebut nation building.
Karakter nation building itu sendiri bukanlah wahyu ilahi yang jatuh dari sorga, tetapi produk pergulatan manusia memaknai inter-relasi dengan sesamanya dalam wujud simbol-simbol kebudayaan tertentu. Simbol-simbol kebudayaan ini meski merupakan pantulan refleksi manusia universal namun toh tetap merupakan suatu ekspresi yang terkungkung dalam batasan-batasan berdimensi temporal. Apalagi ketika simbol-simbol kultural tersebut mengalami proses institusionalisasi, yang berarti dia makin memperoleh legitimasi sosial dalam pengambilan keputusan publik. Dengan kata lain, sebagai simbol-simbol kebudayaan, karakter tersebut tidak bersifat perenial, tetapi selalu mengalami metamorfosis baik secara natural maupun artifisial. Itu semua terjadi karena setiap manusia memiliki perbedaan persepsi mengenai eksistensi kediriannya di dalam konteks hidup masing-masing. Jadi, manusia itu sendiri tidak bebas nilai karena dikurung dalam “rumah” tradisi, bahasa, kekerabatan, adat-istiadat, religiositas, pandangan dunia dan pengetahuannya.
Kendati demikian, manusia tidak tenggelam dalam kenisbian kultural tersebut. Sebagai makhluk yang selalu menjadi atau berproses, manusia terus menerus memberi makna kepada dunianya dalam kerangka membangun suatu peradaban yang lebih maju daripada yang sudah ada. Oleh karena itu, manusia mesti bersosialisasi. Sebab peradaban itu sendiri mesti dibangun bersama-sama. Sosialisasi ini merupakan lompatan keluar dari kurungan kebudayaannya untuk berjumpa dengan mereka yang lain, yang juga melompat keluar dari kurungan yang sama meski konteks berbeda. Pada saat itulah terjadi perjumpaan kreatif yang mendorong terciptanya kehidupan baru dengan spektrum yang lebih kompleks dan berwarna-warni.
Karakter nation building adalah suatu bentuk lompatan keluar untuk bertemu sebagai manusia-manusia yang berkehendak secara sadar melakukan dialog komunikatif di dalam suatu tatanan sosial yang beradab. Implikasi pengertian ini mencuat dalam aspek eksternal dan internal. Secara internal, tatanan sosial yang disebut masyarakat itu secara kontinyu bergerak dengan aturan mainnya sendiri. Secara eksternal, masyarakat itu juga meretas kebuntuan komunikasi dengan masyarakat lainnya sehingga mereka bisa membentuk masyarakat dengan identitas yang lebih makro. Pada titik inilah sebenarnya kita bisa memahami makna globalisasi.
Jadi, karakter nation building itu sendiri merupakan perpaduan dinamis antara apa yang internal dan eksternal, lokal dan global. Fenomena itu sudah berlangsung berabad-abad, meski intensitas globalisasi (eksternal) lebih terasa selama beberapa dekade akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. itu disebabkan oleh gebrakan teknologi komunikasi dan informasi yang memperlancar akselerasi relasional antar-manusia, antar-bangsa, antar-peradaban.
Benturan Peradaban
Prof. Samuel Huntington, guru besar ilmu politik internasional dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, pernah mengajukan tesis mengenai benturan peradaban (clash of civilization). Ia mencermati bahwa pasca perang dingin akan terjadi suatu pergeseran besar dalam peta kekuatan politik global yang lebih banyak dimotori oleh perubahan-perubahan mendasar dalam kepentingan politik internasional dari kedua negara superpower Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Sejarah mencatat bahwa dalam dinamika hubungan internasional yang fluktuatif dan kadang-kadang memanas, Uni Sovyet tidak mampu lagi survive dengan ideologi sosialis Marxis-Leninisme sehingga ambruk dan terpecah menjadi negara-negara kecil yang sampai hari ini masih terus diguncang perang saudara. Amerika Serikat, simbolisasi kekuatan kapitalisme dunia, seolah-olah muncul sebagai pemenang. Itu juga berarti AS menjadi satu-satunya negara adikuasa. Kenyataan ini telah menggiring AS untuk menempatkan diri sebagai satu-satunya negara super-modern yang paling berpengaruh di dunia. Justru di situ soalnya: AS tidak lagi memiliki musuh utama yang mampu menjadi rival sekaligus kontrol atas segala kiprahnya. Sebagai yang demikian, AS bebas menanamkan cakarnya di segala bidang (pertahanan, ekonomi, politik, pendidikan, teknologi dsb) dan hampir di semua negara. AS menjadi kekuatan imperialisme baru yang menciptakan “musuh-musuh” ideologis baru dalam suatu jejaring global.
Kenyataan ini bagi sementara pihak menimbulkan persoalan karena AS memberlakukan double standard: menjadi kiblat modernitas sebagai garda utama kebebasan manusia (HAM), sekaligus kekuasaan yang represif. Pemberlakuan standar ganda ini paling jelas tampak dari keterlibatan AS dalam konflik Palestina-Israel. Bagi AS sendiri, sulit melepaskan citra sebagai “pihak yang selalu mengalah” ketika berhadapan dengan Israel yang “keras kepala” dalam kasus ini (sudah menjadi rahasia umum bahwa posisi-posisi vital di pemerintahan AS didominasi oleh kelompok Yahudi perantauan). Meski sebenarnya lebih bernuansa politis, namun di lingkungan internasional, konflik Palestina-Israel telah berkembang secara manipulatif menjadi konflik agama (Yahudi vs Islam). Tetapi karena Yahudi secara salah kaprah selalu dikaitkan dengan Kristen maka jadilah konflik segitiga: Yahudi-Islam-Kristen. Pada momentum inilah, menurut saya, sedang terjadi suatu benturan kebudayaan yang luar biasa hebatnya karena sudah mengalami bias ke ranah paling sensitif: agama. Apakah ini yang dimaksud Huntington sebagai benturan peradaban? Saya kurang yakin. Sebab saya percaya Huntington tidak akan mengabaikan konflik Inggris-Irlandia Utara yang juga sarat dengan muatan konflik agama (Protestan vs Katolik); atau India-Pakistan (Hindu vs Islam).
Apa yang bisa dikatakan secara singkat hanyalah bahwa pada dasarnya tidak ada satu konflik pun yang disebabkan oleh perbedaan agama. Seluruh konflik yang terjadi sebenarnya hanya memperebutkan satu saja: KEKUASAAN. Siapa yang menguasai siapa dan apa yang bisa dipakai untuk menguasai orang lain. Di sinilah sebenarnya agama pada tampilan wajahnya yang lain menunjukkan potensi dimanipulasi sebagai “senjata” untuk melumpuhkan, mematahkan kekuasaan pihak lain dan menguasainya. Agama telah menjadi fenomena sosial yang sangat ideologis. Dalam wacana ini pula, “Tuhan” sebagai Realitas Ultim-Transenden bergerak secara antropomorfis menjadi “panglima perang” yang memberangus musuh-musuhNya (atau musuh manusia?). Betapa mengerikan bila kekuasaan Tuhan sebagai Realitas Ultim takluk di bawah kekuasaan manusia yang terbatas dan definit. Kalau sudah begitu, siapa yang menjadi “tuhan”? Tuhan itu per se dalam misteri adikodrati-Nya, atau manusia yang menuhankan dan mentransendensikan kekuasaannya sendiri?
Indonesia: di persimpangan jalan
Pasca peristiwa 11 September 2001, ketegangan meruncing antara AS dengan kelompok teroris [?] yang selama ini sudah beberapa kali melakukan aksi teror dalam berbagai bentuk di AS (mungkin juga di negara-negara lain sekutu AS). Banyak analisis yang melihat pertautan antara aksi vandalis di World Trade Center New York dan Markas Pentagon Washington DC dengan kekecewaan kelompok-kelompok perjuangan nasional pembebasan Palestina atas sikap AS yang ambivalen terhadap konflik Palestina-Israel. Ada pula yang melihat bahwa rangkaian peristiwa teror ini tidak dapat dilepaskan dari kegeraman seorang Osama bin Laden yang merasa dikhianati oleh AS ketika ia (dan kelompok Al-Qaedha) berjuang melawan tirani kekuasaan despotik Uni Sovyet di Afganistan. AS sendiri yang menginjeksi energi (persenjataan) kepada Osama bin Laden saat itu dan mempunyai andil membesarkan embrio perjuangan Al-Qaedha. Meski kemudian hubungan Osama dan militer AS makin memburuk.
Ada atau tidak bukti-bukti yang menunjuk pada keterlibatan Osama memang sulit dipertanggungjawabkan. Seperti yang dikatakan oleh Mayjen TNI Sudrajat (mantan Kapuspen TNI) dalam wawancara di salah satu stasiun TV swasta baru-baru ini, bahwa pembuktian pelaku teror sulit dilakukan dan memang selama ini tidak pernah dirasa perlu untuk dilakukan. Tetapi AS membutuhkan target untuk menumpahkan kekesalannya, maka dipilihlah Osama bin Laden.
Polemik terjadi ketika figur Osama ternyata telah menjadi simbolisasi persona yang diidentikkan dengan Islam. Sehingga serta-merta aksi penyerangan ke Afganistan, yang dikuasai kelompok Taliban yang dicurigai AS telah melindungi Osama, langsung dikaitkan sebagai penyerangan terhadap Islam. Osama memang seorang muslim. Tetapi apakah Islam benar-benar terwujud dalam diri seorang Osama? Belum tentu. Islam lebih besar dan universal daripada seorang Osama bin Laden. Di sinilah sebenarnya letak crucial point ketika agama telah diperalat menjadi “senjata” kekuasaan. Kita tidak tahu lagi mana yang menjadi peubah (variabel) utama yang mesti menjadi kekuatan nilai: agama atau simbolisme persona? Prof. Ibraim Abu-Rabi, guru besar Agama Islam dari Universitas Temple, Amerika Serikat, dalam makalahnya yang disampaikan pada Congres of Asian Theologians ~ Christian Conference of Asia (Dewan Gereja-gereja Asia) di Yogyakarta Agustus 2001, mengatakan secara singkat tapi mengesankan bahwa “banyak muslim tetapi tidak semuanya adalah Islam”. Artinya, lanjut beliau, Islam pada hakikatnya bersifat universal dan cenderung dimengerti-salah oleh kaum muslim karena keterbatasan konteks dan kebudayaan mereka.
Posisi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia cukup sulit menyikapi situasi ini. Maraknya tuntutan massa (yang menurut sebagian tokoh muslim dinilai tidak realistik) menimbulkan beragam interpretasi, mulai dari yang moderat hingga radikal. Kentara sekali bahwa perpaduan emosionalitas dan rasionalitas kadang berhimpit sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi dicandra secara jernih.
Solidaritas menjadi terminologi kunci yang mendorong aksi-aksi kelompok-kelompok muslim di Indonesia. Untuk itu, mereka rela berjihad (entah dalam makna apa, sebab pengertian istilah inipun sangat bervariasi). Pertanyaan saya: apakah solidaritas kepada saudara-saudara muslim di Afganistan hanya bisa muncul dari kalangan muslim? Saya kira di sini sering terjadi kesalahpahaman. Solidaritas tidak selamanya mencuat dalam aksi massif di jalan-jalan, tetapi juga bisa dalam bentuk hening, meditasi dan doa. Dan itu juga dilakukan oleh setiap orang yang masih punya hati nurani kemanusiaan (tanpa pandang apa agamanya).
Presuposisi tersebut sebenarnya hendak membentangkan realitas kebangsaan kita yang jamak (plural). Pluralitas itulah yang menjadi karakter nation building kita sebagai sebuah Indonesia. Solidaritas kita tunjukkan bukan karena Indonesia berpenduduk mayoritas muslim, tetapi karena kita memang sudah bersepakat untuk hidup dalam pergaulan global. Kita tidak kaku dengan pendekatan pluralisme global karena Indonesia telah menempa kita untuk hidup dalam solidaritas lintas-peradaban (budaya, agama, bahasa).
Jadi, pemaknaan solidaritas secara sempit hanya pada dan dari kelompok yang homogen, sama saja mereduksi makna “Indonesia” ke titik nadir peradabannya sendiri. Para bapak/ibu pendiri bangsa kita tidak memilih nama “Republik Jawa” meski suku Jawa mayoritas; mereka juga tidak memilih “Republik Islam” meski mayoritas penduduknya beragama Islam. Tetapi mereka memilih nama baru “Indonesia” yang memberi ruang hidup bagi segenap manusia dengan kekayaan ekspresi kulturalnya masing-masing. Selain pluralitas, kesetaraan di antara manusianya juga dijamin secara konsekuen. Sehingga Indonesia sebagai realitas politik baru (lahir 17 Agustus 1945) menjadi suatu tempat di mana perjumpaan kemanusiaan terjadi dan terus berlangsung. Sekali lagi, jika tetap setia pada komitmen para pendiri bangsa ini untuk membentuk suatu negara modern yang berwawasan humanis, bukan sektarian atau primordial.
Indonesia seperti itu pada hakikatnya memberikan suatu kelonggaran bagi pendewasaan berdemokrasi yang santun tanpa mesti terperangkap dalam segmen-segmen primordialisme yang vulgar. Namun, toh kalau ternyata sepanjang perjalanan sejarahnya, kita melihat bahwa untuk menjadi bangsa yang dewasa membutuhkan proses jatuh-bangun, sejauh itu mendorong pemerdekaan setiap warga negara, itu harus dipacu dan dipertahankan. Sebaliknya, bila ternyata komitmen untuk menjadi bangsa yang majemuk dengan wawasan modern tidak lagi mempunyai kekuatan ideologis yang mengikat dan pada akhirnya menciptakan polarisasi yang makin mengerucut, maka kita perlu melakukan re-visi: masih relevankah kita menyebut diri orang Indonesia tanpa suatu keterbukaan untuk menerima kehadiran orang lain secara setara? Atau kesadaran historis kita sudah menjadi begitu pejal sehingga seperti orang linglung yang lupa daratan? Atau mungkin yang lebih spesifik: masih realistiskah untuk menjadi Indonesia?
No comments:
Post a Comment