Mencermati situasi sosial dan keamanan publik di Poso belakangan ini membuat kita semakin cemas. Pasca eksekusi Tibo cs yang divonis bersalah sebagai “dalang” beberapa peristiwa konflik dan kekerasan horisontal di Poso, ternyata tidak membuat situasi sosial makin membaik. Sehingga kemudian beredar rumor di kalangan masyarakat luas: apakah benar orang-orang seperti Tibo cs adalah dalangnya? Ataukah Tibo cs hanyalah “kambing hitam” yang memang diperlukan untuk meredam [atau mengalihkan] energi konflik dalam masyarakat? Ataukah eksekusi Tibo cs itu hanya menjadi cara pihak kepolisian dan hukum “menyelesaikan” kasus Poso? Daftar pertanyaan masih bisa dilanjutkan lebih panjang lagi.
Sejumlah pertanyaan itu mengemuka setelah terjadinya serangkaian aksi teror bom dan kekerasan disertai pembunuhan yang melibatkan kelompok masyarakat tertentu dan aparat kepolisian. Tuntutan sekelompok orang agar pemerintah menarik pasukan Brimob yang di-BKO-kan di Poso dan beberapa orang jenderalnya, nampaknya memang agak aneh. Anehnya ialah: polisi saja [jika memang institusi negara ini diandaikan bersikap netral] tidak mampu menemukan para pelaku aksi teror; bagaimana mungkin mereka bisa ditarik? Keanehan yang berikut ialah: jika mereka menghendaki polisi BKO ditarik maka diasumsikan kelompok ini tahu siapa pelaku aksi teror sehingga mereka tidak membutuhkan kehadiran polisi. Atau, mereka memang mempunyai agenda politik tersendiri yang dirasakan dapat dilakukan dengan “menunggangi” situasi Poso yang tak menentu.
Wapres Jusuf Kalla menanggapi perkembangan situasi di Poso dengan langkah-langkah yang tidak proporsional. Dia memanggil tokoh-tokoh yang pernah menandatangani Perjanjian Malino I. Di antaranya adalah Jafar Umar Thalib, bekas panglima Laskar Jihad yang juga pernah berjibaku di medan Ambon. Langkah yang diambil oleh wapres ini memang nampak seperti sebuah “dagelan politik” yang memuakkan. Orang-orang seperti Tibo cs dengan tanpa ampun bisa dieksekusi [bahkan foto-foto jenasah mereka menunjukkan dengan jelas luka-luka di wajah akibat penganiayaan] , tapi kenapa orang seperti Jafar Umar Thalib bisa lolos mulus? Padahal nyata-nyata pasukan Laskar Jihad di Ambon petantang-petenteng dengan segala jenis senjata api [yang konon polisi Indonesia pun tak pernah memegangnya] . Memang tak berlebihan jika Clifford Geertz menyebut negara ini sebagai “negara teater”.
Dan lagi dalam wawancara di salah satu stasiun TV swasta, JK dengan enteng mengatakan bahwa konflik Poso ini hanyalah ulah sekelompok kecil orang. Mereka melakukan itu hanya karena tidak ingin Poso aman sehingga bisa mengambil keuntungan dari situasi itu. JK benar-benar sedang membodohi publik Indonesia. Kalau memang itu ulah sekelompok kecil orang, kenapa polisi pontang-panting seperti orang linglung menyelesaikan konflik Poso? Kalaulah mereka memang benar hanyalah sekelompok kecil, tapi tentunya untuk melakukan aksi teror dalam skala massif [dengan bom dan senjata api, lalu kemampuan menghilang] diperlukan “orang besar” dan “dana besar” dong. Artinya, untuk apa mereka melakukan itu? Jumlah korban yang besar dan operasi teror yang licin, tentu harus dilakukan untuk kepentingan yang besar dan jangka panjang. No pain, no gain.
Dalam pemberitaan Harian Seputar Indonesia Kamis 2 November 2006 (hlm 1) disebutkan bahwa Kapolri Jenderal Pol Sutanto mengatakan bahwa Polri telah meminta bantuan Ketua Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam Sulteng Adnan Arsal untuk membantu mendapatkan ke-29 tersangka. Tidak disebutkan bantuan seperti apa yang diminta. Tapi dalam kapasitas sebagai masyarakat sipil, rasanya paling banter yang bisa dilakukan adalah bantuan informasi. Itu pun sebenarnya agak lucu juga, karena bukankah polisi dan militer di negara ini memiliki badan intelijen yang tugas pokoknya adalah mengumpulkan informasi dan melakukan pemetaan jaringan kelompok-kelompok yang dicurigai sebagai dalang kejahatan? Bukankah tugas seperti itu sudah dilakukan juga oleh beberapa kelompok masyarakat atau LSM, seperti Crisis Center GKST dan yang lain-lainnya? Informasi seperti apa yang dibutuhkan oleh Polri? Informasi yang memang menunjuk pada terungkapnya fakta konflik Poso ataukah informasi yang “diinginkan” oleh Polri, meskipun tak harus sesuai fakta?
Makin rumitnya konflik Poso ini seharusnya menggelisahkan kita semua sebagai orang-orang UKSW. UKSW pernah dijuluki sebagai “Indonesia Mini” dan kita yakin sampai sekarang pun masih begitu adanya. Julukan itu bukan saja menandai kemajemukan civitas academica-nya, tetapi terlebih menunjuk pada pendekatan keilmuan yang dibangun di atas dasar “spiritualitas” keindonesiaan. Tahun 2000 atas prakarsa beberapa mahasiswa asal Ambon, Halmahera dan Poso dibentuklah semacam kelompok kerja (pokja). Pokja ini bertugas a.l.:
- (1) menginventarisasi nama-nama mahasiswa yang keluarganya menjadi korban konflik dan mengusahakan terbangunnya jejaring beasiswa dari berbagai pihak yang konsern agar para mahasiswa dari tiga daerah itu tetap bisa studi;
(2) mencatat setiap perkembangan situasi yang terjadi di tiga daerah konflik tersebut dan membuat analisis situasi, lalu menyebarkannya ke media massa;
(3) berdasarkan analisis situasi tersebut, disusunlah semacam materi kampanye perdamaian dengan tujuan menjaring sebanyak mungkin pihak yang mau terlibat agar publik luas makin mengerti situasi sebenarnya;
(4) melakukan seruan-seruan ke lembaga-lembaga HAM internasional dengan tujuan pihak internasional mampu menekan pemerintah Indonesia agar tegas dalam menghentikan kekerasan dan pembunuhan secara massif di tiga daerah itu;
(5) dan lain-lain.
Seluruh upaya itu memang tidak semuanya membuahkan hasil. Tetapi salah satu hasil yang membuat nama UKSW semakin dikenal di dunia internasional ialah ketika Pdt. Dr. John Titaley diundang untuk hearing di hadapan United States Conference of International Religious Freedom (USCIRF) bersama dengan beberapa orang delegasi dari ketiga daerah itu. Dalam waktu 1 minggu pokja ini bekerja mengumpulkan data dari berbagai sumber, mendisain peta wilayah konflik agar lebih mudah di-display, menulis kronologis peristiwa konflik untuk menemukan sebuah “pola” yang dapat dijadikan bahan analisis, mendiskusikan draft tersebut berkali-kali. Semuanya itu dilakukan di beberapa tempat: asrama unit 7 dan unit 4, di kampus, dan di garasi rumah Pdt. John Titaley [yang untuk sementara disulap menjadi sebuah ruang kerja sederhana dengan 1 unit komputer]. Untuk pengiriman bahan lewat internet digunakan fasilitas internet di Gedung G lantai 4. [Sampai-sampai Satpam pun maklum dan meminjamkan kunci jika memang harus kerja sampai larut malam].
Walaupun agenda hearing itu lebih terfokus pada konflik Maluku, namun beberapa pakar sosiologi, antropologi, politik internasional, “indonesianis” , sejarahwan [termasuk analisis Pdt. Dr. John Titaley] yang turut hadir juga menyampaikan analisis mereka mengenai “Indonesia”. Artinya, mereka menyadari bahwa kontur politik Indonesia-lah sebenarnya yang membuka ruang bagi pecahnya konflik horisontal. Dengan perkataan lain, konflik-konflik sosial yang terjadi di Indonesia lebih banyak dilihat sebagai “akibat” dari konflik-konflik struktural dan ekonomi yang lebih besar. Bahkan turut melibatkan “tangan-tangan asing”.
Peristiwa tersebut tentu menjadi catatan penting dalam sejarah UKSW. Oleh karena itu, mungkin kita juga sekarang mesti melihat kembali peran sosial-politik UKSW [mudah-mudahan belum terpasung] dalam penentuan kebijakan [sipil dan militer] yang langsung atau tak langsung melibatkan nasib ratusan juta anak negeri Indonesia. Kita mestinya optimis bahwa jaringan ikasatya di seluruh Indonesia mampu melakukan sesuatu yang “menggetarkan” Indonesia. Apalagi jika itu dilakukan dalam spirit solidaritas kemanusiaan universal. UKSW bertindak demi kemanusiaan dan keindonesiaan. Bukankah itu sebenarnya maksud mengapa huruf “K” itu [harus] selalu ada di antara “U” dan “SW”?
*Tulisan ini awalnya merupakan materi diskusi yang diposting di mailing list alumni UKSW Salatiga.
No comments:
Post a Comment