Aku menulis maka aku belajar

Friday, December 7, 2007

Gereja Puing-puing

Pengantar

Sudah separuh jalan di tahun 2000 telah kita telusuri dengan serangkaian persoalan bahkan konflik yang kian rumit dan masih menyisakan setumpuk pekerjaan rumah yang belum rampung. Tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh bangunan kebangsaan dan identitas kedirian sebagai suatu realitas politik yang bernama Indonesia telah luluh-lantak. De jure, kita masih berada di bawah bendera Indonesia, tetapi apakah kita masih dalam spiritualitas bersama sebagai “manusia Indonesia”, itu makin menjadi pertanyaan.

Kemanusiaan dalam Arus Pembangunan

Terlalu dini untuk menarik kesimpulan bahwa bangsa kita yang tengah dilanda prahara kekerasan berada di ambang disintegrasi. Tetapi juga terlalu naif bila kita sama sekali tidak peka terhadap fenomena yang berkembang, yang menampilkan wajah suram dan berkabut negeri ini dengan maraknya berbagai tuntutan rakyat yang kecewa karena perasaan sakit hati yang terpendam selama puluhan tahun dalam represi hegemoni negara di balik kedok “kepentingan nasional” dengan tendensi vulgar security approach.

Munculnya pergolakan di berbagai wilayah menjadi indikator empirik bahwa esensi kebangsaan yang seharusnya tumbuh dari kesadaran dan komitmen bersama untuk membangun kehidupan sebagai sesama manusia tanpa atribut apapun, ternyata rapuh dan ringkih. Kesadaran akan dimensi kemanusiaan dalam seluruh denyut nadi bangsa selama ini telah dieliminasi dan digantikan dengan semangat membangun gedung, jalan tol dan real estate, yang hanya mendongkrak tampilan fisik semata. Kemanusiaan hanya menjadi entitas yang bermakna verbalistis. Ia tidak lagi menjadi core dalam struktur penalaran keindonesiaan yang manusiawi.

Oleh karena itu, gejolak-gejolak tersebut mesti dipahami sebagai teriakan untuk menuntut kembali harga kemanusiaan yang selama ini diremehkan; dan suatu gerakan merebut kembali kemerdekaan asasi yang selama ini dirampas. Suatu reaksi keras untuk menampilkan eksistensi kerakyatan sebagai manusia di antara manusia yang lain. Itu di aras grass-roots. Sementara di kalangan elite reaksi tersebut ditanggapi dengan ketaksaan (ambiguitas). Satu pihak menanggapi seadanya sambil menarik simpulan tergesa-gesa yang melihat setiap masalah hanya dari angle integrasi-disintegrasi. Karena itu segala bentuk pernyataan dan tuntutan “kemerdekaan” atau “pemisahan diri dari negara Indonesia” yang dikumandangkan oleh rakyat hanya dilihat sebagai euforia yang pada saatnya nanti akan mereda dengan sendirinya.

Pihak yang lain, yang lebih bertendensi sektarian dan partisan, melihat berbagai gejolak yang terjadi sebagai parameter untuk menilai bahwa ada kelompok (antagonistik agama/ideologi) separatis yang ingin memisahkan diri dari negara Republik Indonesia. Stigma separatis ini makin parah ketika setumpuk atribut agama mendompleng padanya. Jadilah apa yang kita lihat di Aceh, Ambon, Poso dan Papua.

Perspektif ini memosisikan manusia tak lebih seperti mur dan baut dari mesin induk bernama “negara”. Rakyat adalah pelengkap kekuasaan negara, bukan penentu. Ketika rakyat bersuara, elite politik berdalih “rakyat itu siapa, kan sudah ada perwakilan rakyat di DPR?”

Kata orang, itulah demokrasi yang menjadi kata kunci berlangsungnya dinamika kebangsaan menuju fase pematangan kesadaran sosio-politik dalam konteks Indonesia. Asumsi itu tidak salah. Namun, ketimpangan yang terjadi ialah bahwa selama ini konsep demokrasi yang sarat dengan dimensi kemanusiaan populis sebagai basic value yang tidak bisa ditawar-tawar, ternyata mengalami pergeseran paradigma menjadi wacana politik yang semu. Sehingga, lagi-lagi pokok persoalannya bukan pada aspek formalitas di mana kita masih berada di bawah bendera Indonesia, tetapi lebih pada aspek eksistensial: apakah kita masih merasa sebagai manusia Indonesia?

Salah satu persoalan besar yang belum terselesaikan sampai saat ini ialah masalah ketimpangan dalam proses pembangunan yang telah berlangsung selama ini. Ketimpangan ini mewujud dalam bentuk pemiskinan dan penindasan rakyat yang justru hidup di dalam suatu wilayah dengan sumber daya alam yang subur dan potensial. Rakyat, atau dalam hal ini masyarakat adat, mengalami penggusuran secara sistematis melalui implementasi produk undang-undang yang berlaku di mana mereka tidak diperhitungkan sebagai manusia dengan segenap eksistensi yang melekat padanya. Eksistensi masyarakat adat bahkan cenderung dianggap sebagai “orang-orang liar” yang menghambat pembangunan.

Di sisi lain, pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan bahkan percepatan ekonomi menuntut tersedianya tanah yang luas untuk lahan industri besar. Pulau Jawa yang selama ini berperan sebagai sentra industri tidak mampu lagi memenuhi tuntutan tersebut. Oleh sebab itu dibuat strategi pembangunan yang mengarahkan anak panahnya ke wilayah timur sebagai wilayah yang dianggap masih “kosong”. Dimulailah suatu babakan baru yang sarat dengan fenomena penghancuran pranata kehidupan masyarakat lokal. Derasnya arus pembangunan membuat perubahan dalam struktur sosial dan kultural masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang sah-sah saja, tetapi ketika perubahan sosial sama sekali jauh dari keramahan untuk memahami karakteristik manusia sebagai subjeknya, maka perubahan itu hanya akan menjadi bumerang bagi manusia.

Gereja-gereja di timur Indonesia

Perubahan sosial adalah realitas kemanusiaan yang tak terelakkan. Setiap masyarakat, cepat atau lambat, sedang dan terus berubah. Akselerasi dan intensitas dampak perubahan sosial antarwilayah berbeda-beda, tergantung pada akseptabilitas masyarakat lokal. Fenomena perubahan sosial atau pembangunan lalu menjadi persoalan kompleks ketika paradigma pembangunan yang berkembang di suatu wilayah diterapkan secara paksa di wilayah lain yang karakteristik masyarakatnya sangat berbeda. Karakteristik masyarakat meliputi struktur penalaran tradisional menyangkut dirinya sebagai manusia dan hubungan antarsesama manusia, relasi kosmik dengan lingkungan, hutan, tanah dan laut, dimensi intensionalitas dengan “yang ilahi” (Supreme Being).

Semuanya itu membentuk pola-pola jaringan makna kebudayaan yang memengaruhi persepsi dan perilaku sosial masyarakat. Terputusnya salah satu mata rantai yang menghubungkan pola-pola kultural tersebut sudah pasti menimbulkan gejolak sosial-psikologis yang pada gilirannya memuncak menjadi aksi perlawanan massif.

Apa yang terjadi di Aceh, Kalimantan, Makassar, Kupang, Ambon dan Papua merupakan kristalisasi sikap masyarakat yang merasa dilecehkan hak-hak budaya mereka, dan menjadi masyarakat marjinal yang mengemis di tanah sendiri. Mengemis minta kemerdekaan, pembagian hasil pembangunan, otonomi seluas-luasnya, meminta agar ada anak daerah yang duduk di kabinet, dan seterusnya. Reformasi dikumandangkan agar rakyat tidak lagi menjadi pengemis di tanah mereka sendiri, melainkan agar mereka berhak menjadi tuan atas tanahnya. Itu berarti ketergantungan struktural pada “Jakarta” sebagai sentra administrasi pemerintahan harus direduksi menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang kreatif dan fleksibel namun tetap dalam perspektif kritis.

Dalam perspektif kritis itulah gereja-gereja di timur memegang peranan sangat penting sebagai lembaga yang menjalankan fungsi kontrol sosial. Gereja-gereja di timur [sebenarnya] mempunyai kekuatan dan peluang untuk mendorong masyarakat atau rakyat agar berani memutuskan ikatan ketergantungan penuh pada pemerintah. Pertimbangan fundamentalnya yakni bahwa manusia pada hakikatnya adalah citra Allah yang merdeka, yang menjadi tuan atas dirinya sendiri sekaligus hamba bagi Tuhannya.

Aspek kemerdekaan dan pelayanan adalah dialektika yang seharusnya berkembang dalam seluruh dimensi kehidupan menggereja secara baru. Aspek kemerdekaan membuat gereja gelisah akan segala bentuk penindasan dan marginalisasi populis. Sementara aspek pelayanan mendesak gereja untuk selalu shock dalam solidaritas kemanusiaan universal.

Gereja di Maluku: Catatan Pengalaman Lokal

Gejolak pertikaian yang terjadi khususnya di Maluku harus dipahami dalam bingkai visi di atas. Persoalan Maluku sudah menjadi persoalan yang rumit dan menggurita. Masalah pengungsi, relokasi alami maupun artifisial, rehabilitasi sosial dan psikologis, pembenahan struktur kewenangan aparat pemerintahan dan militer di daerah yang terkesan “kurang darah”, pengerahan pasukan militer fantastis untuk sebuah wilayah seperti kota Ambon yang bergerak seolah-olah tanpa komando yang jelas, dan terakhir pro-kontra laskar jihad, dan sebagainya, makin berbelit seperti benang kusut yang susah dicari pangkal atau ujungnya.

Dalam konteks ini, gereja-gereja di Maluku mempunyai peranan vital yang sangat menentukan keberlanjutan hidup bersesama. Pertama, gereja harus lebih dulu membenahi visinya (visi teologis dan visi sosial-politik) terhadap hubungan antara gereja dan pemerintah, serta menentukan posisi yang lebih leluasa untuk bersikap kreatif-kritis terhadap segala kebijakan negara (atau pemerintah). Untuk itu gereja membutuhkan masukan lintas ilmu dan simpul jaringan analisis pada lembaga pendidikan tinggi sebagai think-tank.

Kedua, otoritas kepemimpinan gereja harus merupakan otoritas kolektif, bukan otoritas individu tertentu. Otoritas kolektif yang dimaksud bukan semata-mata hanya dari segi struktural, tetapi juga fungsional-kontekstual, yang memberikan ruang bagi role-sharing pada level kepemimpinan jemaat-jemaat lokal tanpa kehilangan visi bersama. Di sini diperlukan suatu dekonstruksi kesadaran teologis yang mengutamakan dinamika daripada retorika.

Ketiga, akumulasi kekecewaan masyarakat pada umumnya yang mencapai kulminasi dalam manifestasi kekerasan dan konflik yang terjadi tidak harus menjadi pengalaman pahit gereja dalam menginternalisasi setiap persoalan yang merebak dalam masyarakat luas maupun tubuh jemaat lokal.

Gereja tidak boleh bergaya Pilatus, melainkan harus bergaya Kristus yang tidak pernah menarik diri dan mencuci tangan dari setiap problem. Ini hanya terwujud bila gereja-gereja menjaga keterjarakan kritisnya dengan entitas negara. Itu berarti gereja-gereja (khususnya di timur Indonesia) harus berani menjadi gereja yang [tetap] tegak berdiri di atas “puing-puing” sosial yang, seperti kata Peter Berger, sudah menjadi piramida kurban manusia.

Gereja seperti ini menjadi simbol perjuangan dan spiritualitas kristiani yang menuntut pembebasan dari segala bentuk ketergantungan dan penindasan yang menghancurkan kehidupan rakyat (bukan saja “jemaat”). Dalam seluruh dinamikanya, ia tampil sebagai tangan Allah yang terulur untuk mengangkat sesama dari sumur kemiskinan, perangkap penindasan dan membangun kembali semangat cinta kasih di antara puing-puing harapan manusia yang hancur, tanpa harus takut pada kekuasaan manusia.

Gereja sejati bukan gereja yang megah, tetapi gereja puing-puing, yang temboknya berlubang agar bisa melihat keluar dirinya, yang atapnya terbakar agar anugerah Allah yang pedis seperti sengatan matahari dapat dirasakan, namun juga menyejukkan seperti curahan air hujan. Gereja bukan hegemoni, gereja adalah solidaritas. Gereja yang dibangun di atas solidaritas kemanusiaan adalah gereja yang menghancurkan hegemoni dirinya dan ada bersama dengan manusia yang mengalami kehancuran. Gereja hanya dapat hidup dengan solidaritas sejati atas kemanusiaan. Siapakah yang bisa menyangkal bahwa Yesus selama hidupnya selalu berada dalam kesadaran untuk menghancurkan hegemoni meskipun ia sendiri dihancurkan?

Gedung gereja bisa dibakar dan dihancurkan, tetapi solidaritas tidak. Oleh karena itu, Paulus menganalogikan gereja sebagai tubuh Kristus, Allah yang memanusia. Hanya dengan cara memanusia, Allah dapat merasakan kepedihan, penderitaan dan pengharapan manusia. We becomes a human being since God being a human. Dengan memanusia pula Allah membangun hubungan dengan manusia lain. Seperti satu tubuh, kata Paulus, kita menjadi manusia di antara manusia lain. Akta ilahi ini merupakan transfigurasi ruang dan waktu transendental kepada dimensi ruang-waktu kontemporer, kasat mata.

Kita (gereja-gereja di Indonesia) sudah saatnya [atau terlambat?] untuk memantapkan pijakan solidaritas pada realitas konkrit kehidupan menggereja di Indonesia. Gereja-gereja tidak sekadar hidup dalam ruang dan waktu, melainkan berproses di dalam ruang-waktu tersebut. Menarik untuk disimak kata Anthony Giddens dalam Central Problems of Social Theory (1979), yang mengamati bagaimana semakin suatu masyarakat itu maju, semakin interaksi sosial terentang dalam ruang dan waktu (hlm. 201-210). Kemajuan di bidang teknologi informasi dan komunikasi membebaskan manusia dari kekangan ruang dan waktu, yang seakan menguap, mengalami proses dissolusi.

Dalam konteks itulah kita sebenarnya menemukan pemaknaan esensial kehadiran Allah bersama-sama dengan manusia. Sebuah densitas (pemadatan) ruang dan waktu yang mempersempit jurang antarentitas. Menurut saya, kata kuncinya di sini adalah “solidaritas”. Tanpa solidaritas, relasi antarmanusia (yang dalamnya gereja juga ada) berada dalam rentang waktu dan keterjarakan ruang yang absurd. Tanpa solidaritas, gereja sedang teralienasi dari konteksnya dan tidak berproses secara konsisten.

Penutup

Gumulan ringkas yang terurai di atas sebenarnya hanya menuju pada satu kutub kesadaran kognitif bahwa hidup dalam solidaritas itu bukan gampangan, enak dan enteng. Tetapi butuh keberanian yang sadar (bukan asal-asalan atau nekat) untuk menceburkan diri dalam praksis. Praksis di sini tidak hanya dipahami sebagai “kerja” tapi juga sebagai komunikasi yang diterangi kesadaran rasional.

Fenomena pengerasan spirit sektarian dan puritan yang sementara berlangsung dalam bangsa kita saat ini adalah indikator empiris terjadinya pemampatan komunikasi antarentitas bangsa yang luar biasa parahnya. Suatu gerak dalam sindrom Fleeming dengan high-consequences risk (Giddens). Apakah kita harus tinggal diam? Wallahualam. Yang jelas bagi saya, semakin kita diam [pasif?], semakin kita kehilangan spirit Injil sebagai suatu berita pembebasan yang seharusnya bergelisah tiada henti dalam pergulatan kontekstual. Diam itu sikap, tapi diam bukan gerak. Pada saat-saat tertentu Yesus memang diam, tapi dia tidak berhenti bergerak atau melakukan gerakan.

Untuk konteks Indonesia, yang diperlukan oleh gereja-gereja bukanlah diam, melainkan suatu gerakan. Gerakan untuk mencairkan kebekuan komunikasi yang dipagari oleh semangat sektarianisme, gerakan melakukan penetrasi ke simpul-simpul politik dan lintas agama. Bagaimana caranya? Berbicaralah, bergeraklah, jangan tinggal diam!


No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces